Sebagai satu fakta sejarah, MPR RI pascareformasi pernah menelurkan pemimpin hebat, seorang cendekiawan dan pemikir ulung, yaitu Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid). Kiai yang melampai zaman ini mendapatkan suara yang unggul daripada lawannya saat itu, Megawati Sukarnoputeri. Ini adalah satu bukti kecil tapi berarti besar, bahwa demokrasi melalui MPR bisa menghasilkan pemikir sekaliber Gus Dur sebagai seorang Presiden.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasinya MPR, di mana Majelis Permusyawaratan Rakyat harus berfungsi seutuhnya sebagai lembaga tertinggi negara. MPR RI akan menjadi "kelembagaan" yang akan membahas apa saja yang baik demi bangsa dan negara, dengan representasi berdasarkan golongan fungsional, golongan ideologi, golongan kelas, golongan agama, yang kesemua-semuanya dapat diatur lagi dalam Undang-undang.
Penulis mencoba menyimpulkan bahwa tak ada salahnya memikirkan kembali Pemilihan Umum dilaksanakan melalui MPR. Mengingat sistem demokrasi voting one man one vote jelas sangat timpang bila tidak diisi oleh pendidikan politik yang sungguh-sungguh. Apalagi, one man one vote dijadikan oleh para cukong sebagai satu kesempatan untuk mewujudkan kepentingan pribadinya. Dengan uangnya yang tak terhingga, para cukong dapat membeli suara rakyat dengan sangat mudah. Demokrasi one man one vote pun tak pernah melahirkan pemimpin hebat sekaligus pemikir ulung, alih-alih hanya seorang badut yang menjual "sirkus" dan memberikan "roti".
Dalam hal ini, Penulis tidak menekankan poin pada kurang terdidiknya rakyat atau masih bodohnya rakyat kita, tetapi bagaimana peran Negara---yang sekarang didominasi oleh para pemilik modal dan orang kaya---luput untuk memenuhi amanat kemerdekaan dan penderitaan rakyat Indonesia.
Penulis teringat pada kisah Minke (R. M. Tirto Adhi Soerjo) pada masa 1900-an, di mana Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mendidik Bumiputera, agar mereka tetap bodoh dan terlelap dalam tidurnya sehingga tidak melakukan perlawanan, pemberontakan, dan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial. Coba kita renungkan lagi kisah Minke itu dengan menimbangnya pada peristiwa Pemilu 2024 kemarin.
Dalam kondisi demikian, penulis melihat jalan tengah, di mana mengembalikan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai fungsi lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum Amandemen, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat." Dalam MPR RI, partai-partai yang nanti kita pilih akan memilih Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan Senator dari daerah-daerah masing-masing. Presiden dan Wakil Presiden akan menjalankan segala hal yang telah ditetapkan oleh MPR RI dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sehingga Negara tidak maju-mundur, tidak gonta-ganti program dan kebijakan.
Mungkin, pemikiran Penulis "kuno", "usang", dan "terlalu utopis". Biarkan hal semua itu, Penulis tetap membuka ruang diskusi dan pikiran-pikiran baru, baik antitesis maupun pencobaan penyintesisan dari pikiran lain.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H