Satu minggu itu dia lewati dengan perasaan aneh dan juga kesepian.
      Kesepian membuatnya mengingat seseorang. Orang itu telah mendahuluinya lebih dari 25 tahun yang lalu. Padahal dia sering merasa sepi. Tapi tak pernah sesepi sekarang. Makanan yang dia kunyah juga terasa begitu sepa. Hambar. Baru sesuap tapi nafsu makannya sudah hilang terbawa asap dari pawon. Akhirnya makanan itu dia buang ke wadah bekas ember cat yang dibelah hingga setengah. Wadah itu sering digunakan untuk tempat makan ayamnya yang terkurung kurungan bambu. Ayam itu hanya duduk sembari memejamkan mata. Sudah terlalu bosan untuk berjalan di dalam kurungan bambu.
      Jikalau perasaannya kembali seperti itu, rokok akan membakar dadanya.  Meski terbatuk-batuk dia tetap melanjutkan rokok itu. Rokok linthing yang dia buat sendiri. Setidaknya pikirannya teralihkan.
      Sekarang dia jadi lebih sering sakit-sakitan. Entah tubuhnya yang menjadi rentan atau hatinya semakin lemah. Meski sakit dia tak mau menjadi orang yang sakit. Dia masih beraktivitas saaat pagi. Bedanya dia membuat kopi itu dari pagi. Sengaja dibuat digelas besar. Lalu ditutup dan dibiarkan. Kopi itu dibuatnya untuk dinikmati sepanjang hari, bukan untuk pagi itu. Dia memang lebih suka meminum kopi, tapi jumlah kopi yang dia konsumsi jadi lebih banyak. Keluarga khawatir. Pernah kopi itu sengaja disembunyikan. Tapi justru dia menjadi mogok makan dan akhirnya jatuh sakit lagi. Badannya jauh lebih sakit.
      Setelah membuat kopi dia akan menatap lurus ke halaman rumahnya. Entah menatap apa, tatapan itu begitu kosong dan sedih. Kemudian dia bangun dan mengambil sebuah kotak. Kotak kayu tua yang sudah lama tak dia buka. Meski dia tak begitu pandai membaca, tapi seseorang telah mengajarkan sebuah kata dan menuliskannya di surat itu. Dan dia membacanya lagi setelah sekian lama. Hatinya tersayat lagi. Pipinya kembali dihujani air mata. Dia menangis dalam diam. Lalu berdoa dan berharap doanya akan segera terkabul. Entah hari ini atau beberapa hari lagi.
      Keluarganya mengira dia yang sering sakit-sakitan karena kesehatannya melemah dan tubuhnya sudah rentan. Padahal kesepian itu yang sudah menggerogoti badannya perlahan. Semula ketika sakit dia masih bisa mengusir ayam-ayam yang ada di halamannya. Sekarang jangankan berjalan menuju halaman, untuk bangun saja rasanya begitu tersiksa dan air matanya merembes tanpa dia minta.
      Rumah itu tiba-tiba saja ramai dengan tangisan. Lantunan doa juga samar-samar terdengar dari isakan mereka. Sedangkan wanita itu sudah tak ada tenaga. Tak berdaya untuk menatap mereka. Mulutnya sudah kering karna tak bisa menutup. Bahkan Warti berteriak memohon agar jangan dulu mati. Sesungguhnya wanita itu tertawa. Bagaimana mungkin dia bisa meminta hal itu sedangkan dirinya sendiri harus melihat anaknya pergi mendahuluinya sebulan lalu? Perasaan itu masih terus berdiam ditubuhnya.
      Seseorang meminta agar semua yang di ruangan itu agar bisa mengikhlaskannya. Tidak. Tuhan menggeleng. Belum waktunya.
      Kamu tau apa yang menyakitkan?
      Kematian? Bukan.
      Setelah kematian? Bukan.