Pada 28--29 Desember 1954, atas undangan PM Indonesia, para perdana menteri yang menjadi peserta Konferensi Kolombo (Burma, Ceylon, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor, untuk membicarakan persiapan Konferensi Asia-Afrika. Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan tentang agenda, tujuan, dan negara-negara yang diundang pada Konferensi Asia-Afrika. Kelima negara peserta Konferensi Bogor menjadi sponsor Konferensi Asia-Afrika dan Indonesia dipilih menjadi tuan rumah pada konferensi tersebut, yang ditetapkan akan berlangsung pada akhir minggu April tahun 1955. Presiden Indonesia, Sukarno, menunjuk Kota Bandung sebagai tempat berlangsungnya konferensi.
Negara-negara Peserta Konperensi Asia-Afrika: Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Birma, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon, Jepang, Sudan, Republik Rakyat Cina, Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Lebanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan), Pantai Emas, Libya, India, Nepal, dan Yaman.
Suar Antikolonialisme dan Penghormatan HAM (Dasasila Bandung)
Hasil dari Konferensi tersebut tercantum pada deklarasi yang ada di dalam Komunike tersebut, selanjutnya dikenal sebagai "Dasasila Bandung". Dasasila Bandung berisikan pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha bersama-sama untuk memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
Dasasila Bandung:
- Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
- Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
- Tidak campur-tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
- (a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
(b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun. - Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
- Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
- Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
- Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.
Geopolitik Bung Karno Mempengaruhi Dunia: Konferensi Asia-Afrika
Pemikiran Geopolitik Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia amat mempengaruhi dalam pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika. Meski saat itu Presiden Sukarno tidak memegang kendali pemerintahan langsung, PM Ali Sastro sering sekali berkoordinasi secara intens terhadap Presiden.
Pemikiran Bung Karno yang memiliki ciri politik bebas-aktif, dengan menekankan pada keseimbangan antara paham nasionalismenya dengan internasionalismenya, sehingga tercipta universalisme-humanisme, mengakibatkan Bung Karno konsisten untuk menyuarakan antikolonialisme dan anti-imperialisme. Kedua pandangannya---antikolonialisme dan anti-imperialisme---ini menjadi satu dasar yang ia berikan kepada dunia sebagai alternatif dari praktik-praktik geopolitik sediakala.
Konferensi Asia-Afrika salah satu bukti nyata di mana Bung Karno konsisten untuk menyuarakan, bahkan memperjuangkan, kemerdekaan bangsa Asia-Afrika, khususnya pembebasan Irian Barat yang masih dalam cengkeraman kolonialisme Belanda sebagai wilayah tak terlepaskan dari Republik Indonesia.
Tidak hanya itu, KAA ini juga menjadi sebagai ajang penolakan asistensi dari negara-negara bekas penjajah di Asia-Afrika kepada bangsa yang baru merdeka di Asia dan Afrika. Bangsa Asia-Afrika terbukti nyata mampu menunjukkan dan memberikan pandangannya sendiri terhadap situasi geopolitik global pada masa itu. KAA pun menuntut agar PBB sebagai konsensus internasional harus bersikap adil dan melaksanakan "universalisasi" dari keanggotaannya.
Mengingat bahwa sebelum KAA berlangsung, hanya terdapat dua belas anggota yang berasal dari bangsa-bangsa di Asia-Afrika, maka pelaksanaan KAA dapat dikatakan berhasil. Mengapa demikian? Sebab pasca-KAA, keanggotaan PBB yang berasal dari Asia-Afrika meningkat menjadi dua puluh lima negara pada 1955. Semakin memuncak lagi pada dekade 1960-an, di mana gelombang kemerdekaan bangsa-bangsa Afrika mulai menyeruak ke permukaan, jumlah negara-negara Asia-Afrika di PBB meningkat menjadi lima puluh tiga negara, sementara dari benua lain hanya berjumlah lima puluh satu negara.
... Ini adalah suatu awal baru dalam sejarah dunia bahwa para pemimpin bangsa Asia dan Afrika dapat bertemu di negara mereka sendiri untuk membahas dan merundingkan hal-hal yang menjadi kepentingan bersama," ujar Presiden Sukarno dalam pidato pembukaan dan sambutannya di KAA 1955. Presiden Sukarno menambahkan, "... Hari ini, perbedaannya sangat besar. Negara dan negara kita tidak lagi menjadi koloni. Sekarang kita bebas, berdaulat, dan merdeka. Kita kembali menjadi tuan di rumah kita sendiri. Kita tidak perlu pergi ke benua lain untuk berdiskusi.
Pada tahun 1945, tahun pertama revolusi nasional kami, kami di Indonesia dihadapkan pada pertanyaan tentang apa yang akan kami lakukan dengan kemerdekaan kami ketika akhirnya tercapai dan terjamin---kami tidak pernah meragukan bahwa itu akan tercapai dan terjamin." Presiden Sukarno menambahkan lagi, "Kami tahu bagaimana melawan dan menghancurkan. Kemudian kami tiba-tiba dihadapkan pada kebutuhan untuk memberikan makna dan isi kepada kemerdekaan kami. Tidak hanya isi dan makna materiel, tetapi juga isi dan makna etis dan moral, karena kemerdekaan tanpa etika dan tanpa moralitas akan menjadi tiruan yang sangat buruk dari apa yang kami cari. Tanggung jawab dan beban, hak dan kewajiban serta privilese kemerdekaan harus dipandang sebagai bagian dari isi etis dan moral kemerdekaan.
Presiden Sukarno menjelaskan tesisnya tentang Garis Hidupnya Imperialisme Dunia. "Saudara-saudari, betapa dinamisnya waktu kita sekarang! Saya ingat bahwa, beberapa tahun yang lalu, saya pernah membuat analisis publik tentang kolonialisme, dan saat itu saya menarik perhatian pada apa yang saya sebut sebagai 'Garis Hidup Imperialisme'." Presiden Sukarno kembali melanjutkan penjelasannya, "Garis ini membentang dari Selat Gibraltar, melalui Mediterania, Terusan Suez, Laut Merah, Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Laut Jepang. Untuk sebagian besar jarak yang sangat besar ini, wilayah di kedua sisi garis kehidupan ini adalah koloni, rakyatnya tidak bebas, masa depan mereka terikat pada sistem asing. Sepanjang garis kehidupan itu, arteri (denyut nadi) utama imperialisme, dipompa darah kehidupan kolonialisme."
Sukarno menekankan kemerdekaan Asia-Afrika, sebagai bangsa yang berdaulat, "Dan hari ini di ruang ini berkumpul para pemimpin dari bangsa-bangsa yang sama. Mereka tidak lagi menjadi korban kolonialisme. Mereka tidak lagi menjadi alat orang lain dan mainan kekuatan yang tidak bisa mereka pengaruhi."