Sudah senja. Sedari tadi aku menunggu dan tak kunjung ketemu. Aku sungguh cemas. Apa dia lupa pada janji temu hari ini? Atau dia ada sesuatu yang membuatnya tak bisa menemuiku terlebih dahulu? Kecemasanku sendiri membuatku gusar. Kuputuskan untuk terbang dan menyusuri semua pohon di sekitar sini berharap dia ada.
Baru saja hendak mengepakkan sayapku, seekor kupu-kupu yang tak jauh dari dahan tempatku hinggap sedang merenung bersedih. Kutanyakan saja apa yang membuatnya terlihat bersedih hingga seperti itu.
"Saat aku sedang menikmati bunga kertas tadi, aku melihat anak-anak yang senang melihat makanan yang dibawa ibunya di atas pohon mangga. Tak jauh dari situ, aku melihat sepasang burung sepertimu sedang mengobrol asik, hingga mereka tak mengetahui bahwa ada seekor anak burung tadi yang tidak kebagian makanan yang dibawa ibunya lalu merengek dengan keras. Kemudian ibunya kembali terbang mencari makanan agar anaknya tidak menangis lagi."
Aku sedikit terheran mendengar kupu-kupu biru ini. Mengapa dia bersedih atas orang lain? Apalagi dia sama sekali tak mengenal mereka.
"Lalu kenapa engkau bersedih? Apa kau tak jadi menikmati ranumnya bunga kertas tadi?"
Dia menggeleng pelan. Kepalanya pun semakin menunduk. Angin yang semula tenang tiba-tiba saja melambai hingga sayap kupu-kupu biru mengepak. Meski begitu, terlihat indah.
"Aku hidup dari seekor ulat gemuk yang jelek. Bahkan aku menjadi incaran burung-burung besar pemakan ulat atau serangga lain. Terkadang aku menemukan manusia yang begitu jijik dan terkesan ingin menginjakku. Tapi aku bertahan dan terus memakan berbagai daun yang membuat para petani atau seseorang yang merawat kebun kesal karna ulahku yang memakan daun sembarangan. Aku hampir mati karena obat anti serangga yang mereka buat salah satunya untukku.
Meski begitu aku harus hidup dengan memakan daun atau apapun agar aku menjadi ulat yang gemuk. Semakin aku gemuk aku akan menemukan suatu dunia yang tak pernah makhluk manapun rasakan termasuk manusia. Di sana aku begitu tenang tapi sedikit khawatir akan sesuatu yang menghancurkan duniaku itu atau aku yang tak cukup gemuk agar berhasil. Aku selalu berharap saat ke luar aku bisa berubah menjadi sesuatu yang indah atau mungkin menjadi tak kesepian lagi. Duniaku begitu buruk ketika menjadi ulat. Terseok-seok saat berpindah dari daun yang satu ke daun yang lain. Bahkan aku tak menemukan makhluk yang begitu kesepian selain aku. Beberapa hari kemudian saat aku ke luar dari duniaku itu, hidupku jadi sedikit berubah."
Aku sedikit tak mengerti perkataan kupu-kupu biru ini. Kuakui sayapnya begitu indah hingga aku terpesona. Aku berusaha untuk terus mendengarkan curhatan dari kupu-kupu biru ini.
"Apa yang berubah kupu-kupu biru?" tanyaku.
"Semua makhluk seperti tertuju akan keelokan sayapku. Bahkan terkadang aku melihat teman-temanku sengaja ditangkap manusia dan dijadikan hiasan atau membiarkan kami terkurung di taman buatan mereka."
"Lalu saat aku melihat anak dan ibu burung tadi, aku jadi teringat bahwa kupu-kupu diciptakan untuk hidup sendiri. Tanpa Ibu atau saudara. Hanya ada makanan dan menjadi kepompong. Saat kecil hingga nanti tertangkap makhluk lain juga sendiri. Tapi, apakah engkau pernah melihat kupu-kupu sedang bersama pasangannya? Sangat jarang. Karena mereka diciptakan tak selama burung-burung itu. Bukankah itu menyedihkan?"
Aku terdiam. Kupu-kupu juga terdiam. Tak ada yang menyela angin saat lewat. Kemudian kupu-kupu berterima kasih kepadaku karna mau mendengarkannya dan mengizinkanku untuk terbang. Aku menjadi lupa akan tujuanku tadi.
Mendengar ucapan kupu-kupu tadi aku jadi sedikit penasaran tentang burung tadi. Apakah ibunya menyadari bahwa anaknya ada yang terjatuh?
Bunga kertas dan pohon mangga. Kutelusuri wilayah terdekat sini yang memungkinkan ditumbuhi oleh tanaman tersebut. Aku merasa pernah melewatinya dan tidak jauh dari sini. Barangkali jika kutelusuri aku akan segera menemukannya.
Terlihat seekor ulat sedang memakan daun sendiri di atas pohon dengan lahap. Sangat gemuk dan bersemangat. Aku juga melihat kupu-kupu dan lebah yang saling bercengkerama di taman penuh bunga yang mekar. Mereka sedang asik menikmati bunga sembari menebar serbuk sari. Deretan bunga kertas, kupikir aku tidak jauh lagi.
Tak jauh dari bunga kertas, aku melihat pohon mangga yang sedang berbuah meski masih hijau. Beberapa ada yang hampir masak atau ada yang masih kecil-kecil. Di dekat buah yang sedang tumbuh ada tempat tinggal burung. Dan rupanya ada burung kecil-kecil di dalamnya. Syukurlah ibunya sudah kembali dan anaknya tidak rewel lagi.
Aku seperti mendengar sebuah suara yang tak asing. Kicauan burung ini. Saat kuberpaling ke dahan selanjutnya, aku tak lagi terkejut. Barangkali dia memang melupakan janji itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H