Ide ini masuk ke Belanda dan membentuk kader-kader atau politisi liberalis di sana. Mereka kemudian bertarung dengan wakil-wakil kaum konservatif, yakni mereka yang terus-menerus mendukung kepentingan monarki.
Pikiran politisi liberalis Belanda adalah pengupayaan persamaan hak dalam bidang perekonomian, khususnya dalam urusun berusaha. Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan berdagang-berusaha-berbisnis. Pemerintah harus menjadi sebagai wasit saja. Hal ini pun didorong pula untuk urusan tanah jajahan, yang mana politisi liberalis menolak eksploitasi yang dimonopoli oleh pihak kerajaan.
Tiga undang-undang yang ditetapkan dalam rangka mengaktualisasi Politik Pintu Terbuka
Undang-undang Perbendaharaan (Comptabiliteits Wet)
Undang-undang ini dikeluarkan pada tahun 1864 ini mengatur tiap-tiap anggaran belanja dan perbendaharaan di Hindia Belanda. Undang-undang ini dibentuk dengan mengacu pada Konstitusi Kerajaan Belanda tahun 1848 yang menetapkan parlemen turut serta secara aktif dalam menjalankan roda pemerintahan. Parlemen pun berhak mengambil alih hak pemerintahan yang sebelumnya melekat pada raja sebagai kepala eksekutif.
Konstitusi Kerajaan Belanda 1848 ini berisikan tiga poin penting:
- Pengaturan mengenai jalannya pemerintahan (Regeringsreglement).
- Peraturan mengenai keuangan.
- Cara pelaksanaan urusan mengurus daerah tanah jajahan dan pertanggungjawabannya.
Undang-undang ini pertama kali dirancang oleh Menteri Panud pada 1855, kemudian untuk kedua kalinya diajukan oleh Menteri Rochussen pada 1858, dan ketiga kalinya diajukan oleh Menteri Fransen van de Putte pada 1863.
Undang-undang Gula (Suikers Wet)
Undang-undang ini secara garis besar mengatur tentang pengelolaan perkebunan tebu dan industri gula, yang sebelumnya berada dalam monopoli pemerintah menjadi "liberal" untuk dapat dikelola oleh tangan swasta. Undang-undang ini disahkan pada 1870. Kemudian juga, mengatur mengenai penghapusan kewajiban untuk mengeskpor tebu ke luar negeri, kecuali tanaman tebu tersebut sudah diolah melalui proses penggilingan dan telah menjadi gula.
Dua hal penting yang ada dalam undang-undang gula, antara lain:
- Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah (BUMN-nya Belanda) akan dihapus secara bertahap di tanah jajahan; dan
- Pada tahun 1891, semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah beralih kepenguasaannya ke tangan swasta.
Undang-undang ini menguntungkan pemilik modal atau swasta dari pihak asing, sehingga yang ikut serta menanamkan modalnya adalah perusahaan asing dengan menyewa tanah. Namun demikian, kondisi rakyat bumiputra Hindia masih dalam kondisi menderita, sementara perekonomian negeri Belanda terus mengalami pertumbuhan.
Undang-undang Agraria (Agrarische Wet)
Undang-undang ini berisi tentang dasar-dasar politik tanah, disahkan pada tahun 1870. Undang-undang ini disahkan oleh Menteri Urusan Jajahan di Hindia Belanda, Engelbertus de Waal, dengan alasan perubahan sistem tanam paksa yang menuai protes sejak 1830.
Berisikan tentang hukum administrasi pertanahan dan dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan aturan-aturan pembagian kepenguasaan tanah oleh pemerintah kolonial. Pemberlakuannya, pada dasarnya, sebagai bentuk proteksi hak-hak tanah bumiputra, tetapi di satu sisi menjadi permulaan politik-ekonomi liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda.
Boedi Harsono dalam Hukum Agraria Indonesia menjelaskan mengenai tujuan diberlakukan Undang-undang Agraria 1870: Pertama, memberikan peluang dan proteksi hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat mengembangkan modalnya di Hindia Belanda. Kedua, melindungi hak-hak tanah penduduk bumiputra agar tidak hilang atau jatuh ke tangan asing (khususnya Inggris) melalui sistem penyewaan tanah, bukan menjual tanah ke pihak asing. Ketiga, membuka kesempatan keraj yang lebih luas bagi bumiputra, tetapi dengan upah yang supermurah bila dibandingkan dengan tenaga kerja Belanda.