Panasnya politik lokal di Jakarta telah membakar banyak hal. Persahabatan. Pertemanan. Rasa persaudaraan. Kita sedang berjalan dengan langkah pasti menuju jurang perpecahan dengan mengatasnamakan hal yang begitu sensitif. Agama.
Sepertinya, kita perlu menengok kembali kisah-kisah inspiratif tentang merawat kerukunan beragama dan antarumat beragama. Saya menemukan kisah singkat tentang umat Muslim yang menebar rasa persaudaraan.
Dalam sebuah berita di merdeka.com edisi 13 Juni 2016 yang berjudul “5 Kisah Sejuk Muslim Bantu Pembangunan Gereja di Pelbagai Negara”, kita mendapati umat Islam yang membantu pembangunan gereja di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Kisah itu menawarkan kepada kita tentang manisnya hidup berdampingan kendatipun dengan pijakan keyakinan yang berbeda. Ada banyak kisah sejenis yang ditunjukkan umat Islam terhadap saudaranya yang beragama lain.
Di sisi lain, pun begitu banyak sebaran kisah sejuk yang ditunjukkan oleh mereka yang non-Muslim. Salah satunya, kisah tentang sahabatku ini.
Saya akan menulis tentang sahabat non-Muslimku tanpa menafikan pesan-pesan damai yang dibawa oleh saudara Muslimku. Keharusan berbuat baik terhadap saudara yang tak sekeyakinan tidak lantas menegasikan sikap kritis yang proporsional atas saudara sekeyakinan.
Saya merasakan gejala “toleransi” yang konstruksinya mengusik rasa keadilan. Atas nama menjaga kerukunan dengan saudara lain agama, kita lantas tidak lagi proporsional mengkritisi saudara seagama. Saya membaca kenyinyiran di dalamnya, alih-alih menjaga ukhuwah sesama Muslim.
*** *** ***
Di penghujung tahun 2005 hingga awal 2006 yang lamanya sekitar empat bulan, saya dikirim oleh kantor tempatku bekerja untuk bertugas di Jakarta. Saya tidak sendirian. Ada tiga kawan lain dari berbagai daerah yang sama-sama ditugaskan di kantor pusat. Seorang mewakili “biro” Batam, satu dari Lampung, dan satunya dari Banjarmasin. Saya sendiri mewakili Makassar.
Itu adalah kali pertama saya ke Jakarta dan langsung menetap dalam waktu cukup lama. Oleh kantor, saya disewakan kamar pada sebuah rumah dimana pemiliknya tinggal bersama-sama di rumah itu. Keluarga beretnis Betawi. Tempatnya dekat dengan kantorku. Ditempuh hanya dengan berjalan kaki beberapa menit.
Di kantor, saya dengan tiga teman tadi menempati lantai dua bersama dengan karyawan lain. Mayoritas laki-laki. Hanya beberapa yang perempuan. Salah satu dari perempuan yang sedikit itu, saya mengenali seorang perempuan tomboi berambut lurus dipotong pendek. Rajin. Cekatan. Bicaranya sedikit.
Suaranya terdengar melengking-lengking. Nadanya hangat dan selalu diiringi senyum tatkala berbincang dengan orang lain. Ringan tangan. Saya menyebutnya orang yang memiliki jiwa sosial tinggi. Namanya Yenny.
Di keseharian, kami jarang berinteraksi dalam hal pekerjaan karena dia di bagian yang berbeda. Ada hal yang saya kenali dari kebiasaannya. Dia suka bawa makanan kecil ke kantor. Entah kenapa, dia kerap menyimpan sebagian di atas mejaku. Khusus untukku. Gara-gara itu, kawan-kawan lain sering meledekku.
Saban hari, seringkali penjual rujak mangkal depan kantor kami. Saya suka nenasnya. Kalau abang rujak itu mangkal, saya hanya pesan nenasnya. Tidak buah lainnya. Barangkali Yenny mengetahui kebiasaanku. Di suatu waktu, tanpa kusangka-sangka dia membelikanku “rujak” nenas sepiring penuh.
Saya pun sedikit mencari tahu siapa anak ini. Oh, ternyata dia berasal dari keluarga beretnis Cina. Seorang Kristen. Saya tak menyangka dia beretnis Cina. Matanya bulat, tidak sipit. Kulitnya pun tidak putih-putih amat. Kalau agamanya saya sudah duga sebelumnya. Yenny sudah punya kekasih.
Di suatu kesempatan saya mencandainya. Kamu Cina palsu, kataku. Mana ada Cina kulitnya coklat. Mana ada Cina matanya bello’. Kosakata bello’ itu kudapatkan darinya. Dia sendiri yang mengakui kalau matanya bello’. Dia hanya terkekeh mendengar ledekanku.
Pada suatu hari, saya mendapat telepon dari orangtua di kampung tentang persoalan keluarga yang menyangkut keuangan. Saya diminta untuk menyelesaikannya. Masalah itu kuceritakan ke Yenny. Tidak banyak cerita, dia bersedia membantu. Saya menyatakan, saya tidak bisa mengembalikannya dalam waktu cepat. Dia bilang tak masalah. Duh, saya sangat berutang budi padanya.
Peristiwa lain yang begitu membekas di hatiku ketika kepulanganku. Saya kesulitan membawa pulang dua kardus besar buku yang kuperoleh dari bursa buku murah. Dia menawarkan bantuan. Dia akan mengirimkannya lewat jasa pengiriman. Dia menolak menerima uangku untuk jasa pengiriman itu meskipun saya bersikeras memberikannya.
Ketika kembali ke Makassar, kami masih kerap berkomunikasi meskipun tidak rutin. Sesenggangnya saja. Dan pada suatu waktu dia mengabarkan kalau dirinya sakit. Sudah berulangkali melakukan pengobatan tapi penyakitnya tak juga membaik.
Saya pernah melihat di media sosialnya dia berfoto dengan temannya. Tubuhnya sudah begitu ringkih. Saya trenyuh melihatnya. Hingga saat itu, saya belum mampu mengembalikan utangku. Dia juga tak pernah meminta, meskipun tatkala kuminta nomor rekeningnya untuk mengiriminya kelak, dia memberikannya. Tetapi hingga beberapa waktu lamanya, saya belum juga memiliki kelapangan untuk itu. Dia pun tidak pernah menyinggung hal itu.
Saya lalu kehilangan kontaknya. Media sosialnya tak lagi update. Selama beberapa lama tak terdengar kabar beritanya. Lalu tiba-tiba berita duka tentangnya muncul dari kawan-kawan sekantornya. Yenny meninggal dunia. Saya sedih sekali sekaligus merasa bersalah.
Jangankan berbuat baik kepadanya, membayar utangku saja saya belum melakukannya hingga dia meninggal. Selama beberapa waktu setelah meninggalnya barulah saya mampu membayarnya namun kepada siapa saya mengirimkannya. Saya tidak punya kontak apapun dengan keluarganya. Saat itu, saya sudah berkeluarga dan telah menetap di Kendari.
Seorang sahabat saya yang kala itu juga bertugas di Jakarta di kantor yang sama dan cukup akrab dengan Yenny, kuhubungi. Kusampaikan maksudku sekaligus meminta tolong agar dia bersedia membawakan sejumlah uang itu ke keluarganya. Juga kutitipkan, rasa bela sungkawa, mohon maaf baru bisa membayar utang, sekaligus ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya.
Dari cerita sahabatku yang kini bermukim di Amerika Serikat bersama suaminya, keluarga Yenny terharu dan bercerita banyak tentang kebaikan-kebaikan Yenny semasa hidup.
Di tengah toleransi yang sedang diuji ini, saya kembali mengenang beningnya hati Yenny. Gadis periang yang selalu menebar senyum. Bahkan ketika sakitnya pun, saya masih merasakan keriangannya.
Tuhan mengambilnya cepat. Saya merasa perlu mendoakannya semoga Yenny menempati surga Tuhan bersama dengan orang-orang yang memiliki kebeningan hati dan ketulusan jiwa. Saya mencoba belajar darimu, sahabatku.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H