Ada yang menarik dari isu politik yang baru-baru ini heboh. Karena ini menyangkut fanatisme sekelompok komunitas islam yang seringkali ikut campur dalam urusan politik praktis.
Sebutlah kelompok 212 beserta kalangannya yang sejenis, sebagian besar islam fundamental dan konservatif.Â
Dalam politik, seperti yang kita tahu mereka secara terbuka memberikan amanah kepada satu kubu politik yang menurut saya terlalu terkekung fanatisme.
Sampai ada kata-kata kurang lebih seperti ini, "Tidak apa-apa pemimpin pilihan kami tidak taat-religius, daripada pilihan anda sholat saja di pamer-pamerkan."Â
Mereka membandingkan sesuatu tidak pada tempatnya. Fanatisme membuat mereka buta pada yang bukan prinsip sehingga mentolerir apapun selama itu bukan dari kelompok yang mereka benci.
Akhirnya yang satu saling menunggangi kepentingan yang satunya lagi. Ingat kan ketika dua-satu-dua menarik dukungan dari Prabowo setelah pertemuannya dengan Jokowi?Â
Mereka kecewa setengah mati. Padahal pada kepentingan yang lebih besar, seharusnya mereka bangga karena berkat rekonsiliasi itu, suhu panas politik jadi mereda.
Ketika peneggakan hukum secara profesional bahkan tidak bisa membuktikannya, mereka tetap berdalih kecurangan terjadi secara masif. Seribu alasan dikeluarkan.Â
Padahal, sebagai kelompok yang mengaku religius, seharusnya mereka bisa menjawab sendiri kekecewaan itu, bahwa pemimpin pilihan mereka memang tidak di takdirkan Tuhan untuk menang. Selesai.
Kalau tetap tidak terima kekalahan, jangan koar-koar di ranah publik yang sebetulnya tidak akan merubah kondisi. Apa tidak ada kata "legowo" dalam kamus hidup mereka?
Setelah gonjang-ganjing sana-sini, muncul satu kabar politik yang mengejutkan. Ssbetulnya tidak mengejutkan bagi kita yang berprinsip bahwa dalam politik 'tidak ada yang teman abadi, yang ada kepentingan abadi.' Tapi bagi penganut fanatisme semua itu tidak berlaku.
Kabar tentang partai Nasdem yang menyatakan dukungannya untuk Mas Anies untuk pilpres 2024. Strategi politik yang bagian sebagian orang terburu-buru, tapi membawa kabar bahagia bagi siapa? Bagi mereka yang kemarin-kemarin ini mengatakan prabowo pengkhianat. Artinya mereka punya harapan untuk menaikkan lagi politik identitas yang kental.
Tapi seharusnya mereka jangan senang dulu. Mereka harus ingat kata-kata sang tokoh yang terobsesi banget sama khilafah.Â
Siapa lagi kalau bukan Felix Xiauw. Saya ingat ketika dia, dalam instagramnya 3 minggu lalu, memposting caption yang secara tersirat menandakan kekecewaannya pada langkah politik Prabowo yang memilih bertemu dengan Jokowi.
Begini isi caption di postingannya:
"Hanya Pada Allah
Kejadian-kejadian di negeri kita akhir-akhir ini, bagi saya seolah teguran dari Allah, yang seolah berkata:
Berapa kali sih kalian harus Aku ajarin, kalau kemenangan itu hanya dari Aku. Bukan dari siapa atau apa, bukan dari apapun
Udah Aku ajarin juga pas perang Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah, dan Hunain
bahwa jumlah, persiapan dan logistik bukan penentunya
Berapa kali harus Aku ingatkan, kalau kemenangan itu adalah ketaatan. Maka Aku kasih tau bahwa perjanjian Hudaibiyah
itu adalah kemenangan, meski kalian kita itu kalah
Bagi saya, seolah Allah bilang begitu pada kita semua. Mungkin ya, namanya juga perasaan, bisa bener bisa banget salah
Hanya aja, mungkin Allah ingin tunjukkan pada kita. Bahwa perjuangan itu mesti semurni-murninya. Bukan ngarep pada manusia yang pasti bikin kecewa, bukan memperjuangkan manusia yang pasti berubah
Semua ini anugerah Allah, agar kita kembali fokus dalam berdakwah, menegakkan agama, membina ummat, memperjuangkan ide Islam. Yang mungkin akhir-akhir ini terlalaikan
Manusia berubah, Islam tidak. Taat pada kebenaran dari Allah itulah menang, bukan membenarkan yang curang."
Caption itu disusul oleh ratusan komentar yang memperjelaskan konteks dari caption yang dia tulis. Itu merupakan bentuk kekecewaan atas kekalahan sang pro-khilafah karena merasa berada di pihak yang kalah. Tapi sebagai penegas, "kekalahan" yang di alaminya tidak dianggap sebagai kekalahan yang nyata.
Felix mengajak pendengar setia dakwahnya untuk berkaca bahwa dukungannya pada satu paslon adalah keliru. Ia secara tegas mengatakan dalam captionnya "perjuangan itu mesti semurni-murninya. Bukan ngarep pada manusia yang pasti bikin kecewa, bukan memperjuangkan manusia yang pasti berubah."
Dari apa yang ditulis Felix seharusnya bisa dijadikan pembelajaran bahwa tidak ada gunanya "menunggangi" Prabowo untuk kepentingan mereka sendiri. Toh kenyataanya Prabowo pun "menunggungi" mereka untuk kepentingannya meraup suara dari kalangan islam fundamental.Â
Kalau sudah begini, harusnya mereka sadar kalau banyak politisi-politisi saat ini yang dulu musuhan dan sekarang berkawan atau bahkan sebaliknya, dulu kawan, sekarang lawan, maka mereka mesti tahu kalau itu hal yang wajar-wajar saja dalam politik.
Dan ketika sekarang, mereka merasa Anies Baswedan ada di pihak fundamental, ya jangan senang dulu. Bisa jadi Anies pun "menunggangi" seperti halnya yang dilakukan Prabowo. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi dalam politik praktis.
Kan ujung-ujungnya jadi repot kalau harus melihat kenyataan ini. Mereka yang bilang Surya Paloh dengan TV-nya sebagai Metrotipu. Lah, sekarang Surya Paloh yang sangat mereka benci malah mendukung panutan mereka Anies Baswedan. Kalau sudah begini, apakah masih berani bilang Metrotipu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H