kesadaran politik rakyat---khususnya kaum menengah perkotaan---sudah mulai meluas. Khawatir karena kedepannya masih ada tipu muslihat lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada rakyatnya. Kedua rasa ini campur aduk dalam balutan sanubariku saat mulai berjalan ke arah bus.
Sore itu, dengan kelelahan dan mata yang perih terkena gas air mata, aku selesaikan aksi bersama ratusan ribu mahasiswa lainnya. Rasanya lega dan bercampur kekhawatiran lainnya yang menunggu di hari depan. Lega karenaMemang kita pantas lega untuk hal ini. Rakyat Indonesia yang telah dipertontonkan aksi politik tanpa etika, penuh ketelanjangan, penuh ketidakpunyaan rasa malu, dengan segala pembenarannya, membiarkan dinasti politik terpilih dan menjadi kuasa untuk 5 tahun ke depan. Mereka kini mampu tersadarkan bahwa ini adalah kesalahan.
Indonesia yang berbentuk Republik tapi berwatak monarki, didirikan oleh pendiri bangsa kita sebagai Republik Indonesia. Bukan Monarki dalam bentuk Kerajaan Indonesia atau Kesultanan Indonesia ataupun juga Kemaharajaan Indonesia. Hal ini difalsafahkan oleh para pendiri bangsa sebagai satu langkah "penolakan" terhadap politik feodalisme.
Feodalisme sendiri adalah paham yang menekankan adanya tiga unsur dalam satu kesatuan wilayah, yaitu Tuan, Bawahan, dan Wilayah. Struktur pemerintahan feodalistis adalah bagaimana ketiga unsur itu saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Tuan di sini dimaksudkan sebagai kaum bangsawan yang memiliki tanah, bawahan adalah orang yang diberikan tanah, dan wilayah adalah tanah perdikan. Sebagai imbalan atas tanah perdikan, bawahan memberikan prajurit kepada tuan. Pola relasi dan timbulnya kewajiban antara tuan, bawahan, dan wilayah ini menimbulkan relasi yang bersifat "feodalistis". Oleh karena itu, ciri khas dari paham feodalisme adalah ketaatan mutlak kepada terhadap pemimpin atau atasan.
Feodalisme kemudian menghasilkan piramida sosial. Di antaranya, Raja menduduki posisi paling atas, kaum aristokrat di urutan kedua, bupati dan adipati selanjutnya, kepala-kepala rakyat, dan rakyat yang berada paling dasar. Oleh karena itu, Rakyat begitu menderita dan tertindas. Namun, masyarakat feodal adalah masyarakat yang berorientasi pada nilai "pelayanan" yang amat berlebihan kepada penguasa, pejabat, birokrat, ataupun orang yang dituakan.
Tiga prinsip utama dalam feodalisme antara lain: pertama, sistem feodalisme berfokus pada kekuasaan di dalam segala aspek, sekali lagi, segala aspek, sehingga kekuasaan berpusat pada satu orang pemimpin. Kedua, kekuasaan dalam sistem feodalisme hanya bergilir dari satu orang yang berkuasa ke keluarga-keluarganya. Dengan kata lain, kekuasaan hanya berkutat di sekeliling kerabat pemimpin feodal itu. Misalnya, ketika pemimpin itu ingin diganti, dengan sebab mati atau pensiun, kekuasaan berpindah ke tangan keluarganya, baik kepada anaknya maupun adiknya. Ketiga, pengultusan pemimpin itu. Dalam budaya feodal, pemimpin tidak pernah salah. Pemimpin adalah orang baik yang tak akan berbuat dosa-angkara-murka. Pemimpin tidak hanya dihormati, tetapi dipuja-puji dengan berlebih-lebihan.
Berlanjut ke cerita sore itu. Aku bertemu dengan driver ojek online. Pertemuan itu tidak akan terjadi apabila mamaku tidak memintaku untuk pulang dengan segera setelah aksi, sehingga aku harus memesan ojek online untuk mempercepat waktu kepulangan ke rumah. Bagaikan takdir Tuhan yang ingin mempertemukan diriku dengan realitas sosial-masyarakat kita, aku berbincang bersama driver ini sebagai representasi rakyat marhaen Indonesia kontemporer.
"Abis demo ya, pak?" tanya driver ini sebagai permulaan percakapannya.
"Iya, nih, pak. Presiden sudah tak tahu diri. DPR melanggar konstitusi pak, demi anak Presiden agar bisa menjadi kepala daerah. Yang saya kesal, smuanya nggak pake malu, pak," ujarku kepadanya.
"Oo, maksudnya mas Gibran, mas? Kalau dia kan sudah menang, mas."
Karena suaranya tercampur angin, aku refleks bertanya kembali. Kemudian aku harus menyesuaikan kapasitas obrolanku.
"Iya sih, Pak. Banyak rakyat yang suka ya, Pak, dengan Presiden yang sekarang," jawabku. "Termasuk, bapak juga ya, Pak?"
"Iya, mas. Pak Mulyono, presiden kita itu baik banget. Beliau nggak mungkin melakukan hal-hal itu. Pak Mulyono ini rela nama baiknya tercoreng, anak-anaknya maju, demi bangsa Indonesia. Biar pembangunannya makin merata, mas. Apalagi kalau yang banteng-banteng itu sama yang Anies itu, punya niat jahat sama presiden, mas. Saya sih, benar-benar percaya, mas, sama presiden. Nggak mungkin lah, mas, presiden itu kan sudah sering ngomong, 'saya tidak ikut campur.' Mas kan mahasiswa, mosok percaya sama banteng dan Anies, mas."
Percakapan itu nyata adanya. Senyata Pasangan Calon Prabowo-Gibran menang satu putaran.
Aku pun berdiskusi---atau bercakap-cakap saja---dengan menyesuaikan diri kepada bapak driver ini. Agar aku tak menghakimi pemikirannya dan tidak merasa lebih pintar dari beliau, aku mengiyakan segala kepositifan thinking-nya.
Mungkin ini PR kita yang ingin bangsa Indonesia benar-benar demokratis, demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi. Agar setiap aspek keilmuan yang tinggi di kalangan mahasiswa, kalangan intelegensia, kalangan dosen-akademisi, kalangan mereka yang tercerdaskan, kalangan kamu menengah, untuk menyentuh lapisan kaum marhaen ini. Mereka perlu dicerdaskan betapa berbahayanya "kekuasaan yang terpusat pada satu keluarga", mereka perlu diberitahu bahwa "bansos yang diberikan hanya untuk jangka pendek hidupmu, sehingga tidak baik pula untuk jangka panjang kehidupanmu", mereka perlu dicerdaskan juga bahwa "pemimpin itu harus dikritisi, harus dilihat keburukannya, harus dicurigai".
Mereka perlu dicerdaskan semangat Pancasila, Republikanisme, dan demokrasi. Pancasila jelas sebagai dasar negara menolak "pemusatan kekuasaan" kepada satu orang, bahkan satu keluarga. Paham republik mengesampingkan feodalisme jauh di pojokan, tak dipergunakan. Demokrasi pun demikian, kedaulatan ada di tangan rakyat, baik kedaulatan sosial-politik maupun kedaulatan ekonomi bukan berada di bawah dinasti satu orang, keluarganya, atau kroni-kroninya. Hal seperti ini perlu dicerdaskan kepada rakyat marhaen, seperti driver tersebut.
"Tapi, mas, saya nggak mau berat-berat juga. Mahasiswa, timses yang sini, sama timses yang sana, itu terlalu serius banget. Saya kan butuh hiburan. Males banget dengerin, mending saya joget-joget. Iya, kan, mas?"
Iya, betul. Untuk melakukan upaya ini kita tidak perlu terlalu serius. Yang kita perlu menjelaskannya dengan riang-gembira, dengan gimmick, dengan segala hal yang fun-fun. Rakyat marhaen ini perlu sekali kegembiraan yang lucu dan ngguyon. Maka dari itu, perlu sekali kita menjejaring public figure yang mencintai demokrasi untuk membawa narasi demokrasi ini dengan penuh hiburan tapi full esensi. Kita perlu lebih banyak menggaet influencer yang tercerdaskan dalam pikiran dan mampu menarasikan sesuatu satire yang ringan untuk menyadarkan rakyat marhaen ini.
Jangan sampai Republik yang didirikan oleh para intelegensia dari Sabang sampai Merauke ini jatuh ke tangan dinasti! Hambat sebisa mungkin!
Jangan sampai Republiknya Sukarno-Hatta-Sjahrir-Natsir-Yamin-Subardjo dan semua yang terlibat dalam penyusunannya, jatuh kepada tangan "dia" dan kroninya yang tamak-rakus-serakah!
Jangan sampai falsafah Pancasila yang penuh "kesaktian" sebagai bintang penuntun dan leistar dinamis ini diperkosa semaunya oleh orang-orang serakah di kekuasaan!
Sedikit nukilan dari lagu Sorak-sorak Bergembira:
"Sadar-sadar hai pemuda, Bergembira semua...
Kau tetap asuhan jiwa, Indonesia merdeka...
Indonesia merdeka! Republik Indonesia!
Itulah hak miik kita, Untuk selama-lamanya!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H