Kembali pada arti mahasiswa itu sendiri. Kata "Mahasiswa" nampaknya sederhana, hanya ada "Maha" dan "Siswa". Namun makna filosofis dari kata "Mahasiswa" itulah yang harus kalian pahami saat ini. Makna filosofis mahasiswa yakni apabila telah mampu melakukan sebuah perubahan, suatu pembaharuan dan perbaikan di pelbagai kehidupan. Aku teringat dengan tokoh filosof zaman pertengahan bernama Rene Descartes, ia mengatakan bahwa "Rasio Manusia dapat memahami alam semesta dan melakukan perbaikan untuk kesejahteraan manusia". Maka dalam hal ini, titik tolak atau nilai ideal seorang mahasiswa dapat dikatakan sebagai mahasiswa adalah jika ia telah mampu melakukan sebuah inisiasi atau gerakan yang mampu menimbulkan perbaikan, maka ia layak disebut "MAHASISWA".
      Sekarang kita lihat realita yang ada. Mahasiswa sudah tidak lagi susah dicari. Berbeda dengan zaman pra-kemerdekaan hingga kemerdekaan. Hanya ada beberapa pemuda maupun pemudi di kota-kota besar yang bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun dengan kuantitasnya yang tinggi, apakah mahasiswa saat ini bertanggung jawab terhadap label nya sendiri sebagai Agen of Change, Iron stock atau Social Control? Jawabannya, TIDAK.
      "Berikan aku 10 pemuda, niscaya kan ku guncangkan dunia" begitu sang fajar merah Bung Karno berkata. Kenyataannya sungguh sangat mengenaskan, saat ini bukan mahasiswa yang mengguncangkan dunia, melainkan dunialah yang mengguncangkan mahasiswa. Mahasiswa saat ini hanya sibuk berburu gelar, mengejar ijazah dan meramu karir saja. Bukankah "Agen Of Change" bertugas untuk kepentingan umum, kepentingan seluruh rakyat Indonesia?. Mereka hanya sebatas pergi, kuliah lalu pulang kembali ke kos, malamnya mereka habiskan untuk begadang yang tidak penting, kemudian diulangi keesokan dan seterusnya.
      Mereka terbawa arus zaman, regimentasi politik, nyali dan tekad yang tak lagi berani dan memilih menghindari sesuatu yang ditakuti. Tegas sekali bung Witji pernah berkata bahwa "Jika kita menghamba pada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan".
       Bukankah seorang Mahasiswa sejati konsisten memperjuangkan cita-cita luhur bangsa ini? Bukankah bagi mereka yang mengaku sebagai pejuang sejati tegak berdiri di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan serta secara jujur dan berani menyampaikan kritik-kritikannya atas dasar kemajuan bangsa. Jalanan menjadi panggung untuk tampil menyuarakan apa yang selama ini menjadi keluhan batin.
      Kaka meyakini jika mahasiswa baru memiliki semangat yang tinggi, idealisme yang kuat dan renjana yang terpampang dalam pikaran dan tindakan. Namun kita harus mampu merekonstruksi ulang pemahaman kita mengenai perbedaan antara label "Mahasiswa" dengan label "Siswa". Mahasiswa kritis senantiasa berdiskusi, berjibaku dengan buku dan kopi hingga bertukar argumentasi. Berbeda dengan siswa yang semua masih disediakan dan bermain menjadi keseharian.
      Hiduplah menjadi mahasiswa sebenarnya dik. Lawan fatamorgana makna dan kepalsuan identitas sebagai seorang mahasiswa. Kenali dirimu dan buatlah pergerakan untuk pembaharuan dan perbaikan. Kepentingan masyarakat menjadi fokus utama dibanding ketamakan diri. Hiduplah di kampus dengan merdeka seutuhnya, jangan mudah percaya dengan slogan, visi-misi dan jaminan yang menjanjikan.
      Tulisan ini kaka dedikasikan untuk seluruh aktivis mahasiswa yang memilih menjadi martir dan memutuskan berada di pihak yang terus melawan.
Hidup mahasiswa!!!!!!!!...
Hidup Rakyat Indonesia!!!!!!!.........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H