Peluang besar bagi Wilson tersebut muncul akibat peristiwa G30S 1965. Â Hanya dalam waktu dua bulan pasca-G30S, CEO Freeport, Langbourne Williams, menghubungi Forbes kembali. Dia mengabarkan bahwa eksekutif Texaco menginformasikan negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintahan Soeharto, kendati belum resmi mendapuk pemerintah, akan lebih bersahabat dengan kepentingan Amerika dan sirkulasi modal asing. Williams mengatakan hal itu dengan yakin, lantaran Julius Tahija---bekas tentara Sukarno yang berbalik menentangnya---adalah orang dekat Soeharto. Oleh karena itu, urusan Freeport ini menjadi lebih dimudahkan.
Sebenarnya, pada tahun 1965, Freeport sudah mendapatkan lampu hijau dari Soeharto, tapi sisa-sisa pemerintahan Sukarno dan pengaruh pribadi Bung Karno menghambat jalannya negosiasi. Baru setelah Sukarno benar-benar lengser, langkah Freeport semakin mantap dan kokoh di Bumi Cendrawasih tersebut.
Tepat pada bulan April 1967, disahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) Nomor 1 Tahun 1967 yang drafnya dirancang di Jenewa, Swiss, dan didiktekan Rockefeller langsung. Tak lama kemudian, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani kontrak karya yang mengizinkan eksplorasi dan eksploitasi cadangan emas dan tembaga di Papua.
Sampai saat ini, Freeport dikenal sebagai perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak luar biasa di Indonesia---di bawah Presiden Soeharto. Akibatnya, kekayaan negeri ini terkuras habis, sementara bangsa Amerika Serikat menikmati devisa terbesar dari tambang di Indonesia.
"Jika pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia sejak Soeharto berkuasa," ungkap Peter A. Rohi.Â
Misalnya, Presiden Sukarno pada tahun 1961, sebenarnya pernah memberikan izin kepada Caltex, tapi dengan syarat 60% dari keuntungannya harus diberikan kepada pemerintah Indonesia. Berbeda halnya dengan Soeharto, di mana Soeharto memberikan 9,6% saja.
Kekayaan Freeport tersebut adalah sebenar-benarnya kekayaan kita, kekayaan bangsa kita, kekayaan bangsa Indonesia. Dan kekayaan itu bukanlah angka-angka yang kecil. Dalam tulisan Lisa Pease, penulis buku JFK, Soekarno, CIA, and Freeport, menegaskan bahwa pertambangan emas di Freeport adalah pertambangan emas terbesar di dunia! Terbesar! Sekali lagi: Terbesar!
Mirisnya lagi, majalah Minning International pun melaporkan bahwa Freeport bukan saja tambang emas terbesar, melainkan tambang emas paling berkualitas dan kualitasnya tertinggi di dunia! Dan ... dengan biaya operasional paling murah di dunia!
Menurut laporan yang sama, sebagian besar kekayaan Amerika adalah hasil perampokan legal mereka dari tanah di Papua. Selain Amerika, sama-sama menguntungkannya bagi pejabat korup Orde Baru, beberapa jenderal-jenderalnya, dan para politisi busuknya, yang meraup keuntungan dan bergelimang harta di tengah-tengah kemiskinan rakyatnya.
Maka benarlah perkataan Sukarno:
"Kaum kapitalis akan datang kembali ke negeri ini dengan berbagai cara untuk menguras kekayaan bangsa Indonesia."