Sampai di sini, ternyata begitu banyak pemimpin yang belum bisa menjadi pembeda, pembaharu, inovator dalam perencanaan dan pembangunan daerah. Yang terjadi adalah ironi bangsa beradab karena ada belasan Gubernur dan ratusan kepala daerah/kota yang terbelit kasus korupsi dan mendekam di sel KPK. Kita mengetahui ini tapi kita hanya bisa berdoa saat sadar dan menghujat saat tak bisa meredam emosi sosial.
Tantangan Jokowi-JK adalah tumpulnya pisau perencanaan pada beberapa Kementerian dan Lembaga, pada 30an Gubernur yang belum mampu menunjukkan kecemerlangan gagasan dan agenda perubahan. Pada ratusan pemimpin kota dan kabupaten yang masih sulit memberikan layanan paripurna ke rakyatnya. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan perencanaan partisipatoris itu sebagai ruang bersama tanpa harus dikerangkeng oleh capaian-capaian fisik atau 'tugu perayaan belaka'.
Jika membaca idealitas perencanaan pembangunan nasional yang meniscayakan perencanaan teknokratis dan partisipatoris, maka ada pintu perencanaan lain yang nampaknya mengganggu kejernihan agenda perubahan, yaitu pendekatan politis (berbasis parlemen).Â
Pendekatan yang berkerumun di kepala para kepala daerah. Yang mendekati para pemimpin tidak dengan argumentasi komprehensif dan ril pada realitas masyarakat dan lingkungannya tetapi lebih pada kepentingan politis terbatas, sektarian, merajakan konstituen partai dan nyaris penuh kongkalikong.
Banyaknya kritik pada program-program nasional yang melekat di Nawa Cita seperti anggapan bahwa pembangunan infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, jembatan sebagai sekadar buang-buang anggaran adalah bukti bahwa perencanaan pemerintah belum merefleksikan semangat bertemunya top down dan bottom up, belum mengawinkan pendekatan teknokratis dan partisipatoris.
Kawasan Ekonomi Khusus, Pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata, hingga pembangunan jalan lebar dan panjang di Sumatera dan Papua sejatinya dapat menyadarkan kita untuk melihat apakah representasi isu spesifik kawasan/daerah telah bersebangun dengan hasrat perubahan teknokratis yang banyak diperankan oleh Jakarta. Apakah kondisi makro, mikro dan kemampuan keuangan sudah senapas. Jangan-jangan lebih banyak menabung beban utang untuk generasi? Sementara perekonomian lokal tak menggeliat sebab warga desa lebih nyaman merokok di halaman rumah ketimbang ke kebun atau ke lautan luas.
Apapun itu, sejatinya, pisau-pisau bedah perencanaan para pemimpin yang ada dapat menyisir dan memutuskan relung-relung persoalan, menebas penghalang akses dan pengalokasian sumber daya dengan cekatan.
Kita mafhum bahwa lain daerah lain pula persoalannya, lain provinsi lain pula selera Gubernurnya, lain kabupaten/kota lain pula kehendak pemimpinnya. Tapi tentu kita bisa jamin bahwa ujung-ujungnya adalah visi kesejahteraan berbasis kemanusiaan dan moralitas yang terjaga, bukan?
Perencanaan bisa jadi permainan kata-kata, bisa Nawa Cita, Poros Maritim, blusukan atau apapun, tak apa selama rakyat didengar dan dilibatkan dalam menyusun rencana aksinya.
Jika melihat proses perencanaan konvensional sejauh ini, dari Musrenbangdesa hingga Musrenbangnas, harapan itu sepertinya serupa jauh panggang dari api. Dana desa dikuras, kepala desa diterungku, APBD defisit, APBN tekor, investasi melemah. Singkat kata, keberhasilan pembangunan belum selesai hanya dengan blusukan semata.
Tepuk tangan di ruang-ruang pertemuan dan rilis rapi statistik pembangunan bernama RPJMN, PRPJMD hingga RKP hanya bagus di sampul, isinya belum menggetarkan relung hati rakyat, dari Pulo Aceh hingga Pulau Brass di Papua sana.