Tan Malaka memberikan pandangannya mengenai Perang Kemerdekaan di Indonesia, khususnya perang yang terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Perang ini di antaranya adalah perang melawan Jepang, Inggris, dan Belanda.Â
Menurut Tan Malaka, perang di Indonesia tersebut terang dan jelas adalah Perang Kemerdekaan. Perang ini tidak dapat dikatakan sama sekali sebagai perang untuk menindas bangsa lain (perang penindasan). Oleh karena, bangsa Indonesia tiada mempunyai keinginan atau hasrat untuk memeras, menguasai, dan menindas bangsa asing.Â
Lebih terang lagi bahwa tujuan sesungguhnya pemuda dan Rakyat Indonesia pada perangnya pasca-Proklamasi adalah untuk memerdekakan bangsanya dari kekuatan dan kekuasaan bangsa asing mana pun. Hasrat ini pun terbukti dengan fakta bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan oleh Sukarno dan Hatta didukung dengan sepenuh hati dan segenap jiwa oleh para pemuda dan Rakyat Indonesia.
Selain itu, Tan Malaka menjelaskan bahwa Perang Kemerdekaan ini tidaklah bertentangan dengan hukum internasional, yakni hukum internasional mengakui terhadap hak tiap-tiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Maka, sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah berkata kepada Internasional, "Hei kami sudah merdeka! Kami sudah melepaskan semua macam belenggu yang diikatkan oleh bangsa asing kepada kami!" Sejak saat itu, penyerangan Belanda terhadap Republik Indonesia adalah melanggar hukum internasional, dan bangsa yang diserang itu berhak membela dirinya dengan senjata dan menyita seluruh harta-benda milik Belanda.
Maka, sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah berkata kepada Internasional, "Hei kami sudah merdeka! Kami sudah melepaskan semua macam belenggu yang diikatkan oleh bangsa asing kepada kami!"Â
Tan Malaka pun bertanya,Â
"Apakah perang kemerdekaan Indonesia semata-mata peperangan yang ditimbulkan oleh Revolusi Nasional? Yang semata-mata merupakan suatu revolusi yang maksudnya untuk melepaskan diri dari kedaulatan dan kekuasaan asing? Jadi, hanya untuk merebut kembali kekuasaan politik belaka?"Â
Jawabannya diberikan langsung oleh Tan Malaka dengan menggambarkan kisah Amerika dan revolusinya.
Di Amerika, nun jauh di sana, saat mereka belum memiliki pabrik-pabrik bermesin canggih dan perkeretaapian, di mana aktivitas perekonomian masih dalam bidang pertanian atau perusahaan kerajinan tangan belaka, Revolusi Nasional di sana tidak perlu terlalu menyentuh urusan perekonomian. Di Amerika, yang mungkin dapat dikatakan masih bersahaja dalam perekonomian tidak perlu menyentuh urusan perekonomian, sebab Inggris yang hengkang dari Amerika Utara sama sekali tidak meninggalkan pabrik, kebun, tambang, dan kereta ataupun perkapalan di sana. Rakyat pun ditinggalkan di Amerika oleh bangsa Inggris. Bahkan, yang mengambil kedaulatan dari bangsa Inggris itu pun adalah bangsa Inggris juga (Anglo-Saxon)---penguasa Amerika setelah revolusi nasional adalah bangsa yang sama dengan penjajahnya.
Namun demikian, kondisinya jauh berbeda dengan Indonesia. Belanda sebagai penjajah, yang memiliki semua alat produksi, baik perkebunan, pertambangan, perbankan, pabrik, perkeretaapian, perkapalan, maupun asuransi, dll. tidak akan pernah mau memberikan semuanya itu ke bangsa Indonesia. Bangsa Belanda dan bangsa Indonesia jelas merupakan bangsa yang berbeda satu sama lain. Bangsa Belanda tidak akan pernah mau menyerahkan kedaulatan dan kekuasaannya kepada bangsa lain yang berbahasa, berkebudayaan, serta berkepentingan lain dari bangsa Belanda itu sendiri, yaitu bangsa Indonesia. Yang menjadi istimewa pula, diungkap oleh Tan Malaka, bahwa bangsa Indonesia yang terjajah ini sama sekali tidak memiliki perkebunan, pabrik-pabrik, pertambangan, perangkutan, bahkan perbankan yang serbabesar.
Tan Malaka menjelaskan bahwa, apabila Belanda memberikan semuanya itu ke bangsa Indonesia, tindakan semacam ini adalah merugikan sekali bagi bangsa Belanda dalam hal ekonominya di Republik Indonesia.
"Belanda takut, kalau-kalau hak miliknya akan dipajaki, di-bea-i, atau diganggu oleh pemerintah bangsa Indonesia, dan takut perusahaannya akan dimogoki oleh pekerja Indonesia atau sama sekali dirampas oleh bangsa Indonesia."
Dalam kondisi seperti itu, yang dirugikan adalah rakyat Murba, lanjut Tan Malaka, di mana mereka tidak merasakan dampak positif yang maksimal dari Revolusi Nasional apabila hanya mendapatkan "kedaulatan dan kekuasaan" politik saja. Penggambarannya adalah demikian: "... seandainya kedaulatan atau kekuasaan politik dikembalikan kepada bangsa Indonesia, serta semua cabang pemerintahan dipegang oleh orang Indonesia, seperti Husein Djajadiningrat, Kolonel Abdulkadir, dan Sultan Hamid, tetapi semua kebun, pabrik, tambang, kereta, bank, dan lain-lain masih berada di tangan asing," jelas Tan Malaka. Kondisi demikian, sama saja tidak ada perubahan sama sekali bagi rakyat Murba dari kondisi pada zaman Hindia Belanda.
"Ringkasnya, kemerdekaan nasional saja, atau kemerdekaan politik saja, belum berarti apa-apa buat Murba Indonesia, yakni buruh, tani dan rakyat gembel Indonesia."
Hal inilah yang menyebabkan Belanda tidak akan pernah mau menyentuh perekonomian, sebab Belanda memberikan kedaulatan kepada Indonesia secara politik, tetapi kekuasaan perekonomian masih berada di tangannya. Namun, kondisi ini pastinya akan mengorbankan Rakyat Indonesia yang Marhaen dan Murba itu, di mana mereka tidak mendapatkan jaminan bagi hidupnya dengan mendapatkan hak politik saja dalam segi kedaulatan dan kekuasaan, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan dalam aspek perekonomian, karena kapitalis-asing masih merajalela di Republik yang "merdeka" ini.
Penggambarannya adalah demikian: "... seandainya kedaulatan atau kekuasaan politik dikembalikan kepada bangsa Indonesia, serta semua cabang pemerintahan dipegang oleh orang Indonesia, seperti Husein Djajadiningrat, Kolonel Abdulkadir, dan Sultan Hamid, tetapi semua kebun, pabrik, tambang, kereta, bank, dan lain-lain masih berada di tangan asing," jelas Tan Malaka. Kondisi demikian ini, sama saja tak ada perubahan sama sekali bagi rakyat Murba dari kondisi pada zaman Hindia Belanda.
Dengan demikian, Tan Malaka menegaskan bahwa Revolusi Nasional Indonesia atau Perang Kemerdekaan Murba Indonesia berarti kedua-duanya, yaitu kemerdekaan politik dan kemerdekaan (jaminan) perekonomian. Revolusi Nasional seharusnya memperjuangkan tidak hanya melenyapkan penindasan politik dari imperialisme, tetapi juga melenyapkan sama sekali pemerasan perekonomian dan menjamin kehidupan Rakyat Murba-Marhaen dalam masyarakat baru yang sedang diperjuangkan.
"... kemerdekaan nasional dalam arti yang sepenuhnya, yang serentak menjamin keadaan ekonomi dan sosial."
Tan Malaka menyindir kaum revolusioner-federalis yang menganggap bahwa Revolusi kita ini hanyalah "revolusi nasional" saja. Mereka itu, menurut Tan Malaka, hanyalah mengejar kursi-kursi kekuasaan untuk diri mereka masing-masing. Mereka itu, anak-anak bangsa yang rela menyerahkan semua sumber perekonomian dengan "kelapangan dada" kepada bangsa-bangsa asing, yang jelas-jelas adalah musuh Rakyat sejak dari zaman dulu kala.
"Revolusi Indonesia ... mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100%. ... Perang Kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus."
Tan Malaka menerangkan kondisi ideal yang diharapkan untuk dicapai pada saat revolusi kemerdekaan berlangsung, yaitu kekuasaan politik diraih di tangan bangsa 100%, sekaligus lebih-kurang menguasai perekonomian sebesar 60% yang berada di tangan bangsa Indonesia. Kondisi yang demikian ini, adalah "makna" sesungguhnya yang akan dinikmati juga oleh seluruh rakyat Murba dan Marhaen Indonesia.
Begitu pula, ketika wakil rakyat bangsa Indonesia dapat dipilih melalui pemilu yang umum, langsung, dan rahasia; lebih-kurang menguasai perekonomian 60% (pabrik, perkebunan, pertambangan, perangkutan, dan perbankan) di tangan rakyat Indonesia, barulah Revolusi Nasional Indonesia ini bermakna bagi rakyat Murba dan Marhaen Indonesia.
"Tetapi, jika pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki-tangan kapitalis asing---walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100% perusahaan modern Belanda berada di tangan kapitalis asing, seperti di zaman Hindia Belanda---maka Revolusi Nasional itu berarti membatalkan Proklamasi dan Kemerdekaan Nasional...."
Jadi, sebagaimana sudah diterangkan di awal, penyerangan Belanda kepada Indonesia menjadi dasar hukum Indonesia untuk menyita harta-benda milik Belanda (menyentuh urusan revolusi perekonomian). Ditambah lagi, menurut Tan Malaka, harta-benda yang ingin disita itu sebenarnya memang milik bangsa Murba dan Marhaen Indonesia sejak 350 tahun lamanya.
"Cuma manusia goblok yang tiada mengerti akan kesempatan yang bagus itu dan cuma manusia pengecut atau curang yang tiada ingin melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat buat masyarakat sekarang dan di hari depan," tutup Tan Malaka dalam penjelasannya tentang Perang di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H