Tentu semua orang ingat dengan video klarifikasi 'alasan kita putus' yang setahun lalu jadi bahan cibiran sejagaot maya. Jujur, saya tidak mengikuti cerita mereka. Jadi saya tidak terlalu mengerti alur dramanya.
Saya cuma tahu drama mereka dari akun jokes yang berseliweran di instagram. Sehingga yang muncul di pikiran saya adalah versi parody-nya saja.
Hal pertama yang terlintas di pikiran saya ketika melihat video klarifikasi tersebut adalah geli. Tapi saya mengerti kenapa ada orang yang baper dengan video itu. Mereka ikut berkomentar serius karena mungkin mengikuti perjalanan asmara mereka saat lagi bucin-bucinnya.
Tapi saya atau beberapa orang yang tidak mengikuti kisah cinta dua sejoli ini, justru merasa heran. Kenapa kabar putus mereka menjadi pembicaraan banyak orang padahal kalau diperhatikan konten yang di buat sangatlah tidak penting.
Untuk apa mengklarifikasi sebuah hubungan ke publik? Memangnya mereka siapa? Bahkan jika ada seorang artis papan atas sekalipun, saya rasa kurang etis jika sengaja mempertontonkan aib hubungannya sendiri. Terkecuali jika merasa diri mereka orang penting. Nah ini masalah utamanya.
Orang-orang yang sering kita lihat di Internet, youtube dan media sosial, dengan jumlah followers atau subscribers yang banyak biasanya merasa diri mereka orang penting. Mereka merasa bahwa dirinya adalah pusat perhatian banyak orang dan semua aspek dalam hidupnya pantas di bagikan ke publik.
Ada sebagian yang di anggap penting, tapi lebih banyak yang terlalu di penting-pentingkan. Saya tahu, mereka yang dikenal banyak orang bisa menjual kehidupan personal-nya sebagai konten untuk menghasilkan pundi-pundi uang. Dan itu sah-sah saja selama tidak ada pihak yang di rugikan.
Tapi bagi saya tidak semua hal harus di umbar-umbar juga. Orang-orang saat ini perlu berpikir dua kali jika ingin memposting sesuatu. Bukan hanya mengurangi potensi salah posting yang bisa jadi berujung konflik dan tejerat UU ITE, tapi potensi membuat orang lain terganggu juga harusnya di pikirkan.
Jika di dunia nyata kita punya rasa malu pada hal-hal yang private, maka seharusnya juga belajar untuk punya rasa malu yang sama ketika bermain media sosial. Kesadaran dari rasa malu itu pada prinsipnya adalah belajar untuk merasa diri tidak penting.
Bahkan ketika followers kita berjuta-juta sekalipun, penting bagi kita untuk merasa diri sendiri tidak penting. Kenapa? Karena itu bisa mendidik seseorang untuk tidak tinggi hati dan lebih waras dalam bermedia sosial. Sebab media sosial seperti yang banyak orang tahu sudah jadi sumber masalah psikologis.
Kita curhat ke media sosial kalau kita punya banyak masalah. Kita cerita dengan gamblang tanpa malu mengubar privasi. Kita merasa followers harus tahu kejadian apa yang menimpa kita selama 24 jam.
Padahal, sebagian orang mungkin tidak pernah peduli. Entah itu kehilangan foto mantan di dompet, kecipratan air comberan atau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, semua itu sebatas tragedi yang hanya dianggap biasa-biasa saja.
Sebetulnya kebanyakan orang akan lebih peduli pada dirinya sendiri daripada peduli pada masalah orang lain. Bukan karena egois, tapi memang begitu kenyataannya.
Jadi lebih baik kurang-kurangi membagikan hal-hal pribadi ke media sosial. Berhenti merasa diri kita penting padahal sebenarnya tidak. Kalau kita bisa merubah mindset dengan menganggap bahwa diri kita bukanlah orang yang penting, maka keinginan untuk berbagi hal-hal yang kurang ensesial akan berkurang dengan sendirinya.
Beberapa ahli psikologis pun sudah mengonfirmasi bahwa terlalu sering membagikan hal-hal pribadi ke media sosial justru beresiko menambah masalah. Kalau kita punya masalah, seharusnya di selesaikan dengan diri sendiri atau orang yang terkait langsung dengan masalahnya.
Jika kita mencari perhatian atas masalah kita, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa orang justru merasa risih, terganggu bahkan hanya mentertawakan dengan masalah yang kita ceritakan.
Sebagian orang mungkin merasa lega ketika masalahnya di ceritakan lewat media sosial, tapi media sosial bukan wadah yang baik untuk membuat kita lebih tenang dalam menghadapi masalah.
Jika kita punya masalah yang berat, berceritalah pada orang terdekat, menulis diary atau jurnal harian. Secara psikologis cara itu jauh lebih baik dibandingkan mengumbar aib ke media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H