Atas dasar saran dari NU, Piagam Jakarta tetap menjadi dokumen historis yang menjiwai pembentukan UUD 1945. Akan tetapi, tidak diterapkan secara legal-formal dalam pemerintahan. Hal itu juga merupakan sikap NU, di mana NU menolak menerapkan syariat Islam dalam bentuk negara Islam, sebagaimana keinginan partai-partai Islam lainnya.
Nasution mengabarkan ke Presiden Sukarno mengenai jawaban dari NU. Presiden sangat gembira mendengarkan itu. Sesampainya Presiden di Jakarta, atas saran dari Perdana Menteri Djuanda dan Ketua Konstituante, Presiden Sukarno bertemu dengan Ketum NU untuk mengetahui sikapnya secara langsung.
Presiden Sukarno:Â "Saya sudah mendengar sikap NU, tapi bagaimana sebenarnya sikap NU terhadap gagasan Kembali ke UUD 1945, kami harap NU bisa mengurai kebuntuan konstitusi ini."
K. H. Idham Chalid: "Sebenarnya pendiran NU sudah jelas, jalan keluar yang diberikan NU telah sisampaikan dalam Sidang Konstituante yang lalu."
Presiden Sukarno: "Bagaimana sikap dan pendirian NU? Tolong dijelaskan kembali."
K. H. Idham Chalid:Â "Sebagaimana kami jelaskan sebelunya bahwa NU menghendaki ditempuh jalan tengah."
Presiden Sukarno: "Jalan tengah bagaimana? Ini persoalan mendesak soal keamanan negara, coba segera ketengahkan jalan tengah yang dirancang NU."
K. H. Idham Chalid: "Kami tidak menuntut diberlakukannya syariat Islam secara formal sebagaimana tertera dalam Piagam Jakarta, tetapi kami juga tidak ingin dasar Pancasila itu dibiarkan tanpa roh agama. Piagam Jakarta tidak perlu diterapkan secara formal seperti tuntutan Faksi Islam, tetapi juga jangan sekedar dianggap sebagai dokumen historis (yang pasif), seperti yang dikehendaki kelompok Nasionalis."
Presiden Sukarno: "Lalu usul jalan tengah NU seperti apa?"
K. H. Idham Chalid: "NU menghendaki Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, sehingga walaupun dasar negara kita Pancasila, tetapi memiliki dasar keislaman yang kokoh. Kalau itu yang dilakukan tidak hanya NU, tetapi seluruh umat Islam akan menerima Pancasila dengan sepenuh hati dan siap mempertahankan dari gangguan apa saja."
Presiden Sukarno: "Bagus, bagus, ini jalan tengah cerdas, kalau itu yang dimaksud NU, saya sangat setuju, dengan demikian Piagam Jakarta tidak sia-sia kami rumuskan, Piagam Jakarta tidak dibuang, tetapi menjadi Jiwa UUD 1945. Ini berarti NU menghargai perjuangan Panitia Sembilan dan itu berrati menghargai jasa saya pula sebagai salah satu perumusnya.Â