Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Apakah Nahdlatul Ulama (NU) Kunci dari Pemulihan Demokrasi Pancasila di Indonesia? Mari, Temukan Fakta Sejarahnya!

4 Desember 2024   10:15 Diperbarui: 4 Desember 2024   10:44 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Situs Web Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia

Nahdlatul ulama memiliki peran yang cukup strategis dalam memberikan solusi terhadap penetapan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno untuk menjawab kebuntuan dalam masalah politik pada masa itu. Penetapan itu juga menandai berakhirnya demokrasi parlementer menjadi demokrasi Pancasila sesuai dengan UUD 1945.

Alotnya perdebatan dalam Konstituante pada 1957---1959 antar faksi Pancasila dan faksi Islam terkait dengan penentuan dasar negara telah dipandang akan mengalami kebuntuan oleh Nahdlatul Ulama. Maka dari itu, ketika Pemerintah Djuanda menyurati Konstituante terkait kembali kepada UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila pada 19 Februari 1949, NU langsung mengkajinya dengan serius.

Rapat internal NU, pada 20 Februari 1959, menghasilkan jalan tengah berupa Pancasila yang lebih religius, yaitu Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta, bukan Pancasila ala Komunis. Hal itu disebabkan oleh sikap PKI yang juga mendukung Pancasila sehingga NU merasai kecurigaan terhadap PKI.

Pandangan resmi atas sikap tersebut dilontarkan langsung dalam Sidang Konstituante pada 4 Mei 1959, oleh K. H. Saifuddin Zuhri. Usulan NU itu mendapatkan tanggapan positif dari kubu-kubur yang berseberangan, baik dari K. H. Kahar Muzakkar dari Partai Masyumi maupun Ir. Sakiman dari Fraksi PKI.

Usulan itu tidak dihiraukan oleh pemerintah. Presiden Sukarno malah mendatangi Konstituante pada 22 April 1959 yang menegaskan kepada Konstituante untuk segera kembali kepada UUD 1945. Hal itu berbeda dengan sikap NU, karena pemerintah menetapkan Pancasila yang ada dalam UUD 1945 tanpa melalui amandemen sekalipun sebagaimana keinginan NU dan Faksi Islam, yaitu dengan Piagam Jakarta.

Akhirnya, sikap Ketua Umum NU, K. H. Idham Chalid, menyetujui untuk kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen. Sikap itu menyebabkan NU berseberangan dengan Faksi Islam lainnya yang masih menginginkan mengajukan amandemen UUD 1945.

Walhasil, Konstituante mengadakan pemungutan suara untuk keputusan kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen. Ketiga voting tersebut tidak memenuhi kuorum. Hal itu membuat semua pihak menjadi putus asa. Bahkan beberapa fraksi yang ada dalam Konstituante pun kelelahan dan tidak melihat jalan keluar atas kebuntuan tersebut.

Wilopo yang saat itu menjabat sebagai Ketua Konstituante, bertemu dengan Perdana Menteri Djuanda untuk membicarakan hal tersebut. Dalam pembicaraan serius itu, keduanya bersepakat untuk mendekati NU, sebagai cara satu-satunya untuk kembali ke UUD 1945, karena NU yang telah membuka jalan menuju keputusan tersebut.

Posisi NU pada masa itu cukup strategis. NU yang ada di dalam kabinet Djuanda dan juga memiliki kader yang cukup banyak di dalam Konstituante menjadi sebagai penentu arah politik nasional sebelum Dekrit Presiden.

KSAD Nasution juga menyetujui pandangan tersebut. Nasution juga meyakini bahwa kunci untuk kembali ke UUD 1945 adalah NU itu sendiri. Dengan alasan, ketika NU setuju terhadap keputusan, partai Islam lainnya akan mengekor pada keputusan NU.

Singkat cerita, Nasution memutuskan untuk bertemu dengan Ketua Umum dan Sekjen NU, yaitu Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri. Nasution mempertanyakan sikap NU bilamana Presiden menetapkan kembali kepada UUD 1945 setelah pulang dari kunjungan luar negeri. NU menyepakati itu, tetapi dengan catatan, bahwa Piagam Jakarta jangan sampai dibuang begitu saja. Sebabnya adalah, NU masih menolak pandangan kelompok sekuler yang mengabaikan Piagam Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun