“Sudah terpinggir kita terdesak!”
Begitulah Tan Malaka memulai tulisan pamfletnya pada saat Revolusi Kemerdekaan Indonesia sedang bergelora-geloranya. Tan Malaka memulai tulisannya dengan mengkritik politik-diplomasi pemerintah pada saat Revolusi.
Diplomasi pemerintah dengan Belanda, menurutnya, mengakibatkan perpecahan persatuan di tengah-tengah Rakyat dalam melenyapkan kapitalisme dan imperialisme, telah menjadikan sebagian besar wilayah Republik kembali dikuasai oleh Belanda, telah mengakibatkan terbentuknya negara-negara boneka bikinan Belanda yang kemudian diadudombakan oleh Belanda dengan Republik, telah menyebabkan hancur-leburnya perekonomian nasional Republik, dan telah menjadikan Republik tersingkir dalam segala urusan, seperti tersingkir di ekonomi, politik, dan juga kemiliteran. Memang demikianlah keadaan Republik pada masa Revolusi sedang bergejolak.
Tidak hanya itu, Tan Malaka juga mengkritik kebijakan pemerintah yang diinisiasi oleh Wakil Presiden Hatta, yakni kebijakan Re-Ra (Rekonstruksi-Rasionalisasi) terhadap kemiliteran (tentara) di Republik. Wapres Hatta menjelaskan mengenai kebijakan Re-Ra ini sebagaimana dikutip dalam buku Sundhaussen berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, sebagai berikut:
“Tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personel angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.”
Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, kebijakan Re-Ra menyebabkan problem besar ketika pengimplementasiannya di lapangan. Salah satunya adalah timbulnya friksi antara perwira eks Peta dan eks KNIL. Friksi ini diakibatkan oleh karena kebijakan Re-Ra mengkehendaki pengauditan personel militer “kembali”, dengan berdasarkan kepangkatan dan tingkat pendidikan. Sebagai contoh, perwira eks PETA turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi pembantu letnan satu) [dengan alasan PETA dinilai tidak dilatih secara profesional oleh Jepang]. Adapun perwira eks KNIL menjadi naik pangkat dua tingkat [dalam pandangan pemerintah perwira eks KNIL terlatih secara profesional oleh pemerintah Hindia Belanda dan tentunya modern].
Tidak hanya friksi yang terjadi, tetapi penolakan juga datang dari para prajut. Alasan mendasarnya adalah perlakuan Wapres Hatta yang mengistimewakan kesatuan dari Divisi Siliwangi—setelah pasukan Siliwangi terpaksa mengungsi ke Surakarta akibat persetujuan Renville yang menetapkan Jawa Barat sebagai kekuasaan Belanda—dan Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi, Kolonel A. H. Nasution, sebagai wakil dari Panglima Sudirman. Sosok Nasution ini kemudian dianggap sebagai ancaman terhadap kewibawaan Sudirman sebagai panutan para prajurit.
Ketegangan akibat kebijakan Re-Ra di antara militer dan milisi atau laskar Rakyat tersebut berujung pada pecahnya perang saudara, yaitu Madiun Affairs 1948. Madiun Affairs 1948 ini merupakan gejolak yang terjadi di daerah Madiun, Jawa Timur, antara dua kubu militer, yakni kubu militer berhaluan kiri-komunis dengan kubu militer Republik [khususnya Divisi Siliwangi yang mayoritas adalah eks KNIL].
Tan Malaka menyebut kebijakan tersebut sebagai ihwal yang mengakibatkan terpecahnya relasionalitas Rakyat dengan tentara resmi Republik. Tentara Republik yang sesungguhnya lahir dari rahimnya Rakyat dan diongkosi oleh uangnya Rakyat menjadi terpisah dan terpecah dari Rakyat, sehingga tentara Republik malah menindas Rakyat itu sendiri. Misalnya, yang terjadi dengan pecahnya konflik-konflik antara laskar-laskar dan milisi-milisi Rakyat dengan tentara pemerintah yang sah.
Padahal, enam bulan sebelum kebijakan Re-Ra ini atau saat-saat permulaan Revolusi 17 Agustus ‘45, keadaan Rakyat kita masih dalam bergelora dalam perjuangan serta senantiasa bersatu dan bergerak serempak dalam menjaga pertahanan di sepanjang garis pantai dan di tiap-tiap kota dan desa. Selain itu, Rakyat kita pada permulaan Revolusi pun, dengan inisiatifnya, membentuk laskar-laskar dan milisi-milisi, menguasai sumber daya perekonomian yang sebelumnya berada di tangan Jepang, serta siap sedia bersatu-padu untuk menentang kapitalisme dan imperialisme.
Pada awal Revolusi, Rakyat Indonesia benar-benar bersatu untuk memberikan pembelaan dan penyerbuan kepada lawan di depan. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan Republik pascadiplomasi telah jauh berubah, oleh karena pemerintah lebih menekankan pada pendekatan diplomasi dan harus menyesuaikannya dalam kebijakan politiknya. Misalnya, yang sebelumnya disebutkan, Re-Ra.
Tan Malaka kemudian mempertanyakan satu pertanyaan retoris,
“Dapatkah semangat 17 Agustus dikembalikan?”
Pertanyaan tersebut adalah cerminan atas kekecewaannya terhadap kondisi Republik pascadiplomasi. Alinea selanjutnya, ia langsung menuliskan jawabannya, “Sejarah sajalah kelak yang bisa memberikan jawaban.”
Supaya Mahkamah Histori dapat memberikan jawaban yang sesuai pandangannya, Tan Malaka pun tetap bergerak, setidaknya dalam tulisan dan pikirannya yang tersebar di antara para kader Murbaisnya. Tan Malaka pun menyerukan untuk Rakyat dan pemuda harus berbuat sesuatu, supaya kapal Republik yang hampir karam ini dapat terus berlayar di samudranya kehidupan.
Menurut Tan Malaka, guna memenuhi perjuangan Revolusi ini, maka yang perlu dilakukan adalah pembentukan laskar-laskar gerilya di mana-mana, baik di darat maupun di laut. Baik di kota maupun di desa. Baik di pantai maupun di lereng gunung. Perjuangan rakyat semesta, yang menjadi doktrin pertahanan negara Republik hari ini, adalah hasil dari pemikiran Tan Malaka untuk membela Republik dan menjaga kedaulatannya.
Memang, Tan Malaka bukan seorang ahli kemiliteran, Tan bukan pejuang bersenjata seperti para gerilyawan, melainkan Tan adalah seorang revolusioner-pengembara. Ia mengetahui ilmu-ilmu kegerilyaan—yang berkaitan dengan kemiliteran—dari hasil-hasil percakapannya pada masa pengembaraannya di dalam wilayah Indonesia ataupun di luar negeri. Tan menulis,
“… penulis ini [Tan Malaka] bukanlah seorang ahli ilmu kemiliteran, walau saya sering juga bergaul dengan prajurit di dalam ataupun di luar negeri. Dan saya memang selalu tertarik oleh ilmu kemiliteran.”
Selain itu, Tan Malaka juga memperkaya pengetahuan kemiliterannya dengan literatur-literatur yang ia lahap selama hidupnya. Baik dalam bentuk buku-buku maupun majalah-majalah berkenaan dengan kemiliteran.
Tan Malaka mengakui bahwa dirinya memang pernah berkeinginan menjadi seorang opsir, tetapi keinginannya ini terhalang oleh suatu keadaan. Oleh karena itu, Tan Malaka pun beralih dengan membaca segala pengetahuan tentang kemiliteran. Hal ini diperkuat juga dengan situasi masa mudanya yang bersamaan dengan berlangsungnya Perang Dunia Pertama.
Pengetahuan yang ia miliki memanglah sudah sangat lama—kira-kira 30 tahun yang lalu sebelum dirinya berkecimpung dalam deru-deram Revolusi. Luar biasanya lagi adalah Tan Malaka memaparkan pikiran kemiliterannya tersebut—sebagai bekal Revolusi—dalam masa pemenjaraannya. Jangan salah sangka ya, Tan bukan seorang kriminal, ia dipenjara akibat gejolak politik yang saat itu terjadi di tubuh Republik.
Tan Malaka menuliskan bekal dari kelanjutan Revolusi ini, memang tidaklah sempurna, sebab Tan menulisnya dalam penjara—yang mana ia tak bisa memenuhi karyanya dengan teori-teori kepustakaan tentang kemiliteran. Tidak ada buku dan majalah up to date di dalam penjara. Namun demikian, ia mengakui,
“…. Tetapi kami berharap dan percaya sungguh, bahwa para ahli dan pahlawan akan mengambil yang baiknya saja dan akan membuang yang buruk, dan juga seterusnya akan menambah yang kurang dan mengurangi yang lebih. Kami berharap dan percaya pula, bahwa para ahli dan pahlawan akan memaafkan semua kekurangan dan kesalahan kami.…”
Ketulusan dan kesucian perjuangan Tan Malaka tersebut juga terlukiskan dalam semangatnya untuk semata-mata menyukseskan Revolusi, bukan untuk sekadar mendapatkan kekuasaan. Oleh karena, bangsa yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta, dan Republik yang berdiri hingga sekarang, adalah cita-citanya sejak tahun 1920-an. Tak ada tendensi dari dirinya untuk mendongkel kekuasaan, semata-mata Tan Malaka hanyalah menginginkan Republik tetap berdiri tegak, tetap kokoh, dan yang terpenting, berdaulat. Oleh karena itu, perihal kemiliteran dan bekal Revolusi ditulisnya sebagai poin utama perjuangan. Ia menulis,
“… dalam keadaan terpaksa terpisah dari masyarakat ini, yang utama bukanlah menyelesaikan soal militer sebagai bagian terpenting dari Revolusi ini, tetapi untuk memajukan soal ini.”
Tan Malaka tidak menulis mengenai teknik fisik dan peperangan dalam konteks militer, sebab menurutnya latihan fisik yang dilalukan oleh para pemuda pada masa Jepang dan pengalaman perang sesungguhnya saat melawan Sekutu dan Belanda, sudah menjadi pelajaran yang amat baik bagi para pemuda dan prajurit Indonesia. Akan tetapi, hal yang dibahas Tan adalah Hukum Kemiliteran, dengan diperkuat juga oleh pengetahuan ekonomi dan politik.
Hal tersebut dipaparkan Tan, sebab betapapun seorang Sang Gerilya—sebutan Tan untuk prajurit/militer—canggih dalam alutsista dan teknik peperangan, tetapi bila tidak memahami kemiliteran, ekonomi, dan politik, semuanya akan sia-sia. Oleh karena itulah, pelajaran Tan Malaka yang dikenal sebagai taktik Revolusi ini sebagai Gerpolek (Gerilya, Politik, dan Ekonomi). Ketiganya adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan.
Tan kemudian memberikan contoh beberapa taktik perang gerilya yang pernah dilakukan di dunia. Ia menulis,
“Sebut saja taktik gerilya yang mengacaubalaukan tentara Napoleon di Spanyol pada abad lalu; taktik gerilya sekapal Laskar Boor yang mengocarngacirkan tentara Inggris yang kuat dan modern pada abad permulaan abad ini di Afrika Selatan; taktik gerilya yang memusingkan tentara bermesinnya pemerintahan fasis-Jerman di Rusia pada Perang Dunia Kedua.”
Tan Malaka menegaskan kembali, bahwa taktik gerilya dalam peperangan dan Revolusi adalah teramat-amat penting, mahapenting, dan mahatajam. Gerilya sebagai senjata yang dipergunakan oleh Rakyat miskin adalah untuk melawan musuh yang mahakaya dengan senjata serbamodern.
Kesemuanya yang dipaparkan di atas, baik kritiknya maupun pelajaran kemiliterannya, menggambarkan nasionalisme dan patriotisme yang ada dalam diri Tan Malaka. Nasionalisme dan patriotisme tersebut diiringi dengan kecintaan Tan Malaka terhadap Rakyat, Republik, dan Bangsanya, sebagaimana Tan Malaka menegaskan dalam tulisannya,
“Mudah-mudahan risalah yang ditulis secara tergesa-gesa dan dalam keadaan serbasulit ini akan memberikan manfaat kepada pemuda dan pemudi, pahlawan dan perwira, pembela bangsa, dan Masyarakat Murba Indonesia Raya!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H