Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Vatikan dan Harapan Teologi Pembebasan di Dunia

30 November 2024   19:49 Diperbarui: 30 November 2024   19:49 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.romasette.it/wp-content/uploads/romero-1.jpg

Bagaimanakah perkembangan agama sekarang? Apakah, agama masih dipandang sebagai pemahaman yang diemban oleh kubu reaksioner, konservatif, ataupun penentang dari pencerahan akal, atau masih menjadi penghalang dari perubahan politik menuju perbaikan-perbaikan oleh kaum-kaum Sosialis?

Pierre Rousset menjelaskan bahwa dalam konteks pertanyaan tersebut, maka sebagian besar jawabannya adalah "iya". Rousset memulai dengan kritikannya terhadap pemuka agama di dunia yang masih sangat patuh terhadap petinggi-petinggi Vatikan.

Teologi Pembebasan mengkritik struktur kekuasaan yang terpusat di Vatikan. Hal ini disebabkan oleh karena Teologi Pembebasan menggunakan analisis sosial yang dipengaruhi oleh Marxisme dalam rangka memahami ketidakadilan ekonomi dan sosial, dan ini mendapatkan penolakan oleh Vatikan. Kritik ini menimbulkan ketegangan yang mendalam, sebab teolog pembebasan sering kali menantang otoritas Vatikan, terutama terkait sikap sentralisasi kekuasaan di dalamnya. Vatikan juga, selama kepemimpinan Paus Benediktus XVI (sebelumnya Kardinal Joseph Ratzinger), menolak penggunaan analisis Marxis oleh teolog pembebasan, serta upaya mereka untuk menantang otoritas Roma yang terpusat.

Meskipun demikian, Gereja Katolik mengalami perkembangan pemikiran. Mereka menolak pemahaman radikal, tetapi mengakui beberapa prinsip utama dalam Teologi Pembebasan, seperti perhatian pada kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, dan doktrin "preferential option for the poor" (keberpihakan pada kaum miskin), yang telah menjadi bagian dari ajaran resmi Gereja.

Bahkan, mereka juga masih sangat meyakini ajaran-ajaran fundamentalistis dari agama-agama besar dunia, di antaranya Islam, Yahudi, dan Kristen. Fundamentalisme dalam konteks Katolik, seperti halnya dalam tradisi Protestan, adalah interpretasi literal dan kaku terhadap ajaran-ajaran agama dan Kitab Suci. Fundamentalisme Katolik sering kali berusaha mempertahankan ajaran-ajaran agamanya secara murni tanpa memperhatikan konteks sejarah, budaya, atau perkembangan teologis yang lebih modern.

Dalam Katolik, bentuk fundamentalisme bisa mencakup:

  • Keyakinan bahwa segala sesuatu yang tertulis dalam Kitab Suci harus diambil secara harfiah tanpa memandang konteks historis atau literer.
  • Penolakan terhadap gagasan bahwa ajaran-ajaran Gereja dapat berkembang atau diadaptasi melalui tradisi yang hidup.
  • Skeptisisme atau penolakan terhadap sains modern atau teori-teori ilmiah yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran keagamaan, seperti teori evolusi.

Fundamentalisme, baik dalam Katolik maupun denominasi lain, membawa sejumlah bahaya potensial:

Pertama, tertutup terhadap dialog. Pendekatan yang terlalu kaku bisa menghalangi dialog dengan kelompok-kelompok lain, baik di dalam Gereja Katolik sendiri maupun dengan agama-agama lain, termasuk sains, perkembangan masyarakat, dan budaya modern.

Kedua, pengabaian konteks historikal. Pendekatan literal terhadap Kitab Suci dapat menjadi pengabaian terhadap konteks historis dan literer yang amat penting guna memahami pesan dan wahyu secara lebih mendalam dan relevan dengan kehidupan kontemporer.

Ketiga, bahaya radikalisme. Fundamentalisme dapat menjadi dasar bagi tiap-tiap orang merasa dibenarkan untuk memaksakan pandangan mereka terhadap orang lain tanpa menghormati keragaman keyakinan dan pemahaman. Radikalisme ini akan mengarah kepada "yang benar hanya saya, di luar saya adalah salah".

Keempat, penghambatan perkembangan teologi. Dengan menolak segala bentuk perkembangan atau penyesuaian teologi dengan dunia modern dan realitas masyarakat, fundamentalisme dapat membuat agama terlihat tidak relevan bagi orang-orang yang hidup di zaman sekarang, terutama generasi muda.

Kelima, penolakan terhadap sains. Inilah salah satu bahaya lainnya, yaitu penolakan terhadap penemuan-penemuan ilmiah yang dapat memperkaya pemahaman manusia tentang alam semesta dan realitas.

Selain itu, banyak dari mereka yang juga masih mengonsumsi paham-paham yang disampaikan dari kelompok penginjil melalui khotbahnya dalam program Gereja Elektronik. "Gereja Elektronik" adalah istilah yang merujuk pada program-program keagamaan yang disiarkan melalui media elektronik, seperti televisi dan radio, terutama yang menampilkan khotbah atau pelayanan keagamaan yang dipimpin oleh seorang pendeta atau tokoh pemuka agama. Gereja Elektronik ini bertujuan untuk membangun kelompok pengikut yang setia kepada pendeta atau pelayanan tersebut.

Adapun ciri-ciri dari suatu program yang dapat disebut sebagai "Gereja Elektronik", antara lain:

  • Pendeta yang karismatik, di mana sering kali tokoh yang memimpin siaran tersebut pasti memiliki daya tarik yang kuat.
  • Pesan tentang permasalahan dunia dan solusi untuk personal masing-masing individu. Program seperti ini biasanya menggambarkan masalah-masalah besar yang terjadi di dunia, tetapi menawarkan solusi hanya melalui perubahan dari dalam hati (pribadi), tanpa mendorong perubahan sosial yang lebih luas.
  • Seruan donasi. Pasti setelah acara atau saat acara berlangsung, terdapat penekanan pada permintaan dukungan finansial yang sangat terstruktur dan profesional.

Kritik-kritik terhadap Gereja Elektronik pada masa kini dan dikaitkan dengan Teologi Pembebasan, salah satunya adalah program-program tersebut berpotensi menarik orang untuk menjauh dari gereja-gereja lokal yang tradisional dan berperan menggantikan peran penting komunitas fisik gereja. Alih-alih menjadi wadah untuk memperkuat hubungan di antara jemaat, Gereja Elektronik juga dinilai tendensiun dalam penawaran komitmen yang tanpa nama dan tidak menuntut keterlibatan langsung, sehingga amat berbeda dari esensi komunitas gereja yang melibatkan interaksi dan saling support antar-umat. Kritik lainnya adalah bahwa Gereja Elektronik cenderung menawarkan solusi spiritual yang bersifat pribadi dan individual, yang mana tidak ada motivasi atau dorongan kepada jemaat untuk terlibat dalam perubahan sosial yang lebih besar. Hal ini dianggap mengurangi peran keagamaan sebagai kekuatan untuk transformasi sosial.

Kemudian juga, para pemuka Agama masih juga masih memelihara hubungan erat dengan banyak aliran keagamaan-baru---beberapa di antaranya, seperti Gereja Moon yang terkenal "brengsek". Gereja Moon atau Gereja Unifikasi memiliki banyak-banyak kebahayaan bagi Kekristenan secara umum dan juga Katolik secara khusus, yaitu:

Pertama, penolakan terhadap tritunggal. Kedua, pengurangan kedaulatan Tuhan. Ketiga, Gereja Unifikasi mengajarkan bahwa keselamatan bergantung sebagian pada usaha manusia, termasuk pembayaran untuk membebaskan "leluhur", yang bertentangan dengan ajaran Kristen yang menyatakan bahwa keselamatan adalah anugerah Tuhan melalui iman kepada Yesus Kristus. Keempat, Gereja Unifikasi mengajarkan bahwa kejatuhan manusia memiliki dua aspek: spiritual dan fisik. Menurut ajaran ini, kejatuhan spiritual terjadi ketika Lucifer menggoda Hawa, sedangkan kejatuhan fisik terjadi ketika Hawa dan Adam terlibat dalam hubungan seksual yang dikatakan terinspirasi oleh cintanya setan. Kelima, ajaran Gereja Unifikasi mengklaim bahwa Yesus gagal dalam misi ilahi-Nya, yaitu menyelamatkan manusia secara fisik dan spiritual. Menurut ajaran ini, Sun Myung Moon adalah kedatangan kedua Kristus yang diharapkan untuk menyelesaikan apa yang tidak dilakukan oleh Yesus. Keenam atau terakhir, gereja ini mengajarkan bahwa "pernikahan diperlukan untuk mencapai keselamatan," sesuatu yang tidak diajarkan dalam Kekristenan mainstream.

Selain itu, bahaya terhadap Teologi Pembebasan atas kehadiran Gereja Unifikasi adalah penghapusan ajaran Sosial-Katolik. Teologi Pembebasan sering menekankan keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan sebagai bagian dari ajaran Kristen Katolik. Gereja Unifikasi, dengan fokusnya pada pernikahan sebagai syarat keselamatan dan ajaran yang lebih terpusat pada individu (Moon), mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan pembebasan yang ditegakkan oleh Teologi Pembebasan.

Kritik-kritik yang disebutkan di atas kesemuanya bersumber pada kebiasaan-kebiasaan jahiliah yang masih dipelihara, manipulasi-manipulasi dunia keuangan, dan antikomunis yang fanatik tak tahu konteks.

Namun demikian, lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin telah menjadi cahaya baru dalam sejarah kemanusiaan. Teologi Pembebasan seperti meyakinkan kita untuk terus membangkitkan semangat kritisisme terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik terkait dengan agama dan Marxisme. Selain dari kritik keagamaan, Rousset juga mengkritik para kaum Sosialis. Menurut Rousset, Sosialisme tak mungkin dapat tercapai, apabila tidak ada pembaharuan dalam pemahaman menurut pandangan Sosialis terhadap agama.

Pada mulanya memang, apabila terdapat situasi tersebut, kaum Sosialis-Marxis "klasik" sering kali menggunakan "pertentangan" yang diametral untuk kondisi kaum buruh dan tani yang beragama Katolik di satu sisi---sebagai kelompok pendukung Revolusi---yang menentang kaum pemuka Katolik dan Gereja yang kerap kali dianggap sebagai kaum reaksioner di sisi lain. Malahan, sampai tahun 1966, kaum Sosialis masih menganggap kematian anggota Gereja, Romo Camilo Torres, yang bergabung dalam gerilyawan Kolombia dan harus mati terbunuh dalam peperangan pada tahun yang sama, sebagai satu pengecualian. Camilo Torres dikenal karena pandangannya yang menyatukan ajaran Kristen dengan prinsip-prinsip Marxis dalam perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan penindasan.

Torres dianggap sebagai figur simbolis yang menggabungkan keyakinan religiusnya dengan komitmen terhadap revolusi sosial, yang sering diidentifikasi dengan perjuangan melawan sistem kapitalis dan penindasan yang mereka anggap sebagai bagian dari sistem ekonomi yang tidak adil. Namun, penting untuk dicatat bahwa Torres sendiri menolak label dirinya sebagai komunis dan tidak ingin dianggap sebagai bagian dari anggota komunis. Dia mengklaim bahwa motivasinya untuk berjuang bersama kaum buruh dan tani adalah untuk melawan oligarki dan dominasi kapital milik Amerika Serikat, dan berjuang tanpa menganut komunisme secara penuh.

Seiring berjalannya zaman, pemeluk agama Katolik pun semakin meningkat dan keikutsertaan mereka secara intens dalam Revolusi Sandinista di Nikaragua, menyebabkan semakin perlunya perubahan paradigmatik tentang pemahaman Sosialisme sama sekali.

Pertentangan yang lain adalah persoalan untuk mempertentangkan "orang awam-radikal dari anggota Gereja" di satu sisi melawan "jenjang kekuasaan Gereja yang dianggap masih konservatif" di sisi lain. Hal ini memang terjadi di sebagian wilayah-wilayah tertentu, tapi tidak sepenuhnya benar-benar terjadi. Oleh karena, banyak pula uskup-uskup yang ikut terlibat dan menyatakan dukungan dan keberpihakannya kepada kaum miskin dan perjuangannya.

Lebih jauh lagi, banyak pula uskup-uskup yang rela mengorbankan nyawanya demi perjuangan tersebut, seperti kasus Monsinyor scar Romero, Uskup Agung San Salvador, yang ditembak mati oleh pasukan pembunuh pada bulan Maret 1980. Romero terkenal karena khotbahnya yang keras menentang kemiskinan dan korupsi di negaranya, El Salvador. Ia menggunakan wadah khotbahnya untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat miskin dan mengkritik tindakan-tindakan represifitas aparat pemerintah. Selama masa perjuangannya, banyak anggota klerus di keuskupan Romero yang dibunuh atau diusir dari negara. Sekitar 30 imam di keuskupannya mengalami nasib malang itu, sebelum Romero sendiri terbunuh pada tahun 1980. Setelah kematiannya, Romero diakui sebagai martir oleh Gereja Katolik.

Hal ini menyebabkan kaum Sosialis di Amerika Latin kebingungan dan mempertanyakan dalam hati. Bagaimana bisa kondisi ini bisa terjadi? Mereka yang masih mempertahankan garis demarkasi (batas-batas) yang membedakan antara tindakan sosial yang mereka lakukan dan keimanan mereka dalam iman agamanya---yang sering kali dalam pandangan kaum Sosialis, keimanan dan agama masih dianggap sebagai hal-hal regresif dan idealis untuk selamanya. Akan tetapi, seiring munculnya Teologi Pembebasan, kita menjadi lebih sering melihat pemahaman agama yang diilhami oleh pemikiran-pemikiran Sosialisme, bahkan sering kali pula agama menjadi daya dobrak untuk melaksanakan pergerakan ke arah pembebasan sosial dan kesetaraan/keadilan.

Saat ini, bagian terpenting dari Gereja di Amerika Latin---baik penganut awamnya ataupun lembaga kepastorannya---sedang mengubah kedudukannya untuk menjadi semacam wadah untuk perjuangan kelas. Mereka membawa seluruh sumber daya "material" dan kerohanian Kristusnya kepada rakyat, khususnya kelas pekerja, dan perjuangan para rakyat untuk menuju masyarakat yang baru.

Menurut Rousset, segala hal yang terjadi di sekitar Teologi Pembebasan di Amerika Latin (termasuk di Filipina dan di mana saja) adalah sesuatu yang benar-benar berbeda: persaudaraan baru kaum revolusioner, antara mereka yang beriman dan tidak beriman, dalam dinamika sosial-politik di luar ekspektasi Moskow ataupun Roma. Gejala sosial baru yang berlangsung ini tidak berkaitan dengan upaya "dialog" yang pernah dilakukan oleh kaum Katolik dengan negara komunis pada 1980. Karikatural kiwari adalah, "pertemuan antara penganut Kristen dan kaum Marxis," di Budapest, yakni perwakilan Vatikan dan perwakilan negara-negara Eropa Timur.

Tak diragukan lagi, bahwa semua yang disebutkan itu menandakan adanya tantangan teoritis ataupun praksis dari kaum Sosialis dan kaum agama. Hal ini berkaitan dengan kekurangan-kekurangan pemahaman yang bernas tentang "agama"---khususnya dari Marxis "klasik" yang terlalu kasar dalam memandang agama, sehingga menjadi lebih sempit dengan penjelmaan kepada paham antikependetaan dan materialis saja. Padahal, sesungguhnya, kita dapat menemukan beberapa poin penting dalam tulisan Marx dan Engels mengenai konsep-konsep analisis untuk dapat membantu memhami kenyataan yang terjadi pada era kekinian.

Misalnya saja, Marx dapat dikatakan memandang agama sebagai konsep yang memiliki dua fungsi utama dalam masyarakat. Pertama, agama mendukung tatanan sosial yang ada dengan menjadikan tatanan tersebut seolah "sakral" dan "mengesahkan" bahwa tatanan politik tersebut adalah takdir ilahi. Kedua, agama menjadi sarana penghibur dan memberikan ketenangan kepada mereka yang tertindas dengan menawarkan imbalan di kehidupan setelah mati untuk apa yang mereka tidak miliki di dunia ini.

Pada awalnya, Marx berpendapat bahwa agama bisa bersifat revolusioner, yaitu berusaha menghapuskan eksploitasi. Namun demikian, ketika usaha untuk mentransformasikan dunia tersebut gagal, "harapan" untuk masyarakat yang lebih baik dialihkan kepada "kehidupan setelah mati". Hal ini menjadikan agama sebagai bentuk penghiburan di dunia lain, sehingga "menghilangkan" daya kritis agama sebagai alat untuk perubahan sosial.

Para pemuka agama pun mengakui bahwa ada hal yang dapat diambil dari Marxisme. Baik St. Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI mengakui nilai dari kritik Marxis terhadap kapitalisme industri dan ketidakadilan sosial, meskipun mereka tidak setuju dengan solusi dan praktik politik Marxisme yang cenderung penuh kekerasan. Marxisme juga memberikan kritik tajam terhadap dampak buruk kapitalisme industri, termasuk eksploitasi dan penyalahgunaan tenaga kerja. Analisis Marxis terhadap masalah-masalah ini menawarkan wawasan tentang ketidakadilan ekonomi dan sosial yang tetap relevan hingga saat ini.

Kedua paus tersebut melihat bahwa Marxisme memendam sebuah kritik yang begitu kuat terhadap kondisi sosial dan ekonomi pada zamannya, tetapi juga mengkritik solusi dan preskripsi politiknya. Pengakuan mereka terhadap kritik Marxis bukan merupakan dukungan terhadap implementasi politiknya. Terlibat dengan ide-ide Marxis dapat membantu umat Katolik untuk lebih memahami isu seperti eksploitasi tenaga kerja dan ketidakadilan ekonomi. Pendekatan ini dapat memperkaya ajaran sosial gereja dan kemampuannya untuk menangani isu-isu sosial kontemporer.

Selain itu, terdapat juga Kardinal Reinhard Marx yang mengapresiasi Marx sebagai fondasi awal lahirnya ajaran Sosial-Katolik. Dengan menekankan fokus Marx pada kesejahteraan materi dan keadilan sosial, mencerminkan tren yang lebih luas di beberapa kalangan progresif Katolik yang berusaha selaras dengan aspek-aspek tertentu dari pemikiran Marxis. Ia memuji Marx karena menunjukkan bahwa hak asasi manusia tidak akan sempurna tanpa hadirnya kesejahteraan material di masyarakat dan mengakui perhatian Marx terhadap kondisi nyata kehidupan rakyat. Meski kontroversial, Reinhard Marx mengakui bahwa ajaran Sosial-Katolik bererutang budi dengan penekanan Marx kepada pengentasan kondisi-kondisi nyata masyarakat (kapitalisme).

Referensi

CNA. "The murder case of Blessed Oscar Romero has been reopened." Catholic News Agency, 19 Mei 2017. https://www.catholicnewsagency.com/news/36074/the-murder-case-of-blessed-oscar-romero-has-been-reopened.

Devenish, Gabrielle. "Cults in Culture: An Eclipse of True Christianity--The Unification Church (Part 5)." The Christian Post, 26 November 2011. https://www.christianpost.com/news/cults-in-culture-an-eclipse-of-true-christianity-the-unification-church-part-5.html.

Engler, Mark. "Will the Next Pope Embrace Liberation Theology?" Dissent, 4 April 2013. https://www.dissentmagazine.org/blog/will-the-next-pope-embrace-liberation-theology/.

Fore, William F. "The Electronic Church." Ministry Magazine, 21 Agustus 1978. https://www.ministrymagazine.org/archive/1979/01/the-electronic-church.

Hartman, David B. "Religion Without History: Fundamentalism and Liberation Theology Both Make the Same Mistake." Crisis Magazine, 1 Mei 1990. https://crisismagazine.com/vault/religion-without-history-fundamentalism-and-liberation-theology-both-make-the-same-mistake.

Hussein, Mohamad Zaki. "Bayang-bayang Teologi Pembebasan." Gatra, Jakarta, 31 Agustus 1996.

Lwy, Michael. Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis. Disunting oleh Achmad Choirudin. Diterjemahkan oleh Roem Topatimasang. Yogyakarta: INSISTPress, 2019.

MacIntyre, Alasdair. "Marxism and Religion." Church Life Journal, 25 Januari 2019. https://churchlifejournal.nd.edu/articles/marxism-and-religion/.

Rocha, Sam. "Catholics should learn from Marx, not fear him." U.S.Catholic, 23 Mei 2023. https://uscatholic.org/articles/202305/catholics-should-learn-from-marx-not-fear-him/.

Rzegocki, Marcin M. "Catholic cardinal: Karl Marx is a source of Catholic social teaching." Acton Institute, 16 Mei 2018. https://www.acton.org/publications/transatlantic/2018/05/16/catholic-cardinal-karl-marx-source-catholic-social-teaching.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun