Seperti kita tahu, belakangan ini cantrang merupakan alat tangkap utama nelayan di Jawa Tengah. Ditaksir hingga 80 persen. Besarnya peluang hasil tangkapan menjadi alasan mengapa ini menjadi pilihan utama pemilik modal, investor dan pengusaha-pengusaha papan atas di Pantura hingga Jakarta. Meski kemudian, Pemerintah memilih untuk melarangnya karena pertimbangan keadilan sosial dan keselamatan lingkungan. Hal yang oleh politisi sekelas Cak Imin bahwa kebijakan tersebut tak berpihak ke nelayan cantrang sebagaimana ditunjukkan di Tegal itu.
Isyarat dari Masalembu
Nun jauh, di antara ujung timur Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan bagian selatan, di Pulau Masalembu, di pulau yang perairannya pernah melumat KM Tampomas 2 dalam perjalanan dari Jakarta ke Sulawesi tahun 1981 itu, ratusan nelayan setempat menunjukkan sikap berbeda; cantrang merusak wilayah usaha perikanan mereka. Cantrang mengambil semua---tak  menyisakan harapan untuk nelayan kecil dan generasi mereka.
'Cantrang Barang Haram bagi Orang Pulau." "Tolak Cantrang untuk Kesejahteraan Nelayan Tradisional." "Cantrang Menghancurkan Masa Depan Orang Pulau." Adalah sebagian pesan penolakan dari nelayan Pulau Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur sebagaimana dirilis Detik.
"Itu salah satu bentuk dukungan nelayan Pulau Masalembu terhadap pelarangan cantrang. Warga dengan inisiatifnya sendiri membuat petisi. Membentang spanduk dan bikin graffiti," sebut Darul yang mengaku di dirinya mengalir darah Madura, Bugis dan Mandar asal Sulawesi ini.
"Ini juga isyarat kepada Presiden Jokowi bahwa urusan cantrang ini berkaitan dengan hajat hidup nelayan kecil, nelayan yang juga memilih Jokowi-JK di Pilpres lalu," tambah mantan saksi saat pelaksanaan Pilpres tahun 2014 ini sekaligus Ketua Komisi I DPRD Sumenep ini.
Perlawanan sosial dari Pulau Masalembu tersebut beralas pada kekhawatiran dari beragamnya jenis ikan yang ditangkap oleh armada cantrang ini. Ikan-kan dasar, ikan demersal dengan mudah ditangkap. Udang, patek, kuniran, manyung, utik, bawal, gulamah, kerong-kerong, patik, sumbal, layur, remang, kembung, cumi, kepiting, rajungan hingga cucut dan pari. Karenanya, pada beberapa lokasi terjadi konflik hebat seperti di Kota Baru, Kalimantan Selatan serta di perairan Sumenep.
"Konflik terakhir itu tahun 2014, ketika ada kapal cantrang ditahan warga dan diingatkan untuk tidak datang lagi. Tapi kemudian mereka datang lagi," kata Darul yang mengenakan baju lengan panjang warna merah kombinasi hitam ini.
Menurut Darul, aturan pelarangan cantrang sudah tepat. Nelayan Masalembu yang umumnya beralat tangkap jaring sederhana (pajala), terusik karena wilayah operasi mereka dirambah oleh nelayan-nelayan cantrang dari Pantura yang dianggap merusak kolom dan dasar wilayah eksploitasi mereka. Tidak jarang warga Masalembu menahan armada cantrang yang nekat beroperasi.
Darul mengatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berhasil menempuh beberapa langkah strategis dan penting untuk masa depan bangsa. Moratorium izin kapal, telah membantu nelayan kecil, masyarakat pulau. Kebijakan yang tepat karena menjaga negara dari pencurian ikan dari kapal asing. Darul paham bahwa urusan cantrang ini butuh proses dan waktu sebab tidak mungkin menyelesaikan dalam waktu singkat.