Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang dirumuskan dalam sidang BPUPK pada masa pendudukan Jepang. Sidang pada tanggal 1 Juni 1945 di mana Sukarno membacakan pidatonya adalah hari di mana Pancasila pertama kali disebutkan. Proses selanjutnya Pancasila yang Sukarno sebutkan disempurnakan pada 22 Juni 1945 dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila mengkehendaki adanya kepemimpinan yang berdasarkan pada demokrasi (kedaulatan rakyat). Meski Pancasila tidak serta-merta mengambil pemahaman demokrasi dari negara Barat, Pancasila menegaskan humanisme universalnya di dalam Sila II.
Demokrasi Barat yang ditentang oleh pendiri bangsa adalah demokrasi liberal dengan spirit individualisme. Dalam alam liberal-individualisme, manusia akan selalu cari senang untuk untungnya sendiri, manusia hanya memikirkan perutnya sendiri, manusia tidak memikirkan manusia lainnya, sehingga melahirkan sistem yang menindas, yaitu kapitalisme dan imperialisme. Yang mana, akibat dari individualis dan kebebasan (liberal), akumulasi modal (kapital) hanya berpucuk pada segelintir orang.
Demokrasi yang dikehendaki Pancasila---setidaknya versi pemahaman Penulis---adalah demokrasi yang berdasarkan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" dan menghasilkan "keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia". Demokrasi yang hanya menekankan pada demokrasi politik an sich, tidaklah mencerminkan demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi secara bersamaan.
Artinya, demokrasi politik hanya dipakai sebagai "alat" untuk mencapai demokrasi ekonomi, sehingga demokrasi sosial akan terwujud juga. Tidak ada demokrasi bila hak-hak ekonomi dalam kehidupan masyarakat masih timpang, dengan dalih telah diberikan hak politik.
Demokrasi yang liberal-individualis, rakyat bagaikan Raja di balik kotak suara, tapi layaknya budak di bidang-bidang perekonomian. Bahkan, mereka hanya menjadi raja, dalam waktu lima menit saja, saat mereka mencoblos wajah berpeci yang ada di surat suara. Sekeluarnya dari kotak suara, rakyat kembali ke rumah dan tak dianggap bagaikan "sampah" yang kembali dibuang---tak dipikirkan.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi "yang dipimpin", sekali lagi Penulis tegaskan bahwa, "Demokrasi yang dipimpin". Lalu, dipimpin oleh apa? Maka, kalimat selanjutnya menjelaskan: dipimpin oleh "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Inti dari demokrasi Pancasila adalah "terpimpin" oleh "permusyawaratan/perwakilan". Maka, ketika kita berbicara soal demokrasi di Indonesia, (mungkin) perlu untuk mencoba mencari formulasinya kembali, yang lebih sesuai dengan jati diri dan national identity dari bangsa Indonesia.
Demokrasi dengan pimpinan bukanlah hal yang buruk. Ini serupa dengan demokrasi Islam, di mana "musyawarah untuk mufakat" adalah cara yang dipakai. Demokrasi dengan pimpinan merupakan dengan demokrasi yang beranggotakan tiap-tiap golongan, kemudian tiap-tiap golongan itu akan mewakilkan golongannya, baik dari struktur kelas, maupun berdasarkan keagamaan, yang kemudian menghasilkan keputusan kenegaraan dan kebijakan.
Sesungguhnya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sekarang, telah memiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang---pasca-Amandemen Konstitusi---hanya sebagai lembaga negara, yang setara dengan DPR, DPD, bahkan Presiden. Namun demikian, jika kita kembali kepada sejarah, MPR RI pernah menjadi lembaga tertinggi negara.
MPR RI yang ideal adalah diisi oleh berbagai golongan, berbagai fraksi, berbagai agama, berbagai pandangan politik, berbagai teknokratis, bahkan diisi pula oleh perwakilan masyarakat sipil, sehingga MPR akan menggodok semua pikiran-pikiran yang baik ini untuk membuahkan hasil berupa Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dasar-dasar jalannya negara, lembaran yang menentukan Presiden untuk pembangunan dan segalanya.
Demokrasi yang dipimpin, demokrasi terpimpin, atau apa pun itu, tidak menekankan pada tokoh. Namun, pada pelembagaan sistem, dengan unsur-unsur golongan yang akan diatur kemudian sesuai dengan representasi di akar rumput, begitu pula berdasarkan ideologi yang ada di tengah-tengah masyarakat, sehingga segala ide-ide baik dikumpulkan dan negara dapat dijalankan dengan "musyawarah untuk mufakat".
Sebagai satu fakta sejarah, MPR RI pascareformasi pernah menelurkan pemimpin hebat, seorang cendekiawan dan pemikir ulung, yaitu Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid). Kiai yang melampai zaman ini mendapatkan suara yang unggul daripada lawannya saat itu, Megawati Sukarnoputeri. Ini adalah satu bukti kecil tapi berarti besar, bahwa demokrasi melalui MPR bisa menghasilkan pemikir sekaliber Gus Dur sebagai seorang Presiden.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasinya MPR, di mana Majelis Permusyawaratan Rakyat harus berfungsi seutuhnya sebagai lembaga tertinggi negara. MPR RI akan menjadi "kelembagaan" yang akan membahas apa saja yang baik demi bangsa dan negara, dengan representasi berdasarkan golongan fungsional, golongan ideologi, golongan kelas, golongan agama, yang kesemua-semuanya dapat diatur lagi dalam Undang-undang.
Penulis mencoba menyimpulkan bahwa tak ada salahnya memikirkan kembali Pemilihan Umum dilaksanakan melalui MPR. Mengingat sistem demokrasi voting one man one vote jelas sangat timpang bila tidak diisi oleh pendidikan politik yang sungguh-sungguh. Apalagi, one man one vote dijadikan oleh para cukong sebagai satu kesempatan untuk mewujudkan kepentingan pribadinya. Dengan uangnya yang tak terhingga, para cukong dapat membeli suara rakyat dengan sangat mudah. Demokrasi one man one vote pun tak pernah melahirkan pemimpin hebat sekaligus pemikir ulung, alih-alih hanya seorang badut yang menjual "sirkus" dan memberikan "roti".
Dalam hal ini, Penulis tidak menekankan poin pada kurang terdidiknya rakyat atau masih bodohnya rakyat kita, tetapi bagaimana peran Negara---yang sekarang didominasi oleh para pemilik modal dan orang kaya---luput untuk memenuhi amanat kemerdekaan dan penderitaan rakyat Indonesia.
Penulis teringat pada kisah Minke (R. M. Tirto Adhi Soerjo) pada masa 1900-an, di mana Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mendidik Bumiputera, agar mereka tetap bodoh dan terlelap dalam tidurnya sehingga tidak melakukan perlawanan, pemberontakan, dan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial. Coba kita renungkan lagi kisah Minke itu dengan menimbangnya pada peristiwa Pemilu 2024 kemarin.
Dalam kondisi demikian, penulis melihat jalan tengah, di mana mengembalikan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai fungsi lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum Amandemen, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat." Dalam MPR RI, partai-partai yang nanti kita pilih akan memilih Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan Senator dari daerah-daerah masing-masing. Presiden dan Wakil Presiden akan menjalankan segala hal yang telah ditetapkan oleh MPR RI dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sehingga Negara tidak maju-mundur, tidak gonta-ganti program dan kebijakan.
Mungkin, pemikiran Penulis "kuno", "usang", dan "terlalu utopis". Biarkan hal semua itu, Penulis tetap membuka ruang diskusi dan pikiran-pikiran baru, baik antitesis maupun pencobaan penyintesisan dari pikiran lain.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H