Tragedi ketiga adalah Tragedi Semanggi II. Tragedi ketiga ini terjadi pada 24-28 September. Berawal dari penolakan mahasiswa terhadap RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Ditambah lagi, pada saat yang sama mahasiswa juga sedang gencar-gencarnya menuntut penghapusan dwifungsi ABRI. Aksi ini pun terjadi di beberapa kota besar, yakni Jakarta, Medan, Lampung, dan beberapa kota lainnya.
Kemudian, demonstrasi mahasiswa ini mendapatkan represifitas aparat keamanan, bahkan sampai terjatuhnya korban jiwa. Korban akibat kekerasan aparat keamanan ini, antara lain, Yap Yun Hap (mahasiswa FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M. Nur Ichsan, Salim Jurnadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (mahasiswa Unila), Saidatul Fitria, dan Mayer Ardiansyah (IBA Palembang). Relawan kemanusiaan juga mencatat ada 11 orang korban meninggal dan 217 orang terluka akibat tragedi ini.[9]
Salah satu kemirisan adalah ucapan dari Jaksa Agung S. T. Burhanuddin bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM yang Berat.[10] Tentunya, ucapan ini sangat menyakiti keluarga korban yang sampai sekarang masih bertahan meminta kejelasan siapa dalangnya, serta meminta keadilan agar dalang pembunuhan anaknya ditangkap dan diadili.
Tragedi keempat adalah pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Pembunuhan Munir terjadi di atas pesawat Garuda, tepatnya saat sedang mengudara di tengah-tengah Uni Eropa. Munir meninggal akibat diracun arsenik.
Berdasarkan data KontraS dalam buku Bunuh Munir, pembunuhan ini merupakan pembunuhan konspirasi dengan dilakukan sangat terencana dan sistematis, bahkan melibatkan aparatur negara. Salah satu buktinya adalah pernah disidangkannya Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi V BIN, meski pada akhirnya ia dibebaskan pengadilan.[11]
Berita terkait Komnas HAM akan mengategorikan pembunuhan ini sebagai pelanggaran HAM yang Berat masih belum terlalu jelas. Pengategorian kasus ini sebagai pelanggaran kemanusiaan berat, akan menghilangkan masa daluwarsa kasus ini, sebab bila tidak, setahun kasus ini akan dinyatakan daluwarsa.[12] Maka selanjutnya, pelaku intelektual atau dalangnya akan mendapatkan impunitas lagi dan lagi. Bertahun-tahun kasus ini berjalan yang ditangkap negara hanya pelaku lapangan. Padahal bukti di pengadilan sudah jelas-jelas menyebutkan banyak konspirasi. Tidak hanya itu, dokumen orisinal TPF bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai sekarang juga hilang dan belum ditemukan. Dugaan kuat mengenai dokumen TPF Munir tidak kunjung diungkap adalah karena di dalamnya banyak menyangkut kepentingan politik penguasa.[13]
Melihat kekejaman dan kepedihan tragedi di dalam September Kelam membuat saya mengambil kesimpulan: betapa kelamnya sejarah bangsa ini. September Kelam harus dijadikan sebuah kaca spion untuk belajar dari masa lalu sebagai bekal masa depan bangsa agar lebih baik lagi.
September Kelam juga harus menjadi pelajaran kepada bangsa Indonesia, pelajaran tentang arti pentingnya sebuah Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan keadilan. Mungkin jika saya bisa katakan sebagai "fakta yang pahit dalam sejarah", benarlah adanya, tetapi sebaliknya, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dan bangsa Indonesia ini menyikapi peristiwa-peritiwa kelam tersebut. Bangsa Indonesia harus menjadikannya sebagai acuan dan pedoman untuk bekal bangsa Indonesia melangkah di masa depan. Bangsa Indonesia harus melakukan rekonsiliasi atas segala stigmatisasi yang pernah ditorehkan oleh Orde Baru.
Bangsa ini harus terus belajar dan memahami sejarah!
Bangsa ini tidak boleh jadi pengecut!
Bangsa kita adalah bangsa yang berani, berani yang seperti apa?