Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Vatikan dan Harapan Teologi Pembebasan di Dunia

30 November 2024   19:49 Diperbarui: 30 November 2024   19:49 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.romasette.it/wp-content/uploads/romero-1.jpg

Seiring berjalannya zaman, pemeluk agama Katolik pun semakin meningkat dan keikutsertaan mereka secara intens dalam Revolusi Sandinista di Nikaragua, menyebabkan semakin perlunya perubahan paradigmatik tentang pemahaman Sosialisme sama sekali.

Pertentangan yang lain adalah persoalan untuk mempertentangkan "orang awam-radikal dari anggota Gereja" di satu sisi melawan "jenjang kekuasaan Gereja yang dianggap masih konservatif" di sisi lain. Hal ini memang terjadi di sebagian wilayah-wilayah tertentu, tapi tidak sepenuhnya benar-benar terjadi. Oleh karena, banyak pula uskup-uskup yang ikut terlibat dan menyatakan dukungan dan keberpihakannya kepada kaum miskin dan perjuangannya.

Lebih jauh lagi, banyak pula uskup-uskup yang rela mengorbankan nyawanya demi perjuangan tersebut, seperti kasus Monsinyor scar Romero, Uskup Agung San Salvador, yang ditembak mati oleh pasukan pembunuh pada bulan Maret 1980. Romero terkenal karena khotbahnya yang keras menentang kemiskinan dan korupsi di negaranya, El Salvador. Ia menggunakan wadah khotbahnya untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat miskin dan mengkritik tindakan-tindakan represifitas aparat pemerintah. Selama masa perjuangannya, banyak anggota klerus di keuskupan Romero yang dibunuh atau diusir dari negara. Sekitar 30 imam di keuskupannya mengalami nasib malang itu, sebelum Romero sendiri terbunuh pada tahun 1980. Setelah kematiannya, Romero diakui sebagai martir oleh Gereja Katolik.

Hal ini menyebabkan kaum Sosialis di Amerika Latin kebingungan dan mempertanyakan dalam hati. Bagaimana bisa kondisi ini bisa terjadi? Mereka yang masih mempertahankan garis demarkasi (batas-batas) yang membedakan antara tindakan sosial yang mereka lakukan dan keimanan mereka dalam iman agamanya---yang sering kali dalam pandangan kaum Sosialis, keimanan dan agama masih dianggap sebagai hal-hal regresif dan idealis untuk selamanya. Akan tetapi, seiring munculnya Teologi Pembebasan, kita menjadi lebih sering melihat pemahaman agama yang diilhami oleh pemikiran-pemikiran Sosialisme, bahkan sering kali pula agama menjadi daya dobrak untuk melaksanakan pergerakan ke arah pembebasan sosial dan kesetaraan/keadilan.

Saat ini, bagian terpenting dari Gereja di Amerika Latin---baik penganut awamnya ataupun lembaga kepastorannya---sedang mengubah kedudukannya untuk menjadi semacam wadah untuk perjuangan kelas. Mereka membawa seluruh sumber daya "material" dan kerohanian Kristusnya kepada rakyat, khususnya kelas pekerja, dan perjuangan para rakyat untuk menuju masyarakat yang baru.

Menurut Rousset, segala hal yang terjadi di sekitar Teologi Pembebasan di Amerika Latin (termasuk di Filipina dan di mana saja) adalah sesuatu yang benar-benar berbeda: persaudaraan baru kaum revolusioner, antara mereka yang beriman dan tidak beriman, dalam dinamika sosial-politik di luar ekspektasi Moskow ataupun Roma. Gejala sosial baru yang berlangsung ini tidak berkaitan dengan upaya "dialog" yang pernah dilakukan oleh kaum Katolik dengan negara komunis pada 1980. Karikatural kiwari adalah, "pertemuan antara penganut Kristen dan kaum Marxis," di Budapest, yakni perwakilan Vatikan dan perwakilan negara-negara Eropa Timur.

Tak diragukan lagi, bahwa semua yang disebutkan itu menandakan adanya tantangan teoritis ataupun praksis dari kaum Sosialis dan kaum agama. Hal ini berkaitan dengan kekurangan-kekurangan pemahaman yang bernas tentang "agama"---khususnya dari Marxis "klasik" yang terlalu kasar dalam memandang agama, sehingga menjadi lebih sempit dengan penjelmaan kepada paham antikependetaan dan materialis saja. Padahal, sesungguhnya, kita dapat menemukan beberapa poin penting dalam tulisan Marx dan Engels mengenai konsep-konsep analisis untuk dapat membantu memhami kenyataan yang terjadi pada era kekinian.

Misalnya saja, Marx dapat dikatakan memandang agama sebagai konsep yang memiliki dua fungsi utama dalam masyarakat. Pertama, agama mendukung tatanan sosial yang ada dengan menjadikan tatanan tersebut seolah "sakral" dan "mengesahkan" bahwa tatanan politik tersebut adalah takdir ilahi. Kedua, agama menjadi sarana penghibur dan memberikan ketenangan kepada mereka yang tertindas dengan menawarkan imbalan di kehidupan setelah mati untuk apa yang mereka tidak miliki di dunia ini.

Pada awalnya, Marx berpendapat bahwa agama bisa bersifat revolusioner, yaitu berusaha menghapuskan eksploitasi. Namun demikian, ketika usaha untuk mentransformasikan dunia tersebut gagal, "harapan" untuk masyarakat yang lebih baik dialihkan kepada "kehidupan setelah mati". Hal ini menjadikan agama sebagai bentuk penghiburan di dunia lain, sehingga "menghilangkan" daya kritis agama sebagai alat untuk perubahan sosial.

Para pemuka agama pun mengakui bahwa ada hal yang dapat diambil dari Marxisme. Baik St. Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI mengakui nilai dari kritik Marxis terhadap kapitalisme industri dan ketidakadilan sosial, meskipun mereka tidak setuju dengan solusi dan praktik politik Marxisme yang cenderung penuh kekerasan. Marxisme juga memberikan kritik tajam terhadap dampak buruk kapitalisme industri, termasuk eksploitasi dan penyalahgunaan tenaga kerja. Analisis Marxis terhadap masalah-masalah ini menawarkan wawasan tentang ketidakadilan ekonomi dan sosial yang tetap relevan hingga saat ini.

Kedua paus tersebut melihat bahwa Marxisme memendam sebuah kritik yang begitu kuat terhadap kondisi sosial dan ekonomi pada zamannya, tetapi juga mengkritik solusi dan preskripsi politiknya. Pengakuan mereka terhadap kritik Marxis bukan merupakan dukungan terhadap implementasi politiknya. Terlibat dengan ide-ide Marxis dapat membantu umat Katolik untuk lebih memahami isu seperti eksploitasi tenaga kerja dan ketidakadilan ekonomi. Pendekatan ini dapat memperkaya ajaran sosial gereja dan kemampuannya untuk menangani isu-isu sosial kontemporer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun