Saban hari, seringkali penjual rujak mangkal depan kantor kami. Saya suka nenasnya. Kalau abang rujak itu mangkal, saya hanya pesan nenasnya. Tidak buah lainnya. Barangkali Yenny mengetahui kebiasaanku. Di suatu waktu, tanpa kusangka-sangka dia membelikanku “rujak” nenas sepiring penuh.
Saya pun sedikit mencari tahu siapa anak ini. Oh, ternyata dia berasal dari keluarga beretnis Cina. Seorang Kristen. Saya tak menyangka dia beretnis Cina. Matanya bulat, tidak sipit. Kulitnya pun tidak putih-putih amat. Kalau agamanya saya sudah duga sebelumnya. Yenny sudah punya kekasih.
Di suatu kesempatan saya mencandainya. Kamu Cina palsu, kataku. Mana ada Cina kulitnya coklat. Mana ada Cina matanya bello’. Kosakata bello’ itu kudapatkan darinya. Dia sendiri yang mengakui kalau matanya bello’. Dia hanya terkekeh mendengar ledekanku.
Pada suatu hari, saya mendapat telepon dari orangtua di kampung tentang persoalan keluarga yang menyangkut keuangan. Saya diminta untuk menyelesaikannya. Masalah itu kuceritakan ke Yenny. Tidak banyak cerita, dia bersedia membantu. Saya menyatakan, saya tidak bisa mengembalikannya dalam waktu cepat. Dia bilang tak masalah. Duh, saya sangat berutang budi padanya.
Peristiwa lain yang begitu membekas di hatiku ketika kepulanganku. Saya kesulitan membawa pulang dua kardus besar buku yang kuperoleh dari bursa buku murah. Dia menawarkan bantuan. Dia akan mengirimkannya lewat jasa pengiriman. Dia menolak menerima uangku untuk jasa pengiriman itu meskipun saya bersikeras memberikannya.
Ketika kembali ke Makassar, kami masih kerap berkomunikasi meskipun tidak rutin. Sesenggangnya saja. Dan pada suatu waktu dia mengabarkan kalau dirinya sakit. Sudah berulangkali melakukan pengobatan tapi penyakitnya tak juga membaik.
Saya pernah melihat di media sosialnya dia berfoto dengan temannya. Tubuhnya sudah begitu ringkih. Saya trenyuh melihatnya. Hingga saat itu, saya belum mampu mengembalikan utangku. Dia juga tak pernah meminta, meskipun tatkala kuminta nomor rekeningnya untuk mengiriminya kelak, dia memberikannya. Tetapi hingga beberapa waktu lamanya, saya belum juga memiliki kelapangan untuk itu. Dia pun tidak pernah menyinggung hal itu.
Saya lalu kehilangan kontaknya. Media sosialnya tak lagi update. Selama beberapa lama tak terdengar kabar beritanya. Lalu tiba-tiba berita duka tentangnya muncul dari kawan-kawan sekantornya. Yenny meninggal dunia. Saya sedih sekali sekaligus merasa bersalah.
Jangankan berbuat baik kepadanya, membayar utangku saja saya belum melakukannya hingga dia meninggal. Selama beberapa waktu setelah meninggalnya barulah saya mampu membayarnya namun kepada siapa saya mengirimkannya. Saya tidak punya kontak apapun dengan keluarganya. Saat itu, saya sudah berkeluarga dan telah menetap di Kendari.
Seorang sahabat saya yang kala itu juga bertugas di Jakarta di kantor yang sama dan cukup akrab dengan Yenny, kuhubungi. Kusampaikan maksudku sekaligus meminta tolong agar dia bersedia membawakan sejumlah uang itu ke keluarganya. Juga kutitipkan, rasa bela sungkawa, mohon maaf baru bisa membayar utang, sekaligus ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya.
Dari cerita sahabatku yang kini bermukim di Amerika Serikat bersama suaminya, keluarga Yenny terharu dan bercerita banyak tentang kebaikan-kebaikan Yenny semasa hidup.