Ketidaksukaan tersebut juga dapat digali sampai ke sejarah kedatangan Muslim di Benua Amerika. Muslim pertama yang tiba di Amerika bukanlah imigran bebas, melainkan sebagian besar adalah kalangan budak yang dibawa dari Afrika Barat selama perdagangan budak Atlantik yang dilakukan oleh bangsa kulit putih dari Eropa. Banyak dari mereka berasal dari wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Di beberapa perkebunan di Amerika, budak Muslim sangat "dihargai" karena etos kerjanya yang tinggi dan kepercayaan mereka yang melarang mengonsumsi alkohol. Meskipun demikian, praktik Islam di kalangan budak secara bertahap terus-menerus memudar. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap literasi, teks-teks agama, seperti Al-Qur'an, dan dampak kuat dari konversi paksa ke agama Kristen yang dilakukan oleh para misionaris Protestan.
Dampak kuat dari konversi paksa ke agama Kristen yang dilakukan oleh para misionaris Kristen-Protestan menyebabkan banyak umat muslim yang berlatar belakang budak di Benua Amerika terus-menerus menurun, bahkan harus terpaksa sirna.
Selain itu, meskipun beberapa pemilik budak lebih menyukai budak Muslim karena mereka dianggap lebih mempunyai sikap disiplin dan bisa dipercaya untuk tugas-tugas penting, hal ini tetap tak diterjemahkan menjadi sikap yang lebih toleran terhadap Islam secara umum. Islam tetap dilihat sebagai agama yang asing dan menakutkan, terutama karena pandangan yang diwarisi dari tradisi Protestanisme-Eropa.
Mengenai perbudakan Amerika yang menyebabkan banyak dari Muslim menjadi korbannya, para pendiri bangsa Amerika sebenarnya menyadari bahwa terdapat kontradiksi di dalam peradaban Amerika yang ingin mereka bangun, yaitu di antara prinsip-prinsip kebebasan dan republik yang mereka perjuangkan dalam pembentukan Amerika yang pada hakikatnya bertentangan dengan praktik perbudakan.
Meskipun beberapa di antara para pendiri bangsa Amerika memahami bahwa terdapat ketidaksesuaian moral antara perbudakan dan prinsip kebebasan, mereka tetap memilih untuk mempertahankan perbudakan. Dapat dikatakan bahwa alasan dasarnya adalah faktor ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perbudakan dilestarikan dalam Konstitusi AS melalui Pasal V, yang memungkinkan keberlanjutannya selama beberapa dekade setelah kemerdekaan Amerika.
Pada intinya, para pendiri bangsa Amerika, sejak dari awal pembentukan bangsa dan negara, tidak menganggap budak Muslim sebagai warga negara yang dijamin oleh Konstitusi. Alasan utamanya adalah karena para pendiri bangsa Amerika, pada waktu itu, sama sekali tidak menganggap budak sebagai manusia, terlepas dari apa pun agama mereka, yang merupakan bagian dari masyarakat dengan perlindungan hak-hak sipil dan politik.Â
Budak menurut para pendiri bangsa Amerika, termasuk budak Muslim dari Afrika Barat, hanya diperlakukan sebagai properti, bukan sebagai individu yang memiliki hak-hak yang sama dengan orang kulit putih yang "merdeka".
Konstitusi asli Amerika Serikat tidak memberikan hak apa pun kepada budak, dan perdebatan mengenai kebebasan beragama pada masa itu hanyalah berfokus pada kelompok-kelompok agama minoritas yang memperoleh kebebasan, seperti Yahudi dan Katolik, serta Muslim-hipotetis, tetapi tidak mencakup budak Muslim atau budak lainnya.Â
Maka dari itu, Konstitusi AS dapat disimpulkan tidak secara eksplisit membatasi hak-hak agama tertentu, tetapi dalam praktik dan penerapannya, pada masa awal, tidak sepenuhnya inklusif untuk semua agama.
Istilah Muslim-hipotetis tersebut mengacu pada gagasan tentang seorang Muslim secara imajiner atau hanya teoretis yang digunakan oleh para pendiri bangsa Amerika dalam perdebatan mereka mengenai batasan kebebasan beragama. Pada masa itu, meskipun sangat sedikit Muslim yang hidup secara bebas di Amerika Serikat, para pendiri bangsa sering menggunakan figur Muslim-hipotetis sebagai bahan dalam perdebatan tentang sejauh mana kebebasan beragama harus diberikan dalam negara baru tersebut.Â