Singkat cerita, kami pun selesai mengerjakan UN yang berlangsung beberapa hari. Nah, di hari terakhir setelah kami selesai menyelesaikan UN, 2 wali kelas kami itu menyuruh kami kumpul di satu ruangan. Ruangan itu adalah ruangan kelas yang letaknya paling berdekatan dengan ruang kepala sekolah.
Kemudian 2 wali kelas kami beserta beberapa guru dan kepala sekolah ikut masuk, mereka hanya diam. ada juga satu guru yang hanya berdiam di tengah pintu seakan mengawasi. Lalu pak Atang bak seorang kapten berdiri sendiri di depan kami semua. Beliau berbicara sebagian rencana 'jahat' ini kepada kami. Lalu disusul bu Teti yang ikut menambahi pembicaraan pak Atang kepada kami.
Saya dan teman teman lainnya hanya mengangguk dan 'terpaksa' menerima mentah mentah semua skenario dan permainan mereka.
***
Ini adalah suatu pengalaman kecil saya yang paling diingat oleh saya, Sampai saat ini. Setelah 5 tahun lebih berlalu saya merasa kalau didikan kebongongan itu amat terasa. Bagaimana sekelompok guru membodohi saya dengan persengkongkolan itu.
Saya menyadari kalau hal-hal seperti yang pernah saya alami tersebut adalah tru story banyak pelajar, dari dulu, sekarang atau mungkin sampai tahun tahun berikutnya?
Ah, betapa mirisnya para oknum pendidikan ini. Demi mengejar predikat dan akreditasi yang baik, mereka menjadikan para siswanya seakan sebagai "tumbal" sekolah.
Bahkan tahun lalu saja, adik saya yang sedang melaksanakan UN berkata pada saya kalau kelasnya mendapat "serangan fajar" alias bocoran jawaban dari orang dalam (guru -red).
Sampai saya ingat pernah ada kakak kelas saya yang secara frontal mengatakan, 'UN mah jangan belajar! Nanti juga ada yang ngasih tau!'. Entah benar atau tidak perkataannya itu, saya tidak tahu.
Yang pasti tahun depan pun saya akan mengikuti UN juga. UN SMA yang siap tidak siap saya harus menghadapinya.
 sumber foto: chorysefrika149.blogspot.com