Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jakarta, Bahasa, & Pro-Rakyat: Tiga Pilar Identitas Nasional pada Awal 1950-an

23 November 2024   19:00 Diperbarui: 23 November 2024   22:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RIS kembali ke Jakarta (Sumber gambar: ANTARA FOTO)

Pada tanggal 28 Desember 1949, saat di mana Presiden Sukarno kembali ke Jakarta setelah Indonesia mendapatkan kedaulatannya dari Belanda, ia disambut oleh parade massa yang besar, kurang-lebih "jutaan orang" saat itu datang ke istana. Peristiwa ini kemudian menandai kemenangan politik dan keberhasilan revolusi nasional bangsa Indonesia melawan kekuasaan kolonial Belanda.

Dengan menghampiri istana bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Presiden Sukarno secara simbolis mengukuhkan penguasaan dan peralihan kekuasaan dari penjajah kepada pemerintahan Indonesia yang baru. Peristiwa bersejarah penuh makna ini adalah satu tindakan peneguhan kedaulatan dan pengakuan bahwa Indonesia sekarang telah memiliki kendali atas apa yang dulunya adalah istana---pusat kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, pertemuan mahabesar yang dipenuhi oleh jutaan massa ini menandai kemenangan Indonesia atas kolonialisme.

Momen tersebut dianggap sebagai puncak kepemimpinan revolusi nasional Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, yang tidak hanya merayakan kemenangan politik saja, tetapi juga berhasil mewujudkan cita-cita nasionalisme Indonesia. 

Pada tahun 1950, Indonesia kemudian mencapai puncak nasionalismenya lagi, yakni keberhasilan bangsa yang beragam ini melakukan transisi dari negara federasi beranggotakan 16 negara bagian menjadi republik-kesatuan yang hanya berlangsung dalam waktu singkat. Proses ini berjalan relatif sangat mulus dan tanpa paksaan dari kekuasaan federal. Peralihan yang begitu cepat ini dapat terjadi sebab proses didorong oleh pemimpin lokal yang terlibat dalam revolusi nasional. Keberhasilan ini menunjukkan puncak kekuatan nasionalisme yang menyatukan berbagai elemen masyarakat.

Nasionalisme Indonesia pun berada pada puncaknya, sebab kekuatan rasa persatuan mengikat seluruh kepulauan Indonesia menjadi satu negara kesatuan yang kuat dan terintegrasi. Masa ini adalah saat di mana semangat nasionalisme Indonesia menjadi dasar inspirasi yang mempersatukan berbagai kelompok di seluruh negeri.

Tahun 1950 pun menjadi tahun di mana terjadinya peluncuran identitas nasional yang baru. Negara Indonesia merayakan identitasnya yang baru dengan penuh rasa percaya diri, yang menandakan keyakinan dan optimismenya untuk menyongsong masa depan. Hal ini tercermin dalam berbagai inisiatif budaya dan politik yang bertujuan untuk membentuk dan memantapkan identitas nasional.

Indonesia juga mengadopsi pengaruh dari dunia internasional, baik dari Barat (Amerika Serikat) maupun Timur (Cina, Mesir, dan dunia Muslim). Misalnya, penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung menunjukkan posisi Indonesia sebagai bagian dari gerakan global negara-negara non-blok yang mencoba menemukan jalur independen di antara blok-blok besar dunia pada masa Perang Dingin. Pengaruh internasional ini menambah kompleksitas dalam proyek identitas nasional, karena Indonesia harus menavigasi antara berbagai model modernitas, termasuk yang sosialistik dan Islamis.

Dengan demikian, terdapat dorongan besar untuk membangun budaya nasional yang mencerminkan modernitas dan kemajuan. Nasionalisme tidak hanya menjadi kekuatan pemersatu, tetapi juga harus menjadi pendorong penciptaan budaya baru yang terinspirasi oleh perkembangan global dan aspirasi modernitas internasional.

Manifesto Budaya Asrul Sani, atau "Testimonial of Beliefs" yang diterbitkan pada tanggal 18 Februari 1950, berfungsi sebagai pernyataan penting tentang arah dan makna budaya Indonesia pasca-kemerdekaan. Manifesto ini mengabaikan batasan-batasan budaya tradisional dan menekankan proses kreatif dan modernitas. Budaya Indonesia dipandang sebagai hasil ciptaan aktif, bukan warisan yang pasif.

Manifesto ini bukanlah definisi tetap dari budaya Indonesia, melainkan lebih merupakan deklarasi tentang masa depan. Asrul Sani dan rekan-rekannya menganggap budaya sebagai sesuatu yang terus berkembang dan diciptakan, bukan sesuatu yang hanya diwarisi dari masa lalu. Mereka menyatakan bahwa budaya Indonesia harus dipandang sebagai proses kreativitas yang dinamis. 

Dalam manifesto tersebut, budaya Indonesia dianggap sebagai pewaris sah dari budaya global. Asrul Sani dan kelompoknya mengklaim bahwa mereka tidak hanya mewarisi budaya dari seluruh dunia, tetapi juga harus berkomitmen untuk menyampaikannya dengan cara mereka sendiri. Ini mencerminkan pandangan bahwa Indonesia harus membuka diri terhadap pengaruh budaya global sambil menciptakan sesuatu yang unik dan relevan secara lokal.

Budaya Indonesia dipandang sebagai hasil dari proses kreatif dan inovatif. Manifesto ini menekankan bahwa budaya tidak hanya terkait dengan ciri fisik atau warisan budaya materiel, tetapi lebih pada ekspresi hati dan pikiran. Hal ini menggarisbawahi pentingnya kreativitas dalam membentuk identitas budaya nasional yang baru.

Menurut manifesto, budaya Indonesia adalah campuran dari berbagai elemen yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa budaya bukan hanya terikat pada satu kelompok atau asal-usul tertentu, melainkan merupakan hasil dari berbagai kontribusi dari masyarakat yang beragam.

Sebagaimana disebutkan di atas, manifesto ini menyiratkan bahwa batasan dan kekakuan budaya lokal tak lagi relevan dalam konteks budaya nasional yang baru. Budaya Indonesia tidak lagi terikat pada objek-objek yang kuno atau warisan materiel dari masa lalu, tetapi budaya Indonesia harus mulai berfokus pada inovasi dan penciptaan baru.

Para penulis manifesto tersebut pun menganggap politik sebagai urusan orang lain, sehingga fokus mereka lebih pada aspek budaya dan seni daripada keterlibatan langsung dalam politik. Ini menunjukkan bahwa mereka melihat penciptaan budaya sebagai cara untuk membentuk identitas nasional yang lebih luas tanpa harus terlibat langsung dalam arena politik.

Dalam bahasa aslinya, kutipan dari "Surat kepercayaan" atau "Testimonial of Beliefs" yang diterbitkan oleh Asrul Sani dan rekan-rekannya adalah sebagai berikut:

"Kami adalah pewaris sah dari budaya seluruh dunia, [...] dan kami akan menyampaikan budaya ini dengan cara kami sendiri. Kami berasal dari rakyat biasa dan bagi kami rakyat adalah campuran dari segala sesuatu dari mana dunia baru yang sehat akan lahir."

Indonesia yang sedang mengalami dorongan kuat untuk membangun budaya nasional yang modern dan terinspirasi oleh perkembangan global, yang juga haus akan modernitas untuk menjadi simbol kemajuan dan bagian penting dari identitas nasional yang baru, tercermin dalam upayanya untuk menyatukan berbagai elemen budaya yang ada dengan aspirasi modernitas dan kemajuan, sebagaimana disebutkan di atas.

Namun, meski modernitas didorong sebagai pendorong utama identitas nasional, terdapat juga keinginan untuk mempertahankan atau menghidupkan kembali unsur-unsur budaya tradisional. Oleh karena itu, timbul ketegangan antara memajukan budaya Indonesia dan tetap menghormati serta mempertahankan warisan budaya lokal yang dianggap memiliki nilai historis dan identitas. Diskusi yang terjadi pada waktu itu sering kali berkisar pada apakah budaya Indonesia harus berakar pada masa lalu atau budaya Indonesia harus didasarkan pada keyakinan yang berorientasi ke depan dalam modernitas. Misalnya, pertanyaan mengenai apakah budaya seharusnya didasarkan pada seni tradisional (tari) atau bentuk seni yang lebih modern dan baru (dansa) menunjukkan ketegangan antara mempertahankan tradisi dan mengejar inovasi.

Ada perdebatan tentang sejauh mana budaya Indonesia harus menyerap elemen-elemen internasional atau mempertahankan elemen-elemen lokal dan tradisional. Ini menimbulkan ketegangan antara kebutuhan untuk memodernisasi dan tantangan untuk tetap mempertahankan jati diri dan akar budaya bangsa Indonesia.

Organisasi, seperti Lekra dan jurnal seperti Mimbar Indonesia, berperan dalam debat ini dengan menanyakan bagaimana budaya nasional harus diperlakukan dalam konteks kemerdekaan dan modernitas. Perbedaan pandangan ini memperjelas ketegangan antara orientasi ke luar yang modern dan keinginan untuk berakar pada tradisi lokal.

Dalam hal ini, terdapat peran Jakarta, sebagai ibu kota baru. Ia berperan penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia. Pengalihan pusat kekuasaan dari Batavia (sekarang Jakarta) yang lama menjadi pusat pemerintahan yang baru mencerminkan transisi dari era kolonial ke era kemerdekaan. Jakarta tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Indonesia, tetapi juga menjadi platform utama, di mana ide-ide tentang identitas nasional dikembangkan dan dipromosikan.

Peran signifikan lainnya adalah penggunaan Bahasa Indonesia, yang pada tahun 1950 masih dipakai oleh minoritas. Bahasa Indonesia memainkan peran kunci dalam proses integrasi nasional. Dengan berkembangnya Bahasa Indonesia melalui pendidikan dan media seperti radio, film, dan teater, bahasa ini menjadi alat penting untuk menyebarluaskan ide-ide nasional dan memperkuat rasa persatuan di seluruh kepulauan Indonesia. Penggunaan bahasa nasional ini membantu mengurangi ketergantungan pada bahasa kolonial (Belanda) dan memperkuat identitas nasional yang baru.

Sikap pro-rakyat kemudian juga menjadi bagian integral dari identitas nasional yang baru. Sikap ini tercermin dalam berbagai aspek budaya dan sosial, termasuk sastra dan seni, yang menunjukkan esensi sastra dan seni terhadap solidaritas dengan rakyat miskin dan menekankan nilai-nilai sosial yang inklusif. Kebijakan dan praktik yang mendukung kesejahteraan rakyat menunjukkan bahwa negara baru Indonesia, berfokus pada kesejahteraan sosial dan politik yang berpihak pada masyarakat luas.

Meskipun demikian, ada ketegangan antara keinginan untuk memajukan modernitas dan menjaga sikap pro-rakyat. Modernitas berusaha untuk membawa perubahan yang cepat dan mungkin mengabaikan beberapa aspek dari kehidupan tradisional atau lokal. Namun, sikap pro-rakyat mengingatkan pentingnya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat umum dan menekankan bahwa perubahan modern harus inklusif dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.

Modernitas dan sikap pro-rakyat tersebut tercermin dalam karya seni dan budaya, seperti di Akademi Seni Rupa di Yogyakarta yang menampilkan gaya urban dan modern, serta di dalam praktik-praktik yang mencerminkan keberagaman dan keinginan untuk berhubungan dengan perkembangan global. Sementara itu, tetap ada usaha untuk menghormati dan memasukkan elemen-elemen budaya tradisional ke dalam narasi nasional yang baru.

Secara keseluruhan, Jakarta dan Bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam pembentukan identitas nasional yang baru, yang memfasilitasi integrasi dan persatuan. Sementara itu, sikap pro-rakyat dan modernitas mencerminkan dua aspek penting dari kebijakan dan budaya yang sedang dibangun: dukungan terhadap kesejahteraan rakyat dan aspirasi untuk kemajuan yang harmonis dengan nilai-nilai sosial. Ketiga elemen ini saling berinteraksi dan mempengaruhi pembentukan identitas nasional Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.

Selain itu, meskipun Jakarta menjadi pusat utama, budaya regional berkontribusi signifikan dalam pembentukan identitas nasional. Beberapa daerah mempertahankan tradisi mereka sambil beradaptasi dengan modernitas, sehingga menciptakan sinergi antara unsur lokal dan aspirasi nasional. Setiap daerah di Indonesia juga memiliki tradisi dan budaya lokal yang unik. Kota-kota di daerah, seperti Medan, menunjukkan dinamika budaya yang sangat aktif dengan pengaruh dari luar, seperti industri film Melayu dan komik Barat. Medan menjadi pusat penting bagi karya sastra dan kebudayaan yang memperkaya diskursus nasional. Penulis-penulis dari Medan juga sering kali berkontribusi di dalam diskusi sastra di Jakarta, menunjukkan bahwa pembentukan identitas nasional melibatkan dialog yang dinamis antara pusat dan daerah.

Akan tetapi, tetaplah ada ketidakpuasan di daerah-daerah. Mereka yang merasa tidak puas dengan dominasi Jawa, khususnya Jakarta, adalah disebabkan karena perihal kekuasaan politik dan pengambilan keputusan. Ketidakpuasan ini menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya, yang menyebabkan ketegangan antara pusat dan daerah.

Ketidakpuasan daerah tersebut sering kali diekspresikan dalam bentuk pemberontakan atau perlawanan regional. Meskipun dianggap sebagai manifestasi dari chauvinisme lokal, pemberontakan ini juga mencerminkan frustrasi terhadap bagaimana negara baru dijalankan dan bagaimana daerah diperlakukan.

Di beberapa daerah, seperti di hutan yang dilaksanakan oleh Kahar Muzakkar, terdapat upaya untuk mengembangkan "versi mereka sendiri" dari modernitas yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal. Ini termasuk pembentukan fasilitas kesehatan, pertanian mekanis, dan pendidikan, yang menunjukkan bahwa modernitas regional sering kali mengambil bentuk yang berbeda dari yang dipromosikan di pusat. Ketegangan ini mencerminkan konflik antara keinginan untuk menjadi bagian dari identitas nasional yang baru dan kebutuhan untuk menjaga atau mengembangkan identitas lokal. Hal ini menunjukkan tantangan dalam menciptakan kesatuan nasional yang benar-benar inklusif, di mana berbagai identitas regional dapat berperan tanpa merasa terpinggirkan.

Proyek identitas nasional Indonesia pasca-kemerdekaan, sebagaimana dipaparkan di atas, bukanlah sesuatu yang statis atau telah selesai. Sebaliknya, identitas ini terus berkembang seiring dengan perubahan dan perkembangan sosial, politik, dan budaya yang berlangsung di Indonesia. Maka, harus terdapat upaya berkelanjutan untuk mengejar keseimbangan antara aspirasi modernitas, keterbukaan internasional, serta kebutuhan untuk menghargai dan menjaga warisan lokal dan nasional.

Dengan dinamika ketegangan antara pusat dan daerah, perdebatan antara modernitas dan "nativisme tradisi lokal", serta pengaruh dari dalam dan luar negeri, jelas bahwa proyek identitas nasional Indonesia pada era 1950-an adalah sebuah usaha yang kompleks dan belum selesai. Ketidakpastian dan ketidakseragaman ini menandai bahwa pencarian identitas nasional akan terus berlanjut, yang mencerminkan keragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Proyek Identitas Nasional yang Belum Selesai ini mencerminkan perjalanan panjang Indonesia dalam menemukan dan membentuk identitas nasional yang inklusif dan representatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun