"Lalu saat aku melihat anak dan ibu burung tadi, aku jadi teringat bahwa kupu-kupu diciptakan untuk hidup sendiri. Tanpa Ibu atau saudara. Hanya ada makanan dan menjadi kepompong. Saat kecil hingga nanti tertangkap makhluk lain juga sendiri. Tapi, apakah engkau pernah melihat kupu-kupu sedang bersama pasangannya? Sangat jarang. Karena mereka diciptakan tak selama burung-burung itu. Bukankah itu menyedihkan?"
Aku terdiam. Kupu-kupu juga terdiam. Tak ada yang menyela angin saat lewat. Kemudian kupu-kupu berterima kasih kepadaku karna mau mendengarkannya dan mengizinkanku untuk terbang. Aku menjadi lupa akan tujuanku tadi.
Mendengar ucapan kupu-kupu tadi aku jadi sedikit penasaran tentang burung tadi. Apakah ibunya menyadari bahwa anaknya ada yang terjatuh?
Bunga kertas dan pohon mangga. Kutelusuri wilayah terdekat sini yang memungkinkan ditumbuhi oleh tanaman tersebut. Aku merasa pernah melewatinya dan tidak jauh dari sini. Barangkali jika kutelusuri aku akan segera menemukannya.
Terlihat seekor ulat sedang memakan daun sendiri di atas pohon dengan lahap. Sangat gemuk dan bersemangat. Aku juga melihat kupu-kupu dan lebah yang saling bercengkerama di taman penuh bunga yang mekar. Mereka sedang asik menikmati bunga sembari menebar serbuk sari. Deretan bunga kertas, kupikir aku tidak jauh lagi.
Tak jauh dari bunga kertas, aku melihat pohon mangga yang sedang berbuah meski masih hijau. Beberapa ada yang hampir masak atau ada yang masih kecil-kecil. Di dekat buah yang sedang tumbuh ada tempat tinggal burung. Dan rupanya ada burung kecil-kecil di dalamnya. Syukurlah ibunya sudah kembali dan anaknya tidak rewel lagi.
Aku seperti mendengar sebuah suara yang tak asing. Kicauan burung ini. Saat kuberpaling ke dahan selanjutnya, aku tak lagi terkejut. Barangkali dia memang melupakan janji itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H