Dengan blusukan, amarah demonstrasi ratusan PKL Kota Soto bisa dilemaskan dengan senda gurau di meja makan. Â
"Saya ajak makan dulu, lalu sampaikan rencana," begitu kikira tutur Jokowi saat merefleksikan pengalamannya sebagai Walikota Solo pada Youtube. Dengan mempraktikkan kesabaran, ketenangan, kejenakaannya, Jokowi berhasil mengubah interior hati, aura dan membetulkan gerak tangan pelayanan birokrasi di Solo.
Dengan blusukan, Jokowi bisa membaca realitas, dengan bersitatap dengan warga dia bisa mendengar apa yang dialami dan diharapkan warganya. Data dan informasi inilah yang dijadikan alas dalam perencanaannya. Didatalah jumlah PKL, dipersuasi untuk relokasi, diajak bicara dari hati ke hati, di meja makan, di pasar-pasar, di taman-taman kota.
Bebaris kisah sukses berhasil menghantar Jokowi membacakan ikrar Nawa Cita di Sunda Kelapa dan memilik diksi Poros Maritim sebagai urat kata.
Teori-teori perencanaan menyebutkan bahwa pemimpin yang baik memang harus memetakan kondisi spesifik (micro pictures) organisasi dan kewilayahannya. Ini merupakan hal fundamental sebelum melangkah ke konsideran kedua, kondisi umumnya (macro pictures). Pada situasi eksternal dan makronya.
Jika dikaitkan dengan perencanaan pembangunan, baik itu lokal, domestik, level-level administasi maupun internasional maka konsideran ketiga ada anggaran---kalian pengambil kebijakan, perencana, periksa isi kantongmu, lihat kapasitasmu.
Jokowi atas sokongan Jusuf Kalla paham persis bahwa Negara harus hadir di tengah kompleksitas sebagai bangsa maupun sebagai bagian dari dunia yang serba terhubung ini maka regulasi dan kebijakan harus berpihak ke rakyat. Dasarnya pada pembacaan makro-mikro itu, alas yang kemudian mengarahkan Indonesia pada pentingnya kedaulatan dan marwah bangsa sebagai Negara Maritim.
Kita kemudian melekatkan Jokowi dengan Poros Maritim tanpa mengesampingkan agenda-agenda utama lainnya seperti demokrasi dan reformasi Pemerintahan.
Jika ada yang menyita perhatian dari agenda Jokowi terkait Nawa Cita maka itu adalah kehendaknya untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, Â lihat Nawa Cita bagian 3, dan upaya memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga, lihat Nawa Cita 9.
Nawa Cita ketiga menegaskan hasrat untuk membangun dari titik-titik sumber daya alam dan manusia. Bukan pada kota. Bukan pada asing. Bukan utang, bukan pada belas kasih dan main mata dengan asing.
Pola 'perubahan terencana' yang diusung Jokowi-JK memotret Indonesia sebagai Negara kaya terbaca sebagaimana disebutkan di Nawa Cita itu, pada desa-desa, pada pulau-pulau kecil terluar. Itu artinya, sebagai bagian penting dalam perencanaan pemahaman akan kondisi spesifik Indonesia di desa-desa, di pesisir, di pulau-pulau sangatlah fundamental untuk diketahui dan diperiksa dengan saksama.