Pintu itu berdenyit nyaring. Kayunya hampir lapuk tapi jendelanya masih tampak bersih. Seorang wanita tua ke luar dari pintu tak bercat itu. Langkahnya sedikit goyah. Tangannya memegangi dinding kayu rumahnya secara perlahan agar bisa terus berjalan. Mengambil sapu lidi dan mulai membersihkan halaman depan rumahnya.
      Ayam jago milik tetangga terus berbunyi untuk membangunkan orang-orang. Seorang pria mengayuh sepeda onthel melewati depan rumahnya. Nampak wanita itu tak menyadarinya dan terus menyapu meski halaman sudah cukup bersih. Lalu mulai ada ayam lain yang mendekati halamannya. Dia mengusirnya dengan kasar karna tak ingin halamannya kotor kembali.
      Setiap hari aktivitasnya selalu sama. Bangun sangat pagi sekali dan membersihkan halaman depan rumahnya. Mengusir ayam-ayam tetangga yang melewati halaman dan terkadang menyisakan kotoran. Hal ini sangat mengganggunya. Meski punggungnya sakit sekalipun, jika wanita tua itu melihat halamannya kotor dia akan segera membersihkannya lagi. Tetangganya selalu heran dengan perilakunya itu. Sering menasehati agar tidak memaksakan diri apalagi jika sedang sakit membersihkan halaman, tetap saja wanita tua itu tak acuh.
      "Mbah, halamannya sudah bersih. Tak perlu dibersihkan kembali." Ucap salah satu tetangga yang berusaha menasehatinya.
      Rupanya wanita itu tak begitu dengar. Sehingga tetangga tadi berusaha meninggikan volume suaranya. Baru wanita tua mendengarnya. Hasilnya, sama sekali tak digubris.
      Bahkan ketika keluarganya datang berkunjung, dengan langkah goyah karna gugup dia menyambut mereka semua. Jalannya seperti akan jatuh ketika bertemu dengana orang-orang yang jarang dia temui saking gugupnya. Pendengarannya yang semakin lama menurun pun membuat mereka selalu meninggikan suara mereka ketika berbicara dengan dia. Tapi lihatlah, dia sangat senang. Bahkan dia repot-repot membuatkan minuman dengan langkah goyahnya dan salah satu cucunya menolaknya. Maksudnya dia yang akan membuatkan minuman.
      Anehnya ketika jalannya yang sempoyongan itu bahkan pernah jatuh, dia sama sekali tidak suka jika dituntun. Dia lebih suka melakukan semuanya sendiri. Pandangannya juga tak pernah lepas dari halamannya untuk mengusir ayam-ayam yang berkeliaran.
      Wanita tua itu tak tahu bahwa keluarganya datang untuk melayat tetangganya yang baru saja meninggal. Dia tahu saat pandangannya tak sengaja melihat ke samping rumahnya yang ramai dengan orang. Kemudian salah satu anaknya memberi tahunya lagi. Dia bingung untuk bereaksi seperti apa. Melangkah ke depan rumah untuk memastikan sendiri. Sayangnya jatuh sebelum sampai depan pintu dan cucunya dengan cepat menangkapnya.
      Saat malam semakin larut, dia tak bisa tidur sama sekali. Sesuatu mengalir disudut matanya. Dia menangis.
      Tetangga itu adalah temannya sendiri. Meski umurnya jauh lebih tua darinya, tetap saja dia menganggap bahwa Ratem adalah temannya.
      Hal yanng membuatnya menangis adalah fakta bahwa dia tak punya teman lagi. Satu persatu mereka mati dimakan usia mereka sendiri. Adapula yang karna penyakit yang diderita. Tapi dia tak menyangka bahwa seperih itu ditinggal sendiri. Kematian bukanlah sesuatu yang menyenangkan baginya. Melihat orang-orang di sekitarmu perlahan mati, bahkan banyak diantaranya yang usianya jauh lebih muda malah lebih mendahului. Dan itu sangat menyiksa. Seperti teman-temanmu pergi menuju tempat wisata untuk bersenang-senang, tapi hanya kamu yang sendiri. Kamu ditinggal. Hal itu yang dirasakan wanita tua itu. Kesepian yang sangat luar biasa.
      Satu minggu itu dia lewati dengan perasaan aneh dan juga kesepian.
      Kesepian membuatnya mengingat seseorang. Orang itu telah mendahuluinya lebih dari 25 tahun yang lalu. Padahal dia sering merasa sepi. Tapi tak pernah sesepi sekarang. Makanan yang dia kunyah juga terasa begitu sepa. Hambar. Baru sesuap tapi nafsu makannya sudah hilang terbawa asap dari pawon. Akhirnya makanan itu dia buang ke wadah bekas ember cat yang dibelah hingga setengah. Wadah itu sering digunakan untuk tempat makan ayamnya yang terkurung kurungan bambu. Ayam itu hanya duduk sembari memejamkan mata. Sudah terlalu bosan untuk berjalan di dalam kurungan bambu.
      Jikalau perasaannya kembali seperti itu, rokok akan membakar dadanya.  Meski terbatuk-batuk dia tetap melanjutkan rokok itu. Rokok linthing yang dia buat sendiri. Setidaknya pikirannya teralihkan.
      Sekarang dia jadi lebih sering sakit-sakitan. Entah tubuhnya yang menjadi rentan atau hatinya semakin lemah. Meski sakit dia tak mau menjadi orang yang sakit. Dia masih beraktivitas saaat pagi. Bedanya dia membuat kopi itu dari pagi. Sengaja dibuat digelas besar. Lalu ditutup dan dibiarkan. Kopi itu dibuatnya untuk dinikmati sepanjang hari, bukan untuk pagi itu. Dia memang lebih suka meminum kopi, tapi jumlah kopi yang dia konsumsi jadi lebih banyak. Keluarga khawatir. Pernah kopi itu sengaja disembunyikan. Tapi justru dia menjadi mogok makan dan akhirnya jatuh sakit lagi. Badannya jauh lebih sakit.
      Setelah membuat kopi dia akan menatap lurus ke halaman rumahnya. Entah menatap apa, tatapan itu begitu kosong dan sedih. Kemudian dia bangun dan mengambil sebuah kotak. Kotak kayu tua yang sudah lama tak dia buka. Meski dia tak begitu pandai membaca, tapi seseorang telah mengajarkan sebuah kata dan menuliskannya di surat itu. Dan dia membacanya lagi setelah sekian lama. Hatinya tersayat lagi. Pipinya kembali dihujani air mata. Dia menangis dalam diam. Lalu berdoa dan berharap doanya akan segera terkabul. Entah hari ini atau beberapa hari lagi.
      Keluarganya mengira dia yang sering sakit-sakitan karena kesehatannya melemah dan tubuhnya sudah rentan. Padahal kesepian itu yang sudah menggerogoti badannya perlahan. Semula ketika sakit dia masih bisa mengusir ayam-ayam yang ada di halamannya. Sekarang jangankan berjalan menuju halaman, untuk bangun saja rasanya begitu tersiksa dan air matanya merembes tanpa dia minta.
      Rumah itu tiba-tiba saja ramai dengan tangisan. Lantunan doa juga samar-samar terdengar dari isakan mereka. Sedangkan wanita itu sudah tak ada tenaga. Tak berdaya untuk menatap mereka. Mulutnya sudah kering karna tak bisa menutup. Bahkan Warti berteriak memohon agar jangan dulu mati. Sesungguhnya wanita itu tertawa. Bagaimana mungkin dia bisa meminta hal itu sedangkan dirinya sendiri harus melihat anaknya pergi mendahuluinya sebulan lalu? Perasaan itu masih terus berdiam ditubuhnya.
      Seseorang meminta agar semua yang di ruangan itu agar bisa mengikhlaskannya. Tidak. Tuhan menggeleng. Belum waktunya.
      Kamu tau apa yang menyakitkan?
      Kematian? Bukan.
      Setelah kematian? Bukan.
      Ketika tubuhmu sudah siap untuk mati, tapi jiwamu seakan menolak. Terus hidup dan menyiksamu. Itu yang wanita itu rasakan sekarang. Bahkan sekarang dia tak bisa melakukan apapun. Anak-anaknya yang lain bergantian menjaganya dan merawatnya. Segerombolan semut datang di tubuhnya sudah tak terasa sama sekali. Semut itu datang setelah dia minum susu manis dan tak sengaja berceceran disekitar mulutnya. Keluarganya begitu sakit melihat kondisi wanita itu.
      Ya, jawaban dari doa itu akhirnya berhasil dia dapat. Tepat jam 9 malam dia berbahagia dalam kesendirian. Tapi keluarganya begitu hanyut dalam duka. Hingga pada akhirnya, kematian yang menyenangkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H