Belanda menetapkan beleid baru terkait politik-ekonomi yang akan diselenggarakan di tanah jajahannya. Beleid ini kemudian dikenal sampai sekarang dengan "politik pintu terbuka" (Opendeur Politiek) dan ditetapkan pada 1870. Dengan demikian, sistem kapitalisme dengan ekonomi liberal mulai masuk ke Hindia---saat itu belum disebut Indonesia.
Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial HindiaSebelum berlakunya Opendeur Politiek, Belanda menerapkan model imperialisme kuno (ancient imperialism) di Hindia. Model kuno yang berlandaskan Gold, Glory, and Gospel (3G). Tendensi seperti ini hanya menguntungkan kerajaan dan agamawan semata. Oleh karena itu, kebijakan Opendeur ini akan diterapkan dengan terbukanya modal-modal swasta-asing untuk masuk ke Hindia, sehingga model yang digunakan ini adalah modern imperialism. Model ini kemudian dianggap lebih adil bagi para liberalis, setidaknya dalam bidang permodalan.
Latar belakang dari ditetapkannya Opendeur Politiek adalah dibubarkannya VOC, sehingga kekuasaan VOC di Hindia diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Kemenangan Partai Liberal Belanda pada pemilu 1850 pun menjadi faktor penentu Opendeur Politiek diberlakukan di Hindia, karena Partai Liberal Belanda berhak untuk menyusun kabinet dan menjalankan pemerintahannya. Selanjutnya, kemenangan mutlak yang diraih oleh Partai Liberal Belanda, menjadikan Politik Pintu Terbuka langsung berlaku di Hindia.
Politisi-politisi liberalis di Belanda tidak menyetujui Sistem Tanam Paksa yang selama ini diterapkan di Hindia. Politisi liberalis ini kemudian menginginkan supaya ada bantuan di tanah Jawa, sekaligus dapat meraup keuntungan dari masuknya perusahaan swasta. Dengan demikian, pada 1870, sistem tanam paksa dihapuskan, meski di luar Jawa masih berlangsung sampai tahun 1915.
Selanjutnya, pada tahun 1871, disahkannya perjanjian Sumatra dengan Inggris, sehingga Belanda dapat memperluas kekuasaannya sampai ke Aceh. Inggris yang terlibat dalam perjanjian itu, meminta kepada pemerintah Belanda untuk segera membayarkan utang-utangnya. Oleh karena itu, Inggris mengusulkan supaya Belanda segera membuka wilayah koloninya untuk modal asing, sehingga pengusaha asing dapat menanamkan modalnya di sana.
Selain itu, Inggris ingin pula menyebarluaskan kapitalisme dan liberalismenya ke berbagai belahan dunia, terutama di Jawa. Dengan alasan, Jawa adalah wilayah yang strategis dengan sumber daya rempah yang mumpuni. Belanda yang tak mau tertipu dengan Inggris, memberikan kebebasan kepada pemerintah Inggris untuk masuk ke Hindia, tetapi tidak boleh membeli tanah. Inggris hanya diperbolehkan untuk menyewa tanah tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya Belanda dapat mengontrol ekonomi Hindia lebih jauh dan berkaitan erat dengan "perang dagang" antara Inggris-Belanda.
Bung Karno pernah menjelaskan sekilas mengenai kebijakan Politik Pintu Terbuka di mana modal swasta dari banyak negara yang sudah masuk ke Indonesia, bahwasanya:
"... Sejak adanya opendeur-politiek, sejak itu, pertama di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia bukanlah lagi modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Prancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imeperialisme di Indonesia, mulai saat itu, adalah imperialisme yang internasional karenanya..."
Kebijakan ini ditujukan untuk: Pertama, menjadikan tanah jajahan di Hindia sebagai surga investasi modal asing. Semacam heaven country bagi para investor, persis seperti yang dilaksanakan oleh pemerintah sekarang. Kedua, mengubah fungsi tanah jajahan sebagai pemasok bahan mentah untuk pabrik-pabrik di Eropa. Ketiga, menempatkan tanah jajahan sebagai pasar penjualan barang-barang industri dan produk dari Eropa. Keempat, mendapatkan tenaga kerja upahan, yang berupah supermurah.
Pengaruh Revolusi Prancis
Prancis pada tahun 1789-1799 terjadi gelombang Revolusi yang mahadahsyat dan amat mempengaruhi dunia. Revolusi sosial di Prancis kemudian menjalar bagaikan api ke seluruh Eropa. Dengan dibangun di atas fondasi persekongkolan kaum pemodal yang sedang mekar-mekarnya dengan rakyat jelata, api Revolusi Prancis kemudian berhasil meruntuhkan tatanan monarki absolut Prancis yang bersekutu dengan kaum agamawan korup. Raja Louis XIV dan permaisurinya yang hedonis, Marie Antoinette, dipenggal di guillotine. Louis merupakan raja diktator, zalim, dan korup. Raja ini pernah mengumandangkan bahwa "Le etat c'est moi" (negara adalah aku).
Revolusi Prancis memiliki tiga slogan terkenal yang penuh makna hakiki, liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Semboyan ini pun menggerakkan revolusi itu. Spirit api Revolusi Prancis menjadi limpahan ide politik baru yang mempengaruhi Eropa, tak terkecuali Belanda.
Ide ini masuk ke Belanda dan membentuk kader-kader atau politisi liberalis di sana. Mereka kemudian bertarung dengan wakil-wakil kaum konservatif, yakni mereka yang terus-menerus mendukung kepentingan monarki.
Pikiran politisi liberalis Belanda adalah pengupayaan persamaan hak dalam bidang perekonomian, khususnya dalam urusun berusaha. Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan berdagang-berusaha-berbisnis. Pemerintah harus menjadi sebagai wasit saja. Hal ini pun didorong pula untuk urusan tanah jajahan, yang mana politisi liberalis menolak eksploitasi yang dimonopoli oleh pihak kerajaan.
Tiga undang-undang yang ditetapkan dalam rangka mengaktualisasi Politik Pintu Terbuka
Undang-undang Perbendaharaan (Comptabiliteits Wet)
Undang-undang ini dikeluarkan pada tahun 1864 ini mengatur tiap-tiap anggaran belanja dan perbendaharaan di Hindia Belanda. Undang-undang ini dibentuk dengan mengacu pada Konstitusi Kerajaan Belanda tahun 1848 yang menetapkan parlemen turut serta secara aktif dalam menjalankan roda pemerintahan. Parlemen pun berhak mengambil alih hak pemerintahan yang sebelumnya melekat pada raja sebagai kepala eksekutif.
Konstitusi Kerajaan Belanda 1848 ini berisikan tiga poin penting:
- Pengaturan mengenai jalannya pemerintahan (Regeringsreglement).
- Peraturan mengenai keuangan.
- Cara pelaksanaan urusan mengurus daerah tanah jajahan dan pertanggungjawabannya.
Undang-undang ini pertama kali dirancang oleh Menteri Panud pada 1855, kemudian untuk kedua kalinya diajukan oleh Menteri Rochussen pada 1858, dan ketiga kalinya diajukan oleh Menteri Fransen van de Putte pada 1863.
Undang-undang Gula (Suikers Wet)
Undang-undang ini secara garis besar mengatur tentang pengelolaan perkebunan tebu dan industri gula, yang sebelumnya berada dalam monopoli pemerintah menjadi "liberal" untuk dapat dikelola oleh tangan swasta. Undang-undang ini disahkan pada 1870. Kemudian juga, mengatur mengenai penghapusan kewajiban untuk mengeskpor tebu ke luar negeri, kecuali tanaman tebu tersebut sudah diolah melalui proses penggilingan dan telah menjadi gula.
Dua hal penting yang ada dalam undang-undang gula, antara lain:
- Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah (BUMN-nya Belanda) akan dihapus secara bertahap di tanah jajahan; dan
- Pada tahun 1891, semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah beralih kepenguasaannya ke tangan swasta.
Undang-undang ini menguntungkan pemilik modal atau swasta dari pihak asing, sehingga yang ikut serta menanamkan modalnya adalah perusahaan asing dengan menyewa tanah. Namun demikian, kondisi rakyat bumiputra Hindia masih dalam kondisi menderita, sementara perekonomian negeri Belanda terus mengalami pertumbuhan.
Undang-undang Agraria (Agrarische Wet)
Undang-undang ini berisi tentang dasar-dasar politik tanah, disahkan pada tahun 1870. Undang-undang ini disahkan oleh Menteri Urusan Jajahan di Hindia Belanda, Engelbertus de Waal, dengan alasan perubahan sistem tanam paksa yang menuai protes sejak 1830.
Berisikan tentang hukum administrasi pertanahan dan dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan aturan-aturan pembagian kepenguasaan tanah oleh pemerintah kolonial. Pemberlakuannya, pada dasarnya, sebagai bentuk proteksi hak-hak tanah bumiputra, tetapi di satu sisi menjadi permulaan politik-ekonomi liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda.
Boedi Harsono dalam Hukum Agraria Indonesia menjelaskan mengenai tujuan diberlakukan Undang-undang Agraria 1870: Pertama, memberikan peluang dan proteksi hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat mengembangkan modalnya di Hindia Belanda. Kedua, melindungi hak-hak tanah penduduk bumiputra agar tidak hilang atau jatuh ke tangan asing (khususnya Inggris) melalui sistem penyewaan tanah, bukan menjual tanah ke pihak asing. Ketiga, membuka kesempatan keraj yang lebih luas bagi bumiputra, tetapi dengan upah yang supermurah bila dibandingkan dengan tenaga kerja Belanda.
Selain itu, UU ini mengatur hak erfpacht. Hak ini serupa dengan Hak Guna Usaha (HGU), di mana seseorang dapat menyewa tanah terlantar yang menjadi hak negara maksimal selama 75 tahun. Hak menyewai ini diberikan "hak eigendom" (kepemilikan), selain dapat menjadi warisan atau agunan. Hak erfpacht terdapat tiga jenis dalam UU ini, yaitu: Pertama, hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimal 500 bahu dengan harga sewa maksimal lima florintper bahu (1 bahu = 14,0625 m2). Kedua, hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau perkumpulan sosial di Hindia Belanda, maksimal 25 bahu dengan harga sewa satu florint per bahu (sejak 1908 diperluas menjadi maksimal 500 bahu). Ketiga, hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya (estate), seluas maksimal 50 bahu.
Dampak bagi kaum bumiputra tidak sesuai dengan kehendak "tulus" dari para politisi liberal yang meng-goal-kannya. Para petani bumiputra tidak merasakan keuntungan, sebab keuntungan hanya dirasakan oleh para pemodal swasta, pengusaha swasta, dan tentunya pemerintah kolonial. Meskipun, terdapat banyak infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah untuk menjadi penyangga berjalannya undang-undang tanah dan Politik Pintu Terbuka, rakyat bumiputra tetap tidak dapat merasakan manfaatnya.
Referensi
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya: Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Djambatan, 2003.
Moti, Haris Rusly. "Politik Pintu Terbuka, Koeli-sasi Zaman Old Dan Kolonisasi Zaman Now." RMOL.ID (Republik Merdeka), 19 September 2018. https://rmol.id/read/2018/11/19/367010/politik-pintu-terbuka-koeli-sasi-zaman-old-dan-kolonisasi-zaman-now.
Parinduri, Alhidayath. "Sejarah Undang-Undang Agraria 1870: Latar Belakang, Tujuan, Dampak." Tirto.id, 12 Maret 2021. https://tirto.id/sejarah-undang-undang-agraria-1870-latar-belakang-tujuan-dampak-gaYo.
Sejarah dan Sosial. "Latar Belakang Politik Pintu Terbuka Era Kolonial Belanda." Kumparan, 26 September 2023. https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/latar-belakang-politik-pintu-terbuka-era-kolonial-belanda-21GT0YDSoLv/full.
Subroto, Lukman Hadi, dan Widya Lestari Ningsih. "Suiker Wet, Undang-Undang Gula di Era Hindia Belanda." Kompas.com, 14 Juni 2022. https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/14/110000879/suiker-wet-undang-undang-gula-di-era-hindia-belanda?page=all.
Sukarno. Mencapai Indonesia Merdeka. Jakarta: Yayasan Idayu, 2001.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H