Demokrasi dan Perkembangannya
Momentum untuk memberlakukan prinsip demokrasi muncul akibat revolusi borjuis di Prancis. Model demokrasi perwakilan kemudian dicetuskan sebagai hasil dari revolusi borjuis pada abad ke-18 dan ke-19 tersebut. Revolusi-revolusi ini tidak hanya dipicu oleh kejadian-kejadian spesifik atau situasional yang mungkin memicu revolusi mahapenting dalam sejarah dunia---seperti ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, krisis ekonomi, atau ketidakadilan sosial---tetapi juga mencerminkan perubahan dalam cara berpikir dalam bidang politik, kekuasaan, dan pemerintahan. Revolusi-revolusi ini kemudian berfungsi sebagai realisasi dari teori politik yang lebih luas, memberikan jalan bagi munculnya sistem politik yang baru.
Pada abad ke-20, para ilmuwan politik mulai memperjelas dan mengembangkan konsep demokrasi sebagai kategori sosial-ilmiah. Tokoh-tokoh tersebut, antara lain:
Pertama, Robert Dahl, yang mengidentifikasi delapan kondisi institusional untuk demokrasi, termasuk tingkat kompetisi politik (public contestation) dan inklusivitasnya. Dahl memperkenalkan istilah "polyarchies" untuk menggambarkan sistem politik di mana kompetisi politik diselenggarakan dengan bebas dan sebagian besar populasi akan memiliki hak untuk berpartisipasi.
Kondisi Institusional untuk Demokrasi menurut Robert Dahl:
1) Hak untuk mempengaruhi perwakilan melalui pemilihan yang bebas dan rahasia (Hak Memilih Aktif):
- Deskripsi: Setiap individu harus memiliki hak untuk mempengaruhi pemilihan anggota badan legislatif atau perwakilan melalui pemilihan yang bebas dan rahasia. Dalam istilah lain, hak setiap individu untuk memberikan suaranya.
- Tujuan: Menjamin bahwa semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan menentukan susunan pemerintahan.
2) Hak untuk dipilih (Hak Memilih Pasif):
- Deskripsi: Setiap individu harus memiliki hak untuk dicalonkan dan dipilih sebagai anggota badan legislatif atau perwakilan.
- Tujuan: Memberikan kesempatan kepada semua orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik sebagai calon pemimpin atau wakil rakyat.
3) Hak untuk Mengejar Kekuasaan Politik:
- Deskripsi: Setiap individu harus memiliki hak untuk mengejar posisi kekuasaan politik dan terlibat dalam proses politik.
- Tujuan: Memastikan bahwa akses politik harus terbuka bagi semua orang, sehingga setiap individu dapat terlibat dalam politik dan memperoleh kekuasaan politik.
4) Hak Politik:
- Deskripsi: Setiap individu harus memiliki hak untuk kebebasan berekspresi dan berasosiasi/berorganisasi.
- Tujuan: Menjamin bahwa individu dapat menyuarakan pendapat mereka dan bergabung dalam kelompok politik tanpa takut akan intimidasi dari pihak oposisi.
5) Kewenangan Legislatif:
- Deskripsi: Badan legislatif harus memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan dan mengawasi pemerintah.
- Tujuan: Menjamin bahwa badan legislatif memiliki peran aktif dalam pembuatan kebijakan dan pengawasan terhadap eksekutif.
6) Transparansi:
- Deskripsi: Proses pengambilan keputusan dan hasil keputusan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik.
- Tujuan: Memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat dipantau dan diperiksa oleh publik, mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
7) Aturan Mayoritas:
- Deskripsi: Pengambilan keputusan harus dilakukan berdasarkan prinsip mayoritas.
- Tujuan: Menjamin bahwa keputusan politik mencerminkan kehendak mayoritas dan bahwa proses pengambilan keputusan adalah demokratis.
8) Penghormatan terhadap Hak Minoritas:
- Deskripsi: Hak-hak minoritas harus dihormati meskipun keputusan diambil berdasarkan mayoritas.
- Tujuan: Memastikan bahwa hak-hak individu atau kelompok minoritas tidak dilanggar meskipun keputusan diambil oleh mayoritas, sehingga dapat melindungi hak-hak dasar semua warga negara.
Kedua, Arend Lijphart, yang menyempurnakan pemikiran Dahl dengan menekankan tanggung jawab pemerintah sebagai ciri utama demokrasi. Lijphart berfokus pada responsivitas pemerintah terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara umum.
Ketiga, David Easton, yang mengaitkan umpan balik dalam sistem politik dengan keputusan kebijakan, menunjukkan bagaimana umpan balik dari masyarakat memengaruhi kebijakan pemerintah.
Sejarah dan Ciri-ciri Negara Hukum
Negara hukum diartikan sebagai sistem pemerintahan di mana kekuasaan negara diatur dan dibatasi oleh hukum. Hukum bukan hanya alat untuk mengatur, melainkan juga menjadi dasar untuk seluruh struktur dan fungsi negara dalam menjalankan aktivitas kenegaraannya. Hukum menetapkan aturan dan batasan yang mengatur tindakan pemerintah dan melindungi hak-hak individu.
Sejarah dan Perkembangan
Konsep negara hukum berkembang dari tradisi hukum Eropa, mulai dari abad pertengahan dengan pengakuan hak-hak dasar yang dimiliki oleh kelas tertentu dan proses-proses hukum yang mulai terstandardisasi. Kemudian muncul Revolusi Prancis dan gerakan pencerahan (enlightenment) yang memberikan dorongan penting bagi pengembangan negara hukum dengan penekanan pada prinsip-prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan perlindungan hak-hak individu. Memasuki abad ke-19, terutama setelah era Revolusi Prancis, konsep negara hukum semakin berkembang dengan sistematisasi dan kodifikasi hukum, yang memperkenalkan prinsip-prinsip hukum yang lebih uniform dan lebih bersifat objektif.
Ciri-ciri Negara Hukum
- Birokrasi dan Kodifikasi Hukum: Negara hukum harus melibatkan pengembangan birokrasi yang profesional dan sistem hukum yang terstandardisasi dengan baik dan efektif. Kodifikasi hukum juga berarti bahwa setiap hukum haruslah dicatat dan diatur dalam hukum tertulis yang sistematis, sehingga membuat hukum lebih mudah diakses dan dipahami oleh warga negara.
- Hukum sebagai Pengatur dan Batas Kekuasaan: Kekuasaan pemerintah dalam negara hukum harus dibatasi oleh hukum yang berlaku secara umum. Hal ini akan memastikan bahwa pemerintah tidak dapat bertindak sembarangan dan harus mematuhi hukum yang telah ditetapkan dalam menjalankan kegiatan kenegaraannya.
- Melindungi Hak-hak Individu: Negara hukum harus melindungi hak-hak individu, termasuk kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan hak atas keadilan. Hak ini juga melibatkan penerapan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hukum yang sama bagi tiap-tiap individu.
- Pengawasan dan Transparansi: Keputusan dan proses pemerintahan harus transparan dan dapat diawasi oleh publik. Pengawasan ini memungkinkan adanya mekanisme untuk menilai dan menantang tindakan pemerintah jika melanggar hukum.
Prinsip-prinsip Utama
- Salus Populi Suprema Lex: Asas yang mengacu pada prinsip bahwa kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Dalam konteks negara hukum, asas ini berarti bahwa tindakan pemerintah yang ekstrem atau luar biasa kemungkinan dapat dibenarkan apabila memang diperlukan untuk menjaga kesejahteraan umum, tetapi harus dilakukan dengan pertimbangan dan dalam batasan hukum yang ada.
- Raison d'tat: Asas yang berasal dari tradisi Kristen-Protestan yang menyatakan bahwa tindakan luar biasa oleh pemerintah bisa diterima untuk kepentingan negara, tetapi harus dilakukan dengan tanggung jawab moral dan hukum.
Meskipun "salus populi suprema lex" dan "raison d'tat" tampak kontradiktif dengan prinsip-prinsip negara hukum yang menekankan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia, keduanya diakui sebagai bagian penting dari negara hukum dalam keadaan darurat. Negara hukum tidak berarti hukum adalah satu-satunya instrumen dalam setiap situasi. Dalam keadaan yang luar biasa (misalnya, perang atau bencana alam), kedua prinsip ini memungkinkan negara untuk menyimpang dari norma-norma hukum untuk melindungi eksistensinya dan keselamatan warganya.Â
Kendati demikian, tindakan-tindakan yang dilakukan di bawah prinsip ini biasanya bersifat sementara dan memerlukan pembenaran yang kuat serta kontrol oleh lembaga-lembaga negara lainnya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Liberalisme Vs. Komunitarianisme
Sejak tahun 1970-an, terjadi debat filosofis antara dua aliran pemikiran terkemuka dalam teori politik dan hukum, yaitu kaum liberal (dikaitkan dengan teori John Rawls) dan kaum komunitarian (communitarian). Debat ini berfokus pada pertanyaan apakah negara hukum harus tetap netral terhadap preferensi pandangan hidup warga negara (pendekatan liberal), atau justru negara hukum harus mengekspresikan dan mendukung nilai-nilai serta budaya bersama dari suatu komunitas politik (pendekatan komunitarian).
Pendekatan liberal, seperti yang dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice, menekankan pentingnya menjamin kebebasan individu dan hak-hak dasar tiap-tiap individu. Menurut pandangan Rawls, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut menguntungkan semua orang, khususnya mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Ini adalah bagian dari teori keadilan Rawls yang dikenal sebagai difference principle. Gagasan Rawls berfokus pada penciptaan tatanan hukum yang netral, di mana orang bebas untuk menjalani kehidupan mereka sesuai dengan pilihannya masing-masing, tanpa memandang latar belakang kebudayaannya. Pendekatan ini sangat cocok untuk masyarakat multikultural di mana keberagaman dan otonomi individu menjadi prioritas.
Sebaliknya, kaum komunitarian mengkritik pendekatan ini dengan menyebutkannya sebagai konsep yang terlalu abstrak, lemah dalam sosiologi, dan kurang terikat secara sosial. Mereka berpendapat bahwa suatu masyarakat memerlukan budaya atau nilai-nilai bersama---yang disebut Frits Bolkestein sebagai "relasi yang menginspirasi satu sama lain"---untuk menjaga kohesi dan solidaritas sosial. Tanpa elemen pengikat ini, sebuah masyarakat bisa jatuh ke dalam anomie (kekosongan norma) dan kurangnya rasa kebersamaan.
Di negeri Belanda, kita melihat kedua pendekatan ini tercermin dalam diskusi politik, seperti dalam kesepakatan koalisi Kabinet Balkenende II. Di satu sisi, pentingnya menghormati, menoleransi, dan melawan diskriminasi ditekankan, yang sejalan dengan tradisi liberal. Di sisi lain, terdapat tuntutan bahwa pendatang baru harus aktif berpartisipasi dalam masyarakat, mempelajari bahasa Belanda, dan mematuhi norma serta nilai-nilai Belanda---sebuah pendekatan komunitarian yang menuntut integrasi ke dalam budaya bersama.
Ketegangan antara kedua pendekatan ini tetap relevan, terutama dalam diskusi mengenai masyarakat multikultural dan pertanyaan tentang bagaimana negara hukum demokratis harus memposisikan diri terhadap keberagaman budaya dan pandangan hidup.
Pandangan Rousseau vs Montesquieu
Perbedaan yang dibuat oleh ahli hukum Belanda, F. R. Bhtlingk, pada tahun 50-an antara konsep negara hukum Rousseauaans dan Montesquieuaans mengungkapkan ketegangan mendasar yang masih relevan dalam diskusi kontemporer tentang negara hukum.
Dalam pandangan Rousseauaans, penekanan diberikan pada demokrasi dan asas legalitas, di mana legitimasi dari pengambilan keputusan terutama berasal dari fakta bahwa keputusan tersebut disetujui oleh mayoritas rakyat. Model ini memandang kehendak rakyat sebagai sinonim dengan hukum, dan setiap upaya untuk membatasi pemerintah yang demokratis dianggap menghalangi kehendak rakyat. Konsep Rousseauaans juga cenderung tidak mempercayai kekuasaan kehakiman, karena hakim dapat menggunakan kekuasaan politik tanpa legitimasi demokratis. Kritik terhadap hakim yang "duduk di kursi eksekutif" berakar dari pandangan ini.
Sebaliknya, konsep Montesquieuaans menekankan pentingnya prinsip checks and balances, di mana trias politica (pemisahan kekuasaan) adalah landasan yang sangat penting. Model Montesquieu mendukung pemisahan yang ketat antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan hakim (yudikatif) sebagai kekuatan penyeimbang yang diperlukan. Model ini menegaskan bahwa baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif harus tunduk pada aturan yang membatasi wewenang mereka. Hal ini ditujukan guna mencegah penyalahgunaan legitimasi demokratis kedua urusan pemerintahan. Proses pengambilan keputusan yang seimbang menjadi inti, dengan peran kunci bagi peradilan independen.
Singkatnya, ketegangan antara legitimasi demokratis (Rousseau) dan kontrol kelembagaan (Montesquieu) mencerminkan diskusi yang terus berlangsung mengenai batas-batas demokrasi dan peran hakim dalam negara hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H