Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

September Kelam: Tragedi Kemanusiaan, Pelanggaran HAM, dan Perjuangan Aktivis di Indonesia

15 November 2024   18:57 Diperbarui: 15 November 2024   19:11 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:AHNasution1965.jpg

September kelam, september hitam. Begitulah ungkapan aktivis-aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan berita-berita ketika menggambarkan kejadian-kejadian masa lalu yang terjadi pada bulan ini. Para aktivis HAM tanpa rasa lelah masih tetap bertahan untuk menyuarakan kebenaran. Meski tahu suara suarnya tidak akan didengar, paling tidak mereka dapat melawan "lupa" dan merawat ingatan untuk masa depan bangsanya. Tak hanya sekadar itu, mereka pun berupaya terus-menerus untuk mendesak supaya penegakan hukum dilaksanakan kepada para terduga pelaku pelanggaran HAM oleh negara.

Iya, kaki mereka tetap berdiri tegak. Tak peduli sampai 17 tahun ataupun sampai 1000 tahun lamanya, mereka tetap akan terus berdiri memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas. Orang-orang yang hak asasinya dirampas oleh penguasa---dan kroni-kroninya---yang jauh lebih kuat. Mereka berjuang untuk itu, dan hanya untuk itu.[1]

Berkaca pada kejadian pemilihan umum tahun ini di mana penuh dengan ucapan---bahkan tindakan---tak elok dan tak pantas dalam arus politik utama, aktivis HAM dan demokrasi pun ikut tertuduh oleh karenanya. Mereka tertuduh tidak tulus memperjuangkan HAM dan demokrasi, mereka tertuduh dengan dalih yang begitu melemahkan "posisinya". Mereka dituduh hanya "menikmati arus politik", mereka dituduh mendukung salah satu paslon, mereka partisan. Oleh karena itu, kritik dan "penentangan" terhadap situasi dan kondisi jadi tak dihitung, bahkan tak didengar. Makin hari, makin hancur situasinya, tuduhan-tuduhan seperti ini pun kian banyak.[2]

Mengingat bulan ini sudah masuk bulan September. Saya ingin sedikit memberikan gambaran berupa fakta mengenai kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada bulan ini. Setidak-tidaknya, ini upaya saya sebagai "pengingat" sebagai langkah untuk melawan lupa. Oleh karena itu, pertama-tama, saya akan menjelaskan alasan diberikan penamaan "September Kelam" untuk bulan ini.

Penamaan tersebut dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian pada bulan ini, di mana terjadi serangkaian tragedi-tragedi kekerasan yang menjurus pada pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM yang Berat. Banyaknya tragedi kekerasan ini mengakibatkan, tidak hanya saya yang menyimpulkan, tetapi media dan masyarakat mennyebutnya sebagai "September Kelam" atau "September Hitam". Mungkin juga terinspirasi dari media internasional, di mana Amerika Serikat pernah mendeskripsikan peristiwa 9/11 sebagai tragedi september kelam. Namun, terlepas dari itu semua, terlepas dari alasan yang diberikan media internasional terhadap kejadian yang jauh dari negeri, ada yang jauh lebih penting untuk kita "kita ingat"---yakni, peristiwa atau tragedi yang terjadi di bangsa kita, terjadi di negara kita, terjadi di Republik Indonesia.

Selanjutnya, saya akan jelaskan mengenai tragedi apa saja yang terjadi. Serangkaian tragedi yang terjadi di Indonesia ini bukan hanya menyisakan puing-puing rasa kecemasan, melainkan juga melahirkan rasa "kebencian". Hal ini diakibatkan oleh pola pikir yang telah terstigmatisasi, hasil dari indoktrinasi dan propaganda Orde Baru-nya Soeharto. Beberapa tragedi-tragedi yang hingga kini masih membekas, misalnya, Pembantaian Kader, Anggota, dan Simpatisan PKI; Tragedi Tanjung Priok; Tragedi Semanggi II; Misteri Pembunuhan Munir; serta---yang paling baru---Aksi Reformasi Dikorupsi yang terjadi pada 2019 silam.

Tragedi pertama adalah tragedi pembantaian kader, anggota, dan simpatisan PKI pada penghujung tahun 1965 hingga awal-awal tahun 1966. Tragedi ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa G30S. Perisitiwa G30S sendiri merupakan tragedi terbunuhnya 6 jenderal dan 1 perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 1 Oktober dini hari. G30S disinyalir timbul karena pada masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan komunis dengan PKI sebagai representasi politik memiliki kekuatan yang cukup besar. Tokoh-tokoh militer dengan program dwifungsi ABRI-nya yang antikomunis selalu mencoba untuk mengimbanginya. Relasi yang terjadi di antara kedua pihak---AD dan PKI---adalah sangat antagonistik. Oleh karena itu, timbul suhu "kepanasan" dalam arus politik Indonesia, antara PKI dan perwira-perwira TNI, khususnya AD. 

Peristiwa ini dilalui dengan "pembantaian massal" terhadap warga sipil, para anggota, kader, dan simpatisan PKI dibantai secara massal. Mereka dibunuh tidak dengan perintah pengadilan, tidak dengan dasar hukum, tetapi dengan perintah penguasa, "ganyang PKI sampai ke akar-akarnya!".

Dengan mengambil dalih G30S sebagai sebuah kudeta yang dilakukan PKI kepada Republik, AD dan para paramiliter organisasi masyarakat---yang antikomunis---membantai mereka. Bahkan, Vincent Bevins dalam Metode Jakarta, menjelaskan bahwa AD diberikan daftar nama oleh AS untuk melaksanakan eksekusi massal ini. Indonesia banjir darah.[3]

Jika kita berbicara G30S, selanjutnya pasti menanyakan soal siapa dalangnya. Merujuk pada Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa, dalang G30S sampai sekarang memanglah belum menemui titik terang. Namun, kesimpulan Roosa mengarah pada "konflik internal AD".[4] Pemerintah yang saat itu sudah dikontrol oleh militer mengambil kesimpulan bahwa PKI di belakangnya. Akan tetapi, ketidakpastian timbul karena arus informasi pada masa itu sangat terfokus hanya dari koran Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata, yang mana milik AD. Bahkan, koran sebagai alat informasi yang saat itu menjadi satu-satunya sumber. Koran-koran lain setiap kali ingin menerbitkan pun harus melalui serangkaian tahap pengecekan oleh militer. Maka dari itu, banyak sejarawan yang mengatakan sulit mendapatkan objektivitas dari informasi yang diberikan pemerintah.

Menyusul kemudian, Riwayat Terbukur membongkar peristiwa setelah G30S. Presiden Soeharto yang naik ke tampuk kekuasaan berkuasa di atas banjir darah di negaranya. Presiden Sukarno---proklamator dan pahlawan besar bangsa---bahkan tega ditahan oleh Soeharto.[5]

Singkatnya, G30S dijadikan dalih dan engakibatkan tertuduhnya PKI sebagai dalang. Hal ini berimbas pada pelarangan ideologi marxisme-leninisme di Indonesia, pembubaran PKI, dan berlanjut pada tindakan pembantaian. Merujuk pada laporan majalah Tempo yang dibukukan dengan judul Pengakuan Algojo 1965, ada tiga versi jumlah korban pembantaian.[6] Pertama, tim investigasi bentukan Presiden Sukarno yang dipimpin oleh Menteri Negara Oei Tjoe Tat menyatakan bahwa korban sebanyak 78 ribu. Data ini diulik dengan intervensi militer, sebab pada masa itu kekuatan militer sudah mendominasi pemerintahan. Kedua, aktivis kiri menyatakan 2 juta orang terbunuh. Ketiga, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (sekarang Kopassus), Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan setidak-tidaknya 3 juta orang terbunuh. Perbedaan antara aktivis kiri dan militer adalah salah satu persoalan dari latar belakang peristiwa ini. Aktivis kiri ingin membesarkan angkanya agar tergambarkan betapa kejamnya pembantaian tersebut, sedangkan militer memiliki angka besar diduga sebagai alat legitimasi tindakan pembantaian, dengan menekankan paham komunis adalah berbahaya, sudah sangat menjamur, dan membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

Dalam hal ini, tidaklah mungkin bila pembantaian besar-besaran seperti ini dilakukan oleh kekuatan yang lemah, pasti dilakukan oleh kekuatan yang besar dan alat-alat yang begitu lengkap juga. Proses pembantaian ini dilakukan oleh militer dengan dibantu oleh civil society. Perestuan oleh negaralah yang mendorong kekuatan sipil ikut serta membantu tindakan pembantaian kader PKI dan simpatisannya. Selain itu, warga sipil yang ikut serta dalam proses pembantaian dan pemberangusan didominasi dari kalangan agamais. Hal itu disebabkan mereka memiliki background yang tidak pernah sejalan dengan politiknya PKI.

Dalam pembantaian besar-besaran ini, titik persoalannya terletak pada pembantaian yang dilakukan tanpa adanya penyelidikan dan penyidikan, apakah benar-benar kader, atau terafiliasi, atau juga simpatisan. Mereka dibunuh dengan jalur komando, di mana ketika pemimpin melakukan kesalahan, bawahannya---yang sebenarnya tak tahu-menahu---harus dihukum juga. Termasuk mereka di desa-desa, yang ikut BTI (Barisan Tani Indonesia), atau Gerwani dan sebagainya, hanya untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya, harus diberangus dan dipenggal kepalanya. Padahal mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak pernah mengikuti rapat CC PKI, itu pun kalau apa yang dituduhkan Soeharto memang benar bahwa PKI melakukan kudeta. Baca kembali penelitian terbaru, tindakan Soeharto bisa disimpulkan sebagai kontrarevolusi.

Tak heran bila banyak warga sipil yang apes dan menjadi korban "salah bunuh". Terlebih lagi, proses pembantaian atau pembunuhan dilakukan tanpa proses pengadilan. Tindakan pembantaian juga disertai oleh penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, serta penghilangan paksa.

Dampaknya pun didapat oleh keluarga yang mereka tinggali. Keluarga dicap sebagai antek-antek komunis dan mendapatkan sanksi sosial. Cap komunis dijadikan sebagai alat untuk memberangus kritik. Mereka yang protes terhadap ketidakadilan Orde Baru-nya Soeharto, adalah PKI dan komunis. Salah satu contohnya adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik yang didirikan oleh Budiman Sudjatmiko.

Tidak hanya itu, mereka yang dicap antek komunis atau eks tapol (mantan tahanan politik) dikucilkan di masyarakat, diperlakukan sangat diskriminatif. Bahkan, banyak dari mereka yang sampai sulit mencari pekerjaan yang layak.

Tragedi kedua adalah Tragedi Tanjung Priok. Tragedi ini merupakan salah satu tragedi terbesar pada masa pemerintahan Orde Baru. Tragedi ini berawal dari diberlakukannya asas tunggal pancasila oleh pemerintah. Sebagai tanggapan terhadap kebijakan fasismenya Soeharto ini, banyak kalangan agamais-kanan menolak kebijakan tersebut. Timbulah ceramah yang dianggap subversif oleh pemerintahan Orde Baru. Salah satunya disuarakan oleh ulama Tanjung Priok, Abdul Qodir Jaelani (AQJ).[7]

AQJ kemudian ditangkap dengan dugaan telah melakukan tindakan subversif. Dengan demikian, masyarakat TAPI yang pro terhadap AQJ melakukan aksi demonstrasi agar AQJ dapat dibebaskan. Sejak saat itu, mulai muncul percikan-percikan konflik. Perkembangan peristiwa selanjutnya, musala di TP juga dipasangkan pamflet berupa tulisan. Tulisan tersebut, kemudian, dianggap sebagai tindakan subversif oleh pemerintah. Babinsa yang bertugas di sana mencoba menghapusnya. Akan tetapi, berdasarkan laporan Tirto.id, Babinsa tersebut menyiramnya dengan air comberan agar terhapus. Babinsa tersebut masuk musala untuk menghapusnya dengan tidak melepaskan alas kaki. Tindakan Babinsa ini mendapatkan respons yang begitu penuh kemarahan dari empat orang warga. Dengan delik melawan aparat, empat orang warga ini ditangkap dan ditahan di kantor polisi.[8]

Kabar mengenai tindakan Babinsa dan ditangkapnya warga tersebut pun tersebar di kalangan warga TP. Alhasil, warga TP merasa sangat geram dan melakukan aksi demonstrasi agar empat warga yang ditangkap dapat dibebaskan.

Demonstrasi inilah yang mendapatkan represifitas aparat keamanan, bahkan oleh militer. Tidak perlu begitu kaget, sebab pada masa Orde Baru, militer memiliki kedudukan yang "begitu banyak" dengan doktrin Dwifungsi. Tak lama dari peristiwa demostrasi ini, Militer dengan truknya datang dengan senjata laras-panjang segera memberondong demonstrasi warga.

Panglima ABRI kala itu, L. B. Moerdani, mengatakan bahwa korban berjumlah 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka. Namun, berbeda dengan data Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang menyebut terdapat 400 orang tewas. Jumlah ini pun belum termasuk korban yang hilang dan luka-luka dari hasil investigasinya.

Tragedi ketiga adalah Tragedi Semanggi II. Tragedi ketiga ini terjadi pada 24-28 September. Berawal dari penolakan mahasiswa terhadap RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Ditambah lagi, pada saat yang sama mahasiswa juga sedang gencar-gencarnya menuntut penghapusan dwifungsi ABRI. Aksi ini pun terjadi di beberapa kota besar, yakni Jakarta, Medan, Lampung, dan beberapa kota lainnya.

Kemudian, demonstrasi mahasiswa ini mendapatkan represifitas aparat keamanan, bahkan sampai terjatuhnya korban jiwa. Korban akibat kekerasan aparat keamanan ini, antara lain, Yap Yun Hap (mahasiswa FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M. Nur Ichsan, Salim Jurnadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (mahasiswa Unila), Saidatul Fitria, dan Mayer Ardiansyah (IBA Palembang). Relawan kemanusiaan juga mencatat ada 11 orang korban meninggal dan 217 orang terluka akibat tragedi ini.[9]

Salah satu kemirisan adalah ucapan dari Jaksa Agung S. T. Burhanuddin bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM yang Berat.[10] Tentunya, ucapan ini sangat menyakiti keluarga korban yang sampai sekarang masih bertahan meminta kejelasan siapa dalangnya, serta meminta keadilan agar dalang pembunuhan anaknya ditangkap dan diadili.

Tragedi keempat adalah pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Pembunuhan Munir terjadi di atas pesawat Garuda, tepatnya saat sedang mengudara di tengah-tengah Uni Eropa. Munir meninggal akibat diracun arsenik.

Berdasarkan data KontraS dalam buku Bunuh Munir, pembunuhan ini merupakan pembunuhan konspirasi dengan dilakukan sangat terencana dan sistematis, bahkan melibatkan aparatur negara. Salah satu buktinya adalah pernah disidangkannya Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi V BIN, meski pada akhirnya ia dibebaskan pengadilan.[11]

Berita terkait Komnas HAM akan mengategorikan pembunuhan ini sebagai pelanggaran HAM yang Berat masih belum terlalu jelas. Pengategorian kasus ini sebagai pelanggaran kemanusiaan berat, akan menghilangkan masa daluwarsa kasus ini, sebab bila tidak, setahun kasus ini akan dinyatakan daluwarsa.[12] Maka selanjutnya, pelaku intelektual atau dalangnya akan mendapatkan impunitas lagi dan lagi. Bertahun-tahun kasus ini berjalan yang ditangkap negara hanya pelaku lapangan. Padahal bukti di pengadilan sudah jelas-jelas menyebutkan banyak konspirasi. Tidak hanya itu, dokumen orisinal TPF bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai sekarang juga hilang dan belum ditemukan. Dugaan kuat mengenai dokumen TPF Munir tidak kunjung diungkap adalah karena di dalamnya banyak menyangkut kepentingan politik penguasa.[13]

Melihat kekejaman dan kepedihan tragedi di dalam September Kelam membuat saya mengambil kesimpulan: betapa kelamnya sejarah bangsa ini. September Kelam harus dijadikan sebuah kaca spion untuk belajar dari masa lalu sebagai bekal masa depan bangsa agar lebih baik lagi.

September Kelam juga harus menjadi pelajaran kepada bangsa Indonesia, pelajaran tentang arti pentingnya sebuah Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan keadilan. Mungkin jika saya bisa katakan sebagai "fakta yang pahit dalam sejarah", benarlah adanya, tetapi sebaliknya, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dan bangsa Indonesia ini menyikapi peristiwa-peritiwa kelam tersebut. Bangsa Indonesia harus menjadikannya sebagai acuan dan pedoman untuk bekal bangsa Indonesia melangkah di masa depan. Bangsa Indonesia harus melakukan rekonsiliasi atas segala stigmatisasi yang pernah ditorehkan oleh Orde Baru.

Bangsa ini harus terus belajar dan memahami sejarah!

Bangsa ini tidak boleh jadi pengecut!

Bangsa kita adalah bangsa yang berani, berani yang seperti apa?

Berani menegakan keadilan, berani menegakan hukum tanpa memandang golongan (SARA) dan relasi kuasa, berani berkata jujur, berani untuk tidak corrupt dalam pemerintahan, yang terakhir saya ingin katakan adalah: "Bangsa Indonesia harus berani mengungkapkan kebenaran yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya, walaupun kebenaran itu sangat pahit sekalipun."

Sebagai penutup saya ingin mengutip perkataan K. H. Abdurrahman Wahid, atau kerap disapa Gus Dur.

"Bangsa ini penakut, karena tidak mau bertindak kepada yang bersalah." 

Almarhum Gus Dur mengatakan hal itu dalam acara talk show di salah satu stasiun televisi nasional di Jakarta. Meski konteks yang beliau tujukan untuk menanggapi "pelengserannya", kiranya ucapan ini multidimensi dan multikonteks, sehingga sesuai dengan September Kelam yang dibahas dalam tulisan ini.

Referensi

BBC News Indonesia. "17 tahun Aksi Kamisan: Mengapa HAM tidak menjadi topik utama dalam Pilpres 2024?" BBC News Indonesia, 19 Januari 2024. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c2vyv26g7g5o.

---------. "Munir dibunuh 20 tahun lalu: Komnas HAM lanjutkan penyelidikan, periksa Suciwati dan Usman Hamid." BBC News Indonesia, 15 Maret 2024. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-68572838.

Bevins, Vincent. Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang. Disunting oleh Pradewi Tri Chatami. Jakarta: Marjin Kiri, 2020.

CNN Indonesia. "Jejak Dokumen TPF Pembunuhan Munir yang Masih Jadi Misteri." CNN Indonesia, 7 September 2021. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210907115738-20-690791/jejak-dokumen-tpf-pembunuhan-munir-yang-masih-jadi-misteri.

Damarjati, Danu. "Jaksa Agung Sebut Tragedi Semanggi Tak Langgar HAM, Jokowi Diminta Bereaksi ." Detiknews, 16 Januari 2020. https://news.detik.com/berita/d-4861539/jaksa-agung-sebut-tragedi-semanggi-tak-langgar-ham-jokowi-diminta-bereaksi.

Danang, Martinus. "Aksi Kamisan: Sejarah dan Perjuangan Melawan Lupa." Kompaspedia, 29 Februari 2024. https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/aksi-kamisan-sejarah-dan-perjuangan-melawan-lupa.

Efendi, Ahmad. "Sejarah Kasus Tanjung Priok: Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia." Tirto.id, 22 November 2021. https://tirto.id/sejarah-kasus-tanjung-priok-contoh-pelanggaran-ham-di-indonesia-giSf.

Firdausi, Fadrik Aziz. "Tragedi Semanggi II dan Suramnya Kasus Pelanggaran HAM oleh Aparat." Tirto.id, 24 September 2018. https://tirto.id/tragedi-semanggi-ii-dan-suramnya-kasus-pelanggaran-ham-oleh-aparat-c1ga.

Raditya, Iswara N. "Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam." Tirto.id, 12 September 2019. https://tirto.id/sejarah-tragedi-tanjung-priok-kala-orde-baru-menghabisi-umat-islam-cwpi.

Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.

---------. Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri, 2024.

Tim KontraS. Bunuh Munir. Jakarta: KontraS, 2006.

Tim Laporan Khusus Tempo. Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965. Jakarta: Tempo Publishing, 2013.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun