Tapi bagi anak-anak muda polos dan lugu yang menyandang predikat mahasiswa baru, pukulan itu telah merontokkan nyali. Tujuannya, agar tidak melawan senior. Agar kelak tidak kurang ajar terhadap kakak tingkatnya. Supaya tetap menunduk-nunduk dan bertabik-tabik ketika lewat di depan mereka.
Tak urung sentuhan fisik itu kerap meminta korban. Saya salah satunya. Banyak rekan seangkatan dan seniorku yang tak tahu bahwa saya menjadi korban sebuah tempelengan yang mengakibatkan gendang telinga saya menipis. Secara medik, hal itu baru saya tahu dua tahun lalu.
Dokter mengatakan gendang telinga saya menipis, jadi harus ini-itu agar tetap berfungsi dengan baik. Katanya, pernah kena trauma. Saya tahu pasti, tempeleng keras delapan belas tahun lalu itu penyebabnya. Membuat telingaku berdenging dan sakitnya kuderita selama seminggu. Saya sempat ke dokter yang begitu marah setelah tahu bahwa itu akibat ditempeleng senior.
Cedera yang kualami sempat membuat semangatku untuk berkuliah pudar. Saya tidak mau mengikuti proses penerimaan mahasiswa baru yang dihelat oleh senior-senior itu. Saya ingin membalas dengan caraku. Cara singkat. Luka dibalas luka. Tahu tidak, saya mempersiapkan badik saat itu. Untuk si penempeleng.
Ayahku dikabari dari kampung supaya datang. Membujukku agar tetap mengikuti seluruh “prosedur” dan “prosesi” penerimaan mahasiswa baru. Saya melunak. Tapi kusimpan marahku. Menunggunya meledak. Seiring waktu, dendam dan amarah itu mereda. Lenyap kendati tak pernah terlupakan.
Senior penempelengku pun telah kumaafkan. Dia barangkali tak pernah tahu bahwa tangannya telah mencederai orang. Tempeleng yang dilayangkannya pun akhirnya kumaknai sebagai sebuah proses dalam rangka pencarian pijakan-pijakan ideologis yang kelak menjadi pondasi berkehidupan.
Tapi tindakan kekerasan dan sentuhan-sentuhan fisik terhadap mahasiswa baru tetap kutolak. Meski di tahun berikutnya, saya mewarisi aksi itu ke adik-adik tingkatku. Saya melakukannya dengan setengah hati. Saat itu, saya masih dendam. Tapi kenapa harus orang-orang ini yang menjadi pelampiasanku?
Sistem kaderisasi macam apa yang kita lestarikan ini, yang nyaris saja membuat seseorang menjadi kriminal. Saya nyaris saja menjadi kriminal dengan menikam seseorang. Dan untung, saya bukan bagian dari mahasiswa yang mati karena dipelonco. Penghormatan dan rasa segan terhadap senior memang kental. Sayangnya, lahir dari rahim feodalistik.
*** *** ***
Opspek dengan kekhasan perpeloncoan dan kekerasan fisiknya akhirnya dihapus. Perguruan tinggi yang menghapusnya. Di sejumlah kampus, mahasiswa masih menolak. Mereka masih menikmati “serunya” mengerjai adik-adik tingkatnya. Kekuasaan memang membius.
Di beberapa kampus, perpeloncoan diperparah dengan menciptakan lahan pemerasan bagi mahasiswa senior atas adik-adiknya. Tidak sekadar menyuruh mereka berdandan aneh-aneh, berguling-guling, merangkak, atau jalan jongkok. Mereka juga dipalak. Uangnya dimintai. Ini kelewatan.