Kebijakan itu menyatakan pengembalian aset-aset ekonomi yang sebelumnya diambil alih oleh pemerintah Republik kepada pemilik-pemiliknya dan restitusi setimpal atas aset-aset ekonomi yang tidak dikembalikan dan untuk aset yang akan diambil alih pemerintah pada masa mendatang.Â
Selanjutnya, kebijakan tersebut pun menambahkan supaya "perbantuan ekonomi" dari luar negeri untuk segera dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat dan sejalan dengan garis politik pemerintah yang menekankan diplomasi.
Badan Perancang Ekonomi tersebut baru diperluas dan diperlengkap dengan dibentuknya Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE) pada tanggal 12 April 1947, di mana Hatta sebagai ketuanya. Tugas PPSE ini disebutkan dalam surat ketetapan pengangkatan anggotanya, yakni:
"... menyiapkan bukti-bukti dan buah pikiran untuk menjadi rencana dan dasar Pendirian Negara Republik Indonesia untuk menghadapi perundingan dan penyelesaian soal-soal ekonomi yang akan datang, terutama yang berhubungan dengan perusahaan bangsa asing yang ada di negeri kita serta dengan pembentukan Negara Indonesia Serikat."
PPSE juga menyatakan sikap senada dengan pendahulunya, yakni segala aset-aset ekonomi yang senyatanya milik bangsa asing, selain yang memang diperlukan oleh negara, akan diupayakan untuk segera dikembalikan kepada yang berhak, dan apabila ada aset yang akan diambil alih sesuai dengan kebutuhan negara, akan dibayarkan ganti kerugian yang sepadan dan proporsional.Â
PPSE kemudian menyatakan perihal utang yang kemudian akan tercantum secara de jure dalam hasil Konferensi Meja Bundar, yaitu: Republik Indonesia akan mengakui semua utang atas nama Hindia Belanda, sebelum Perang Asia-Pasifik, dan akan menjadi utang Republik Indonesia.Â
Hal ini serupa dengan pandangan Moh. Hatta bahwa Indonesia merdeka tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari pergaulan internasional. Karena, bagaimanapun juga, Indonesia yang masih belia ini membutuhkan bantuan-bantuan, terutama perbantuan kapital untuk menyelenggarakan pembangunan.
Keputusan PPSE dalam rangka penyediaan barang dan produksi dari Republik Indonesia dapat dilihat dalam Rancangan Sementara Plan Mengatur Ekonomi Indonesia:
"Jadi, import adalah sambungan yang tidak boleh tidak daripada produksi nasional. Baru setelah itu datang exsport, untuk pembayaran import itu.
Bukanlah "export-economie" yang harus diutamakan, ... melainkan: menimbulkan tenaga-pembeli rakyat yang sebesar-besarnya.
Tujuan perekonomian yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan dengan suatu plan-ekonomi yang teratur."