Di negeri Belanda, kita melihat kedua pendekatan ini tercermin dalam diskusi politik, seperti dalam kesepakatan koalisi Kabinet Balkenende II. Di satu sisi, pentingnya menghormati, menoleransi, dan melawan diskriminasi ditekankan, yang sejalan dengan tradisi liberal. Di sisi lain, terdapat tuntutan bahwa pendatang baru harus aktif berpartisipasi dalam masyarakat, mempelajari bahasa Belanda, dan mematuhi norma serta nilai-nilai Belanda---sebuah pendekatan komunitarian yang menuntut integrasi ke dalam budaya bersama.
Ketegangan antara kedua pendekatan ini tetap relevan, terutama dalam diskusi mengenai masyarakat multikultural dan pertanyaan tentang bagaimana negara hukum demokratis harus memposisikan diri terhadap keberagaman budaya dan pandangan hidup.
Pandangan Rousseau vs Montesquieu
Perbedaan yang dibuat oleh ahli hukum Belanda, F. R. Bhtlingk, pada tahun 50-an antara konsep negara hukum Rousseauaans dan Montesquieuaans mengungkapkan ketegangan mendasar yang masih relevan dalam diskusi kontemporer tentang negara hukum.
Dalam pandangan Rousseauaans, penekanan diberikan pada demokrasi dan asas legalitas, di mana legitimasi dari pengambilan keputusan terutama berasal dari fakta bahwa keputusan tersebut disetujui oleh mayoritas rakyat. Model ini memandang kehendak rakyat sebagai sinonim dengan hukum, dan setiap upaya untuk membatasi pemerintah yang demokratis dianggap menghalangi kehendak rakyat. Konsep Rousseauaans juga cenderung tidak mempercayai kekuasaan kehakiman, karena hakim dapat menggunakan kekuasaan politik tanpa legitimasi demokratis. Kritik terhadap hakim yang "duduk di kursi eksekutif" berakar dari pandangan ini.
Sebaliknya, konsep Montesquieuaans menekankan pentingnya prinsip checks and balances, di mana trias politica (pemisahan kekuasaan) adalah landasan yang sangat penting. Model Montesquieu mendukung pemisahan yang ketat antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan hakim (yudikatif) sebagai kekuatan penyeimbang yang diperlukan. Model ini menegaskan bahwa baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif harus tunduk pada aturan yang membatasi wewenang mereka. Hal ini ditujukan guna mencegah penyalahgunaan legitimasi demokratis kedua urusan pemerintahan. Proses pengambilan keputusan yang seimbang menjadi inti, dengan peran kunci bagi peradilan independen.
Singkatnya, ketegangan antara legitimasi demokratis (Rousseau) dan kontrol kelembagaan (Montesquieu) mencerminkan diskusi yang terus berlangsung mengenai batas-batas demokrasi dan peran hakim dalam negara hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H