“Maaf, kami tak bisa menyelamatkan anak Anda. Dia kehilangan terlalu banyak darah, jantungnya berhenti berdetak, dan luka bakarnya terlalu parah.” Ucap dokter itu dengan berat hati, “Kami sudah melakukan usaha sebaik mungkin, namun anak Anda sudah tak bisa hidup lagi, Pak. Paru-parunya juga sesak karena asap, maafkan kami.” Setelah itu, sang dokter menunduk dan berbalik badan dengan penuh penyesalan.
“Bagaimana dengan Aminah, Dok?”
Sang dokter berhenti sejenak sebelum akhirnya menghembus nafas, “Aminah mengalami pendarahan pada otak dan......” Sang dokter memegang kepalanya seakan ingin menangis.
“Ia tak bisa hidup lagi.” Pak Imran hanya bisa terduduk lemas dan menatap atap.
Pak Imran sudah mengenal dengan dekat siapa Aminah. Baginya, Ghulam sudah memilih orang yang tepat karena Aminah adalah orang yang tetap ceria walau memiliki masa lampau kelam serta mencintai kesederhanaan.
Kata kunci ‘kesederhanaan’ mengingatkannya pada satu hal terakhir yang menjadi alasan Ghulam menikahi Aminah.
“Nak Ghulam,” Panggil Pak Imran, anaknya langsung berjalan mendekati beliau.
“Kau tahu jika Aminah seorang yatim piatu, bukan?” Ghulam mengangguk.
“Bapak hanya bisa memberimu sebuah nasihat: Nikahilah Aminah,”
Ghulam memiringkan kepalanya, bingung dengan alasan Bapaknya memerintahkan demikian.
“Bapak ingin kau tak hanya mencintai Aminah sedari kecil. Bapak tahu kalau dahulu Aminah sering dirundung sebelum menjadi bagian dari keluarga Bu Hasanah dan Bu Hasanah sendirilah yang memberitahu Bapak demikian, Bapak ingin kau membantu Aminah mencapai kebahagiannya karena memiliki orang yang mendukung hidupnya,”