Von Mohl jelas dipengaruhi oleh Mazhab Sejarah Jerman, sebab ia mengakui pentingnya adat dan kebiasaan dalam pembentukan hukum. Ia percaya bahwa hukum harus mencerminkan tingkat peradaban dan perkembangan masyarakat yang bersangkutan.Â
Von Mohl menolak pandangan bahwa hukum muncul secara spontan dari "jiwa" atau spirit dari suatu bangsa, sebab pandangan tersebut dianggap sebagai bentuk "mysticism" atau mistisisme yang tidak praktis. Menurutnya, negara tidak boleh hanya mengodifikasi norma adat, tetapi juga harus membuat Undang-Undang secara mandiri, terutama ketika perubahan sosial---seperti yang terjadi selama Revolusi Industri---menuntut adanya struktur hukum yang lebih formal.
Dengan demikian, von Mohl lebih memilih pandangan yang mengakui peran aktif negara dalam merumuskan hukum secara rasional dan terstruktur, serta mengadaptasi hukum sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Ia percaya bahwa, meski hukum harus mencerminkan adat dan kebiasaan, negara juga harus memiliki peran dalam menciptakan dan memperbaharui hukum untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya dalam masyarakat yang terus berkembang. Pada hakikatnya, von Mohl mendukung pendekatan yang seimbang dan selaras, dengan menganjurkan agar hukum adat tetap menjadi pertimbangan dalam proses legislasi sekaligus mengedepankan peran utama negara dalam menjaga persatuan, keteraturan, dan memperbaiki hukum adat yang tidak adil.
Verfassung dan Verfassungs-Urkunde
Doktrin von Mohl berfokus pada triad constitution, yaitu Undang-Undang, dan peraturan, yang mendominasi karyanya, sementara common law memiliki posisi sekunder. Secara historis, istilah "Verfassung" (konstitusi) dalam ilmu hukum Jerman merujuk pada sistem atau kondisi negara secara keseluruhan, bukan hanya pada suatu tindakan hukum tunggal Undang-Undang tertulis yang spesifik. Sebaliknya, Verfassung dipahami sebagai konsep yang lebih luas yang mencakup struktur dan prinsip-prinsip dasar negara. Hal ini berarti Verfassung bukan hanya merujuk pada satu dokumen hukum atau konstitusi yang tertulis, melainkan juga mencakup sistem dan kondisi keseluruhan yang mendefinisikan mekanisme negara dalam beroperasi. Selain itu, Verfassung adalah organisasi atau struktur umum negara yang mencakup berbagai aspek, seperti bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan hubungan antara negara dan warganya.
Konstitusi dapat muncul dalam berbagai bentuk hukum, tidak harus dalam satu dokumen atau Undang-Undang tertulis. Hal ini juga bisa mencakup akta konstitusi (Verfassungs-Urkunde) yang merupakan dokumen tertulis, serta prinsip-prinsip yang mungkin tersebar dalam beberapa Undang-Undang atau bahkan hukum adat.
Pemahaman tersebut berkembang pada abad ke-17 dan ke-18, seiring berkembangnya ide-ide Pencerahan yang menekankan pembatasan kekuasaan absolut melalui norma konstitusi. Pada abad ke-19, konstitusi dianggap sebagai mekanisme borjuis untuk membatasi kekuasaan monarki. Dalam arti lain, konstitusi berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh kelas borjuis (kelas menengah yang berkembang dalam masyarakat kapitalis) untuk membatasi atau mengurangi kekuasaan absolut para monarki dan penguasa absolut.
Konstitusi, memang pada waktu itu dianggap sebagai cara untuk menerapkan aturan dan prinsip yang mengendalikan kekuasaan penguasa dan memastikan bahwa kekuasaan tersebut dibagi atau dibatasi. Kelas borjuis, yang saat itu semakin berpengaruh dalam masyarakat, mendorong penerapan konstitusi sebagai jalan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka serta membatasi kekuasaan penguasa yang mutlak. Konstitusi digunakan untuk menerapkan norma-norma hukum yang mengurangi kekuasaan absolut para monarki dan penguasa, dan memperkenalkan prinsip-prinsip pemerintahan yang lebih demokratis atau berbasis pada hukum.
Pandangan Von Mohl sejalan dengan pandangan ini, yang memahami "Verfassung" bukan sebagai konstitusi tertulis, tetapi sebagai konsep yang lebih luas yang mendefinisikan organisasi dan tujuan negara. Penafsirannya tentang "organisasi" antara lain mencakup prinsip-prinsip negara, struktur kekuasaan, dan hubungan dengan warga negara, dan pandangan ini tetap konsisten sepanjang kariernya. Ia membedakan antara "Verfassung" (organisasi) dan "Verfassungs-Urkunde" (akta konstitusi), yang menekankan bahwa tidak semua prinsip negara tercermin dalam Undang-Undang tertulis.
Von Mohl mendukung sistem konstitusi yang didasarkan pada kesepakatan antara penguasa dan rakyat, tetapi juga memungkinkan konstitusi yang diberlakukan tanpa perwakilan. Dalam hal ini, konstitusi tanpa perwakilan dapat diberlakukan apabilan hak-hak warga negara tetap dilindungi. Dengan begitu, Mohl juga mengakui bahwa dalam beberapa situasi, sebuah konstitusi bisa saja diadopsi atau diberlakukan secara sepihak oleh penguasa tanpa adanya keterlibatan atau persetujuan langsung dari wakil rakyat (perwakilan rakyat).
Namun, meskipun konstitusi bisa diberlakukan tanpa partisipasi dari dan atas perwakilan, von Mohl tidak menentang perwakilan sepenuhnya. Dia mendukung konstitusi yang didasarkan pada kontrak atau kesepakatan antara penguasa dan rakyat, di mana perwakilan biasanya terlibat dalam proses tersebut. Dalam pandangannya, partisipasi rakyat melalui perwakilan merupakan cara yang ideal untuk menetapkan aturan dan hak-hak yang berlaku dalam suatu negara. Von Mohl pun lebih menyukai konstitusi yang dihasilkan dari kesepakatan antara penguasa dan rakyat melalui sistem perwakilan, karena ini memberikan legitimasi yang lebih kuat pada pemerintahan dan melindungi hak-hak warga negara. Dalam pandangannya, konstitusi berfungsi sebagai alat untuk menegakkan hukum dan melindungi kebebasan individu.
Von Mohl pun ercaya bahwa ketentuan konstitusi harus terus-menerus berkembang sesuai dengan tujuan negara, tetapi memperingatkan agar perubahan tidak dilakukan secara cepat, karena warga negara perlu membangun hubungan yang kuat dengan norma konstitusi. Konstitusi dan norma-norma konstitusional harus menjadi bagian integral dari kehidupan politik dan sosial warga negara. Hal ini berarti bahwa warga negara tidak hanya tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh konstitusi, tetapi mereka juga harus memahami, menerima, dan menghargai prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam konstitusi.