Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Depan Negara Hukum dan Demokrasi: Antara Kebebasan Individu dan Solidaritas Sosial

7 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 7 Desember 2024   20:08 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri Belanda, kita melihat kedua pendekatan ini tercermin dalam diskusi politik, seperti dalam kesepakatan koalisi Kabinet Balkenende II. Di satu sisi, pentingnya menghormati, menoleransi, dan melawan diskriminasi ditekankan, yang sejalan dengan tradisi liberal. Di sisi lain, terdapat tuntutan bahwa pendatang baru harus aktif berpartisipasi dalam masyarakat, mempelajari bahasa Belanda, dan mematuhi norma serta nilai-nilai Belanda---sebuah pendekatan komunitarian yang menuntut integrasi ke dalam budaya bersama.

Ketegangan antara kedua pendekatan ini tetap relevan, terutama dalam diskusi mengenai masyarakat multikultural dan pertanyaan tentang bagaimana negara hukum demokratis harus memposisikan diri terhadap keberagaman budaya dan pandangan hidup.

Pandangan Rousseau vs Montesquieu

Perbedaan yang dibuat oleh ahli hukum Belanda, F. R. Bhtlingk, pada tahun 50-an antara konsep negara hukum Rousseauaans dan Montesquieuaans mengungkapkan ketegangan mendasar yang masih relevan dalam diskusi kontemporer tentang negara hukum.

Dalam pandangan Rousseauaans, penekanan diberikan pada demokrasi dan asas legalitas, di mana legitimasi dari pengambilan keputusan terutama berasal dari fakta bahwa keputusan tersebut disetujui oleh mayoritas rakyat. Model ini memandang kehendak rakyat sebagai sinonim dengan hukum, dan setiap upaya untuk membatasi pemerintah yang demokratis dianggap menghalangi kehendak rakyat. Konsep Rousseauaans juga cenderung tidak mempercayai kekuasaan kehakiman, karena hakim dapat menggunakan kekuasaan politik tanpa legitimasi demokratis. Kritik terhadap hakim yang "duduk di kursi eksekutif" berakar dari pandangan ini.

Sebaliknya, konsep Montesquieuaans menekankan pentingnya prinsip checks and balances, di mana trias politica (pemisahan kekuasaan) adalah landasan yang sangat penting. Model Montesquieu mendukung pemisahan yang ketat antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan hakim (yudikatif) sebagai kekuatan penyeimbang yang diperlukan. Model ini menegaskan bahwa baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif harus tunduk pada aturan yang membatasi wewenang mereka. Hal ini ditujukan guna mencegah penyalahgunaan legitimasi demokratis kedua urusan pemerintahan. Proses pengambilan keputusan yang seimbang menjadi inti, dengan peran kunci bagi peradilan independen.

Singkatnya, ketegangan antara legitimasi demokratis (Rousseau) dan kontrol kelembagaan (Montesquieu) mencerminkan diskusi yang terus berlangsung mengenai batas-batas demokrasi dan peran hakim dalam negara hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun