Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Thomas Jefferson dan Al-Qur'an, Kisah Tersembunyi di Balik Layar Kemerdekaan Amerika Serikat

19 November 2024   19:00 Diperbarui: 19 November 2024   19:04 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: PICRYL

Ketidaksukaan orang Amerika dan para pendiri bangsanya terhadap Islam berakar kuat dalam sejarah bangsanya. Sebagian besar, hal ini disebabkan oleh para pemukim koloni-koloni Amerika yang berketurunan dari Eropa Protestan. Mereka yang beragama Protestan ini mewarisi prasangka yang amat buruk terhadap agama-agama non-Kristen Protestan, seperti Yahudi, Katolik, dan Muslim.

Sejak zaman Reformasi Protestan di Eropa, Islam sering kali digunakan sebagai gambaran yang negatif dalam retorika keagamaan. Misalnya, tokoh-tokoh Reformasi Gereja pada masa itu, seperti Martin Luther dan John Calvin, secara terbuka memperbandingkan Islam---yang sering dipersonifikasikan dalam pandangan tokoh Reformasi sebagai Kekaisaran Ottoman)---dengan "Antikristus", dan bahkan mempersamakan kekuasaan Sultan Ottoman dengan Paus Katolik, yang mana menunjukkan jelas ketidaktahuannya sama sekali.

Kekaisaran Ottoman yang dipersepsikan sebagai "wakil kekuasaan tunggal dari Islam" dikaitkan dengan pemerintahan absolut dan tirani, sehingga mereka menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang absolut dan tiran pula. Oleh karena itu, para tokoh Reformasi Gereja menganggap kedua otoritas---baik Sultan Ottoman maupun Paus Katolik---sebagai bentuk dari tirani dalam agama.

Penulis Radikal Whig, seperti Thomas Gordon dan John Trenchard dalam Cato's Letters, kerap menggambarkan Kekaisaran Ottoman sebagai simbol dari pemerintahan despotik yang menindas rakyatnya dan tidak memiliki prinsip-prinsip kebebasan republikanisme. 

Para pendiri bangsa Amerika, yang sangat dipengaruhi oleh ide-ide republik ini, melihat Islam bukan hanya sebagai ancaman dalam konteks keagamaan, melainkan juga sebagai ancaman dalam aspek politik. Kekuasaan "sultan" dalam tata negara Kekaisaran Ottoman yang tanpa batas menjadi semacam peringatan bagi Amerika tentang berbahayanya pemerintahan absolut yang bertentangan dengan prinsip kebebasan dan demokrasi yang ingin mereka terapkan di Amerika.

Selain itu, dalam sejarah relasi antara Kristen dan Islam, terutama sejak Abad Pertengahan, Islam kerap kali dianggap sebagai agama sesat dan bertentangan dengan ajaran-ajaran Kristen. 

Literatur dan polemik keagamaan di Eropa kemudian menggambarkan Nabi Muhammad sebagai penjahat dan "seorang pembuat perpecahan", seperti dalam Divine Comedy karya Dante bertajuk Inferno, di mana Nabi Muhammad ditempatkan di lingkaran kedelapan dalam Neraka dalam karyanya. 

Dalam pandangan Dante, Nabi Muhammad dianggap sebagai schismatic atau orang yang memecah-belah, sehingga ia ditempatkan dalam bagian Neraka yang dihuni oleh para "penyebar perpecahan" (sowers of discord). Sikap-sikap negatif ini akhirnya terbawa ke Amerika, sehingga Islam terus-menerus dipandang sebagai ancaman bagi tatanan moral dan religius masyarakat Amerika pada saat awal kemerdekaan.

Para pendiri bangsa Amerika juga menjadikan Islam sebagai contoh hipotetis untuk menguji sejauh mana kebebasan beragama harus diterapkan. 

Karena ketidaksukaan di tengah masyarakat Amerika pada masa awal kemerdekaan bangsa Amerika terhadap Islam, pertanyaan pun muncul: apakah kebebasan beragama hanya harus mencakup denominasi Kristen saja, atau juga agama-agama lain yang dipandang lebih asing dan mencurigakan (bagi Amerika yang beragama Kristen), khususnya Islam. 

Hal itu disebabkan oleh karena Islam, bersama dengan Katolik dan Yahudi, dianggap sebagai ancaman potensial terhadap prinsip-prinsip kebebasan sipil dan politik yang ingin mereka bangun di Amerika.

Ketidaksukaan tersebut juga dapat digali sampai ke sejarah kedatangan Muslim di Benua Amerika. Muslim pertama yang tiba di Amerika bukanlah imigran bebas, melainkan sebagian besar adalah kalangan budak yang dibawa dari Afrika Barat selama perdagangan budak Atlantik yang dilakukan oleh bangsa kulit putih dari Eropa. Banyak dari mereka berasal dari wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Di beberapa perkebunan di Amerika, budak Muslim sangat "dihargai" karena etos kerjanya yang tinggi dan kepercayaan mereka yang melarang mengonsumsi alkohol. Meskipun demikian, praktik Islam di kalangan budak secara bertahap terus-menerus memudar. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap literasi, teks-teks agama, seperti Al-Qur'an, dan dampak kuat dari konversi paksa ke agama Kristen yang dilakukan oleh para misionaris Protestan.

Dampak kuat dari konversi paksa ke agama Kristen yang dilakukan oleh para misionaris Kristen-Protestan menyebabkan banyak umat muslim yang berlatar belakang budak di Benua Amerika terus-menerus menurun, bahkan harus terpaksa sirna.

Selain itu, meskipun beberapa pemilik budak lebih menyukai budak Muslim karena mereka dianggap lebih mempunyai sikap disiplin dan bisa dipercaya untuk tugas-tugas penting, hal ini tetap tak diterjemahkan menjadi sikap yang lebih toleran terhadap Islam secara umum. Islam tetap dilihat sebagai agama yang asing dan menakutkan, terutama karena pandangan yang diwarisi dari tradisi Protestanisme-Eropa.

Mengenai perbudakan Amerika yang menyebabkan banyak dari Muslim menjadi korbannya, para pendiri bangsa Amerika sebenarnya menyadari bahwa terdapat kontradiksi di dalam peradaban Amerika yang ingin mereka bangun, yaitu di antara prinsip-prinsip kebebasan dan republik yang mereka perjuangkan dalam pembentukan Amerika yang pada hakikatnya bertentangan dengan praktik perbudakan.

Meskipun beberapa di antara para pendiri bangsa Amerika memahami bahwa terdapat ketidaksesuaian moral antara perbudakan dan prinsip kebebasan, mereka tetap memilih untuk mempertahankan perbudakan. Dapat dikatakan bahwa alasan dasarnya adalah faktor ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perbudakan dilestarikan dalam Konstitusi AS melalui Pasal V, yang memungkinkan keberlanjutannya selama beberapa dekade setelah kemerdekaan Amerika.

Pada intinya, para pendiri bangsa Amerika, sejak dari awal pembentukan bangsa dan negara, tidak menganggap budak Muslim sebagai warga negara yang dijamin oleh Konstitusi. Alasan utamanya adalah karena para pendiri bangsa Amerika, pada waktu itu, sama sekali tidak menganggap budak sebagai manusia, terlepas dari apa pun agama mereka, yang merupakan bagian dari masyarakat dengan perlindungan hak-hak sipil dan politik. 

Budak menurut para pendiri bangsa Amerika, termasuk budak Muslim dari Afrika Barat, hanya diperlakukan sebagai properti, bukan sebagai individu yang memiliki hak-hak yang sama dengan orang kulit putih yang "merdeka".

Konstitusi asli Amerika Serikat tidak memberikan hak apa pun kepada budak, dan perdebatan mengenai kebebasan beragama pada masa itu hanyalah berfokus pada kelompok-kelompok agama minoritas yang memperoleh kebebasan, seperti Yahudi dan Katolik, serta Muslim-hipotetis, tetapi tidak mencakup budak Muslim atau budak lainnya. 

Maka dari itu, Konstitusi AS dapat disimpulkan tidak secara eksplisit membatasi hak-hak agama tertentu, tetapi dalam praktik dan penerapannya, pada masa awal, tidak sepenuhnya inklusif untuk semua agama.

Istilah Muslim-hipotetis tersebut mengacu pada gagasan tentang seorang Muslim secara imajiner atau hanya teoretis yang digunakan oleh para pendiri bangsa Amerika dalam perdebatan mereka mengenai batasan kebebasan beragama. Pada masa itu, meskipun sangat sedikit Muslim yang hidup secara bebas di Amerika Serikat, para pendiri bangsa sering menggunakan figur Muslim-hipotetis sebagai bahan dalam perdebatan tentang sejauh mana kebebasan beragama harus diberikan dalam negara baru tersebut. 

Meskipun Muslim-hipotetis secara teoretis dianggap berhak menerima hak-hak yang dijamin oleh Konstitusi, seperti kebebasan beragama, pada saat itu kenyataannya sangat sedikit Muslim bebas di Amerika, dan karena itu konsep ini tetaplah hanya hipotetis.

Dengan berbagai sejarah dan alasan ketidaksukaan yang mendalam para pendiri bangsa Amerika terhadap Islam, Thomas Jefferson---salah seorang pendiri bangsa---memiliki Al-Qur'an. Jefferson membeli Al-Qur'an pada tahun 1765 dari seorang pedagang buku di Philadelphia. Al-Qur'an tersebut adalah edisi yang diterjemahkan oleh George Sale, seorang penulis Inggris yang terkenal dengan terjemahannya yang luas tentang teks-teks Islam.

Jefferson memang tidak beragama Islam dan tak ada sama sekali bukti yang menunjukkan bahwa dirinya menganut Islam. Namun, Jefferson tertarik pada Al-Qur'an dan mempelajarinya sebagai bagian dari minatnya yang lebih luas dalam studi agama dan budaya. 

Jefferson, sebagai seorang pendukung kebebasan beragama dan pluralisme, kemungkinan besar membaca Al-Qur'an untuk lebih memahami argumentasi dan perspektif dari berbagai latar belakang agama dalam konteks diskusi tentang hak dan kebebasan individu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun