Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Von Mohl & Mazhab Sejarah: Sang Arsitek Rechtsstaat yang Menata Dunia Hukum Kontemporer

2 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:58 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://muslimskeptic.com/wp-content/uploads/2024/11/IMG_7302.jpeg

Von Mohl juga menegaskan bahwa Undang-Undang (act) harus selaras dengan semangat konstitusi, yang mana merujuk pada nilai-nilai dan tujuan dasar yang terkandung dalam konstitusi. Von Mohl menekankan bahwa Undang-Undang (act) tidak hanya harus sesuai dengan teks konstitusi secara literal, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan yang lebih mendasar yang dimaksudkan oleh konstitusi. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang harus mencerminkan nilai-nilai inti dari konstitusi, seperti keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hak-hak dasar, dan tidak boleh mengatur atau memperkenalkan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Karakteristik Undang-Undang (act) menurut von Mohl:

1) Harus bersifat permanen dan imperatif, artinya Undang-Undang harus berupa norma yang tetap dan bersifat mengikat. Undang-undang (act) dirancang permanen, yaitu dirancang untuk berlaku dalam jangka waktu yang lama dan tidak mudah diubah. Karakter permanen dari Undang-Undang akan memastikan bahwa ada kontinuitas dan kepastian hukum dalam sistem hukum. Von Mohl menekankan bahwa Undang-Undang tidak boleh sering berubah atau diubah tanpa alasan yang jelas dan mendasar, karena perubahan yang terlalu sering dapat merusak stabilitas dan keandalan hukum itu sendiri. Selain itu, Undang-Undang (act) harus bersifat imperatif, yang berarti ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa. Sebagai norma yang imperatif, Undang-Undang dapat menetapkan kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh warga negara dan pihak-pihak terkait. Undang-undang sebagai norma imperatif berfungsi untuk mengatur perilaku dan hubungan dalam masyarakat secara tegas dan memberikan dasar hukum yang jelas untuk penegakan hukum dan pembuatan keputusan.

2) Regulasi yang menetapkan kewajiban dan hak, artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh warga negara, lembaga, atau entitas lainnya. Kewajiban ini meliputi berbagai tindakan atau larangan yang diatur oleh Undang-Undang, dan setiap pelanggaran terhadap kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi atau tindakan hukum. Dengan demikian, Undang-Undang bertindak sebagai instrumen untuk mengatur perilaku dan memastikan kepatuhan terhadap aturan hukum. Selain menetapkan kewajiban, Undang-Undang juga mengatur hak-hak yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam masyarakat. Hak-hak ini dapat mencakup hak-hak sipil, politik, sosial, dan ekonomi yang diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang. Undang-undang dapat menyediakan kerangka hukum yang memungkinkan warga negara untuk mengklaim dan melindungi hak-hak mereka, serta menetapkan mekanisme untuk penyelesaian sengketa terkait hak.

3) Harus didasarkan pada keperluan yang nyata (real necessity), artinya Undang-Undang hanya boleh dikeluarkan jika benar-benar diperlukan, dan harus menghindari regulasi yang tidak perlu atau merugikan negara. Undang-undang pun tidak boleh dibentuk hanya untuk memenuhi tuntutan atau keinginan yang tidak berdasar atau hanya untuk kepentingan sesaat. Keperluan nyata dalam hal ini bisa berupa masalah hukum, sosial, ekonomi, atau administratif yang membutuhkan solusi hukum yang terstruktur. Dengan demikian, von Mohl menolak pembentukan Undang-Undang yang tidak memiliki dasar kebutuhan yang jelas atau yang tidak akan memberikan manfaat praktis, sehingga menyebabkan malah menambah kerumitan dan mungkin merugikan negara, alih-alih memberikan solusi yang efektif.

4) Harus berprinsip generalisasi dalam konteks latar belakang pembentukanya, artinya Undang-Undang harus bersifat umum dan menghindari regulasi yang terlalu spesifik atau kasus demi kasus. Memang sudah seharusnya Undang-Undang menjadi aturan umum yang berlaku untuk berbagai situasi dan kasus. Dengan demikian, Undang-Undang harus memberikan panduan yang berlaku secara umum dan tidak terlalu detail.

5) Harus tepat waktu penerapannya, artinya Undang-Undang harus dipublikasikan dan diterapkan pada saat yang tepat, yaitu ketika kondisi sosial, ekonomi, atau politik benar-benar memerlukan aturan baru. Undang-undang tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan atau tidak boleh ditetapkan secara terburu-buru tanpa pertimbangan yang matang mengenai waktunya. Ini juga berkaitan dengan ciri sebelumnya, yaitu keperluan yang nyata, sehingga Undang-Undang tersebut didasarkan pada penilaian yang mendalam mengenai kebutuhan nyata dan kesiapan masyarakat untuk menerima serta menerapkan aturan baru.

6) Tidak mengatur kewajiban yang tidak perlu, artinya Undang-Undang harus menghindari ad impossibilia non datur obligatio, sehingga Undang-Undang tidak boleh mencantumkan kewajiban yang tidak mungkin dipenuhi oleh subjek hukum. Ini mencakup kewajiban yang secara nyata tidak dapat dipenuhi baik karena ketidakmungkinan teknis maupun karena ketidakcocokan dengan sifat manusia atau kondisi praktis. Kewajiban seperti ini akan dianggap tidak sah dan tidak dapat diberlakukan, contohnya antara lain, kewajiban yang tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia, bertentangan dengan konstitusi, tidak mempertimbangkan kondisi dan keperluan yang nyata, dan kewajiban yang memberikan beban kepada subjek hukum secara berlebihan.

7) Kesesuaian dengan hukum adat dan kebiasaan, artinya Undang-Undang harus memperhatikan hukum adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Ini termasuk mempertimbangkan tingkat peradaban dan kebutuhan khusus dari masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti bahwa ketika merancang dan menerapkan Undang-Undang, penting untuk mempertimbangkan norma-norma sosial dan tradisi yang sudah ada dalam masyarakat. Undang-undang baru harus selaras dengan prinsip-prinsip hukum adat dan kebiasaan lokal. Hal ini memastikan bahwa Undang-Undang tidak bertentangan dengan praktik-praktik yang sudah mapan dan diterima dalam masyarakat, serta membantu dalam penerimaan dan pelaksanaan Undang-Undang tersebut di lapangan. Undang-undang baru harus selaras dengan prinsip-prinsip hukum adat dan kebiasaan lokal. Hal ini memastikan bahwa Undang-Undang tidak bertentangan dengan praktik-praktik yang sudah mapan dan diterima dalam masyarakat, serta membantu dalam penerimaan dan pelaksanaan Undang-Undang tersebut di lapangan.

8) Kepatuhan pada hukum yang lebih tinggi, artinya Undang-Undang harus sesuai dengan norma yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan hak-hak pribadi yang telah diperoleh secara sah, seperti Undang-Undang dasar (konstitusi) atau prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Selain itu, Undang-Undang harus sejalan pula dengan prinsip-prinsip fundamental yang diatur dalam norma-norma hukum yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip ini mencakup nilai-nilai dasar dari sistem hukum yang lebih tinggi, yang mencerminkan tujuan dan ideologi dasar dari negara hukum. Hal ini pun akan berdampak pada proses perubahan Undang-Undang. Von Mohl menekankan bahwa perubahan Undang-Undang harus dilakukan dengan mematuhi prosedur yang ditetapkan oleh norma hukum yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Undang-Undang hanya dapat diubah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam konstitusi atau norma hukum yang lebih tinggi, dan tidak dapat diubah sembarangan tanpa memperhatikan ketentuan tersebut.

9) Konsistensi, artinya semua Undang-Undang harus konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain. Undang-undang harus bebas dari kontradiksi internal. Artinya, Undang-Undang harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak mengandung ketentuan yang saling bertentangan. Setiap pasal atau ketentuan dalam Undang-Undang harus selaras satu sama lain dan mendukung tujuan hukum secara keseluruhan. Konsistensi lainnya, antara lain dengan prinsip-prinsip dasar---hak asasi manusia, keadilan, dan prinsip demokrasi---yang mendasari sistem hukum negara tersebut; Undang-Undang harus konsisten dengan Undang-Undang lain yang berlaku dalam sistem hukum, sehingga selaras dengan Undang-Undang yang sudah ada dan tidak membentuk ketentuan yang bertentangan dengan peraturan yang telah ada (harmonisasi dan terintegrasi); berkaitan dengan sejauh mana Undang-Undang mencerminkan dan mendukung tujuan dan ideologi negara; konsistensi juga perlu dijaga dalam hal implementasi dan penegakan Undang-Undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun