Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menteri Susi: "Kelautan is Everything!"

17 Juli 2017   07:34 Diperbarui: 17 Juli 2017   15:18 1644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susi pada acara HBH ILUNI (15/7, foto Kamaruddin Azis)

Postingan reflektif di Kompasiana terkait speech Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti di seminar Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), (4/12/2015) di Jakarta rupanya dibaca olehnya. Kalian yang mengaku blogger pasti bangga, iya kan? Nah, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada 14 Juli 2017, sebuah pesan masuk via Whatsapp ke saya, Wanita 'pembeda' itu mengundang ke kediamannya untuk berbagi perspektif. Wow!

Berbekal pengalaman berkelana dan berinteraksi dengan masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Sulawesi, Maluku dan Papua selama tiga tahun terakhir, rasanya saya siap dan konfiden bersua MKP. Saya menyiapkan barisan kata kunci terkait dimensi penilaian sebuah ikhtiar pembangunan melalui program seperti penilaian relevansi, efektivitas, efisiensi, cakupan dampak hingga keberlanjutannya. Dengan itu, saya benamkan di pikiran dan bergegas ke kawasan Jalan Widya Chandra di selatan Jakarta.

***

Sekira pukul 16.00 WIB, setelah shalat ashar di Masjid Al Maahir, di Jl. Widya Candra VII, saya berjalan kaki ke kediaman orang nomor satu di KKP itu. Saya tiba lima menit sebelum jam empat, atau beberapa menit sebelum Susi menjabat tangan saya. Hangat. Sebelum saya bertanya, kalimatnya meluncur lempang. Saya yang kikuk, perlahan mulai nyaman. Obrolan kami, laksana sahutan 'bakul ikan' dan 'nelayan udang' yang cair pada suatu malam di PPI Pangandaran, kampung halaman Susi.

Dia membeberkan relevansi mengapa sungguh getol mengusir asing di Laut Nusantara. Karena Negara telah kehilangan banyak potensi, kekayaan laut dan ikan oleh armada asing. Betapa negara telah kehilangan banyak peluang untuk maju dan berkembang, betapa lemahnya Negara di hadapan antek asing.

"There are things beyond that I thought. Kenapa saya hantam di Natuna, sebab itu jalur perdagangan kita yang amat rentan," katanya. Suaranya yang semula meninggi kemudian pelan. Dia mengingatkan tentang kelindan tangan, pelaku dan kepentingan di balik bisnis perikanan dan kelautan yang sungguh superbesar.

"Uangnya besar, kalau kita berkuasa di sana, penyelundupan tidak bebas lagi. Bayangkan kapalnya hingga ada 100 unit, jenis tramper hingga 5.000 GT. Kali 100 saja GT. Kalau 3000 GT, dua minggu sekali ke Indonesia?" katanya, mata Susi tak berkedip. Menurutnya, penyelundupan barang ke Indonesia memang bukan hal baru, ini berlangsung sejak lama dan melibatkan armada berjumlah besar. Penangkapan kapal-kapal ikan membawa alkohol ilegal dan produk-produk tak dipajak 'unpaid tax'.

"Persoalan illegal fishing misalnya, kita harus melihatnya beyond(jauh ke depan), paling mendasar, Ini tentang kedaulatan negara. Barang-barang ilegal dari Thailand itu dibawa dengan kapal ikan, dari kapal-kapal Thailand, drugs, human trafficking," tegasnya. 

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan seperti itulah sehingga regulasi dan kebijakan menjaga kedaulatan yang dipilihnya sebagai prioritas. Hal yang disadarinya tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Pilihan yang acap disebut melampaui wewenangnya yang dia istilahkah seperti 'Sepatu' KKP yang sejatinya tak bisa dikenakan di ranah lain.

"Negara ini lost opportunity dan itu ketidakadilan yang menyalahi tujuan utama kita sebagai bangsa," tegasnya. Dia menekankan pada program-program nasional selama ini yang berbiaya besar dan menguras energi bangsa namun belum sepenuhnya menyasar pada hal-hal mendasar, keadilan pembangunan kawasan, pusat-periferal, termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Poros Maritim yang diimpikan Jokowi-JK di mata Susi adalah bagaimana bergerak bersama, berkontribusi pada misi merebut kedaulatan dan mengisinya. Kalau pakai analogi seperti sirip punggung dan sirip ekor ikan bekerja, ada arahan yang dituju dan ada penopang. Saling menguatkan pada visi besar tersebut.

"Standar operasi Poros Maritim harusnya seperti itu," katanya seraya membetulkan letak duduknya. 

Regulasi, kebijakan hingga program KKP menurut Susi sejatinya menjawab persoalan pada ketimpangan distribusi, pada harga barang yang selama ini membuat relasi ekonomi Timur-Barat Indonesia begitu timpang.

"Coba kalau kita kembangkan industri perikanan dari Talaud ke Davao, Biak, Morotai ke Palau, Saumlaki ke Darwin, Merauke ke Cairns. Akses dari Papua ke Jakarta lima kali lebih mahal. Ayam-ayam beku, sebelum dimakan oleh orang Saumlaki, transit bahkan hingga 10 kali, ke Makassar, Ambon, Sorong, Fak Fak, Dobo baru ke Saumlaki, harga perkilo bisa menjadi menjadi 100 ribu," paparnya.  Di mata Susi, hal tersebut akan berbeda jika misalnya beli ayam seharga 2 dollar dari Darwin ke Saumlaki kemudian diterbangkan ke Saumlaki yang mungkin hanya 4 Dollar.

Menurut Susi, di pembangunan sektor perikanan juga begitu, sehingga yang dibutuhkan adalah dukungan pada skema logika seperti itu, bukan yang lain, bukan pada satu pihak apalagi negara luar. 

"Persolannya, tidak banyak yang punya pikiran seperti itu," katanya.

"Bagi saya, kelautan is everything," katanya. Maksudnya, KKP tak melulu mengurusi bagaimana menangkap ikan tetapi menjaga kedaulatan di laut sebab dengan itu, akan menjadi penggerak utama (prime mover) bagi yang lain.

Indonesia harus merebut kedaulatan di laut sebab laut selama ini telah menjadi ruang aneksasi ekonomi negara-negara tetangga, negara-negara yang menutup mata pada armada perikanan besarnya yang mengaduk ruang teritori Nusantara.  Hal-hal yang oleh Susi disebut sebagai strategi merebut lautan, menguasai sumber daya dan mengalirkan produk-produk mereka,

"Yah itu tadi, senjata, obat-obatan, perdagangan manusia dan lain-lain," katanya.

"Jadi konsepnya bukan nyerang Irak, tapi menguasai overseas. Ngambil ikan karena mereka butuh ikan, tapi berangkatnya bawa barang-barang produk mereka, anything!" tegasnya.

***

Susi berdiri. Kami pindah dari kursi pertama, ke kursi kedua. Di kursi pertama, matahari sore menerpa wajahnya. Kali ini saya duduk persis di sampingnya, sebelumnya ada kursi yang mengantarai.

Blogger Kompasiana bersama MKP (foto: istimewa)
Blogger Kompasiana bersama MKP (foto: istimewa)
Sebagai informasi bahwa dasar bagi penegakan hukum dengan penenggelaman kapal adalah UU NO, 45/2009, dibolehkan menenggelamkan kapal yang illegal di Indonesia. Apa yang dilakukan Susi adalah menyampaikan gagasan itu ke Presiden hingga menuai dukungan. Terkait ini disusun pula Peraturan Menteri, nomor 56 terkait moratorium eks kapal asing, Permen 57 tentang transshipment (praktik transaksi di luar dari tempat semestinya seperti jual beli ikan di atas kapal), termasuk Permen 58 untuk memperkuat kedisiplinan pegawai negeri. Ini pula yang menjadi alas tindak Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Jadi bukan karena saya saja, ini atas nama Negara," katanya.

Penenggelaman kapal yang fenomenal dan identik dengan Susi tidak terjadi begitu saja. Ini didahului konsultasi tingkat tinggi dengan para Duta Besar negara-negara yang selama ini bertemali dengan isu perikanan seperti Malaysia, China, Thailand, Filipina, Vietnam dan Australia. Demikian pula terhadap para pebisnis perikanan dalam negeri. Terkait ini, pada beberapa kesempatan Susi mengatakan kepada para pelaku usaha perikanan yang benam di di bisnis ini 'pesta sudah selesai'.

 "Bu, okelah motif sovereign, it is acceptable, tentang berpindah ke alas prosperity dan sustainability, ini yang dikritik beberapa kalangan kan?," kataku.  Pilar kebijakan MKP dalam tiga tahun terakhir adalah memastikan koridor "Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan", inilah yang menjadi alas pijak dan tindak segala program ikutan berikut isu-isu di pesisir, laut dan pulau-pulau.

"Gimana tuh?" lanjutku.

"Saya ini ngomong ke Dorodjatun Kuntjoro-djakti sejak lama, Pak, kita itu butuh pendekatan, sustainable of fisheries, integrated and sustainable fisheries. Itu sejak tahun 2001. Jadi saya sudah kasih konsep itu ke dia tapi kan negara kita tidak pikir maritim saat itu. Persoalannya, orang tidak pikir maritim," katanya repetitif.

Saya mengelus dagu dan memicingkan mata. Menimbang maksudnya.

Dia utarakan bahwa bahwa Presiden Jokowi sungguh sangat berpikir Maritim tapi ada realitas lain terkait capaian di bidang kelautan dan perikanan, misal, kurikulum pendidikan (kelautan dan perikanan) tidak berubah, demikian pula pola anggaran yang tidak berubah.  Ada tantangan bersama, butuh tindakan kolektif dan bergandengan tangan. Beberapa hal yang disebutkannya kemudian menukik pada tantangan KKP yang juga tidak ringan. Tentang semangat mengakselerasi, tentang sinergi, tentang perlunya akselerasi kolektif demi menjawab tantangan ber-kelautan dan perikanan.

Jika membaca situasi kontemporer serta polemik publik di isu kelautan dan perikanan, tantangan itu adalah kecermatan kendalinya pada kapasitas internal dan daya tangkal solutif pada kondisi eksternal. Bagaimana menempatkan alas pikir kedaulatan dan langkah praktis menggerakkan unit-unit usaha perikanan dan pengelolaan ruang kelautan secara efektif. Pada sisi ini dimensinya sungguhlah luas, pada pengelolaan ruang laut, budidaya perikanan, perbaikan daya saing perikanan, pengendalian sumber daya kelautan hingga kapasitas personalia, aparatur, periset hingga masyarakat di pesisir dan pulau-pulau.

"Bu, efektivitas regulasi dan kebijakan pembangunan sesuai spirit UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi porsi jelas ke Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk ruang laut," saya menimpali. 

Saya sengaja menyampaikan ini karena bulan lalu saya selama 11 hari mengunjungi Ambon, Ternate, Raja Ampat, Sorong dan Manokwari menelisik kewenangan pengelolaan ruang laut ini. Terkait UU itu, salah satu indikatornya adalah adanya dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), adanya transfer personalia, sarana prasarana dan dokumen dari kabupaten/kota ke Provinsi, termasuk proses perizinan kapal nelayan, kapal ikan antar provinsi.

"Dengan banyak Gubernur kita komunikasi, termasuk dengan Gubernur Jawa Tengah, jauh-jauh sebelumnya, terutama terkait pelarangan cantrang itu," katanya. Terkait isu cantrang yang belakangan ini jadi pusaran protes nelayan, pijakan Susi jelas, tetap bahwa penegakan hukum yang ditempuh itu demi aspek keberlanjutan, untuk jangka panjang, jaminan berjalannya fungsi ekosistem. Argumentasi ini tak mudah, sulit, terutama bagi yang terusik kebiasaannya. Kebiasaan yang diminta selayak 'berhijrah' sebab telah terjadi kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia.

"Kajian dasar pelarangannya sudah lebih dari cukup," katanya datar terkait cantrang itu.

O iya, berdasarkan surat edaran Nomor 72/MEN-KP/II/2016, disebutkan tentang pembatasan penggunaan alat penangkapan ikan cantrang di WPPNRI (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia), nelayan wajib mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan demi keberlangsungan sumberdaya ikan. KKP bertanggung jawab untuk mengantisipasi ini dengan persiapan sosial dan kelompok-kelompok nelayan yang selama ini menggunakan cantrang. Telah dilakukan pelatihan-pelatihan di bulan Januari 2017. Di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Tegal sebagai misal, telah diberikan pelatihan kepada perwakilan nelayan Pantura yang berasal dari Pati, Rembang, dan Batang. Tak hanya itu, dilakukan pula penggantian alat tangkap cantrang ke gillnetmillennium kepada ratusan nelayan.

***

Efektivitas perencanaan dan penganggaran

Perencanaan dan penganggaran adalah dua hal yang bertautan dalam menjalankan kebijakan seperti disebutkan di atas. Kalau membaca pernyataan Susi, kebijakannya telah didasarkan pada pemahaman kondisi makro dan spesifik Indonesia. Potensi perikanan yang bertahun-tahun diaduk-aduk asing, kegiatan ilegal dan berbahaya, dominasi kapal asing, dan adanya dukungan masyarakat internasional, telah dijadikan konsideran untuk meretas regulasi dan kebijakan baru yang tak bisa ditawar lagi.   Ketersediaan anggaran pun amatlah cukup bahkan lebih, persoalannya pada tata kelolanya, untuk Indonesia secara umum, korupsi adalah salah satu ancamannya. 

"Dengan Susinisasi, dari 13 triliun, saya potong jadi 6,6 triliun," kata wanita yang mengaku pernah lama di Papua, hampir setahunan sehingga paham realitas dan kebutuhan warga di sana. Susinisasi adalah memangkas ketidakefisienan di komponen kegiatan bertema 'pemberdayaan, dan penguatan' yang boros tanpa kejelasan outcome. Pilihan  ini berimplikasi pada beberapa program pendonor yang menurutnya rentan dari sisi efisiensi dan ketepatan sasaran.

"Kalau kamu boleh beri dana, boleh dalam bentuk aset, infrastruktur," katanya pada perwakilan salah satu lembaga keuangan internaisonal terkait tawaran bantuan. Infrastruktur yang dimaksudnya adalah pada pemenuhan kebutuhan penggerak ekonomi di titik-titik strategis dan prospektif seperti pulau-pulau kecil terluar serta kabupaten/kota. Kawasan yang sejatinya menyimpan kekayaan alam laut yang luar biasa besar tetapi minim sarana prasarana atau infrastruktur pendukung.

Pada dimensi tersebut, dia ingin kita mengkomparasi pembangunan dan peruntukan infrastruktur yang harus diperiksa, apakah sudah sesuai dengan kapasitas lokal atau kemampuan sumber daya tersedia, sumber daya manusia, pengetahuan, skill dan semangatnya untuk tumbuh. Implisit bahwa harus ada prinsip yang terpaut pada kedaulatan bangsa. Konsideran utama agar rasa percaya diri bangsa terkerek. Muaranya di sikap Susi pada status kerjasama dengan lembaga keuangan seperti disebutkan di atas. Hal lain adalah implikasi pada internal organisasinya. Terdapat kebijakan pengetatan anggaran dan upaya efisiensi yang sejatinya menjadi iklim bagus untuk lebih inovatif.

Susi menerima telepon. Seperti dari seorang sahabat yang amat dekat. Saya merogoh kacang mete di dalam wadah gelas kemudian menyeruput secangkir teh hangat.

Dia melanjutkan. Telah banyak permintaan untuk membuka keran eksploitasi oleh asing di laut untuk usaha perikanan yang dimoratorium itu tapi menurutnya, sejauh ini belum akan diberikan kecuali investasi di bidang pengolahan.

"Kita beri 100 persen kalau mau ke pengolahan. Tidak ada jual ke kapal asing, itu seperti ngambil padi di sawah kita kan?" katanya.

Upaya KKP sejauh ini adalah menata regulasi, memberi bantuan alat tangkap, perahu dan sarana prasarana kelautan dan perikanan. Di tahun ketiga ini upaya pemberian bantuan itu digenjot setelah ada penyesuaian-penyesuaian pada aspek regulasi, administrasi dan linier dengan proses-proses konstruksi (kapal ikan).

Selama tiga tahun terakhir terkuak pula bahwa dari 54 PUPI di Bitung, sebagai misal, ada 5 yang dikelola asing dan mengenai efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh ketaatan prosedur, pada kapasitas berusaha hingga kemampuan membayar pajak.

Di tahun ketiga menakhodai KKP, Susi menyebut ada kenaikan atas kemampuan mengkonsumsi ikan warga Indonesia, dari 36 kilogram ke 41 kilogram perkapita pertiap tahunnya, tahun ini targetnya naik ke 43 kilogram. Informasi positif ini merupakan alas yang baik untuk menyigi seberapa kontributif pada aspek lain seperti peluang penciptaan tenaga kerja, kontribusi pada GINI Ratio, PDB, inflasi, tingkat kemiskinan di pesisir dan pulau termasuk IPM. Sejatinya, upaya yang ditempuh sejauh ini diharapkan dapat berimplikasi positif pada indikator tersebut. Ini juga merupakan tantangan bagi Susi dan jajarannya untuk memeriksanya.

Dia juga mengakui bahwa perikanan berbasis rakyat meskipun masih berskala kecil tetapi telah memberi kebanggaan, pada saat yang sama Indonesia berhasil menekuk negara-negara yang selama ini hanya bisa beroperasi di high seas dengan kapal seukuran 200 GT untuk masuk ke Indonesia.

"Ketika FAO mengatakan bahwa populasi ikan-ikan di dunia telah menipis tiga kali lebih cepat dari perkiran, kita bahkan meningkat lebih cepat, we are the only one!" tegasnya. Bukan hanya itu, yang membanggakan adalah impor ikan turun 70%, negara bisa untung hingga 3 miliar dollar. 

"That is a huge industry," katanya. 

Potensi ikan yang kembali setelah dikuasai asing ini merupakan tantangan bagi KKP, bagi Indonesia. China misalnya, sebagai pemain perikanan skala besar telah mengubah strateginya di 'high seas' mengingat kontrol yang superketat di perbatasan Indonesia.

"Akan sulit hingga 100% untuk kita beroperasi di ZEE tapi kita sudah menerapkan pendekatan berkelanjutan, friendly environment, tidak men-deplete, kita me-restruct, kita reformasi saja sekarang," katanya. Dia mengakui bahwa memang masih ada kendala di beberapa daerah, seperti masih adanya praktik mark downukuran kapal dan tingkat kepuasan pada penerbitan izin.

Tentang agenda membangun pulau-pulau kecil terluar atau sentra bisnis kelautan dan perikanan, prinsip kolobarasi multipihak menjadi syarat mutlak. Menurutnya, terkait pembanguan sentra kelautan dan perikanan, KKP butuh dukungan Pemerintah Daerah misalnya meminta kesediaan daerah untuk membuka penerbangan. Percepatan ini bisa didukung oleh regulasi ada regulasi di pusat dan daerah, keterlibatan sektor swasta atau pihak lain, jadi bukan semata KKP.

Mewaspadai jebakan globalisasi

Ada hal yang menarik untuk dibagikan terkait obrolan saya dengan MKP, ada tema yang saya sungguh sukai (bukan semata karena saya bekerja di LSM), tentang dampak globalisasi dan kemampuan kita mempersiapkan diri sebagai bangsa merdeka.

Kami bicara tentang dampak globalisasi dan modernisasi. Tentang di-mana posisi Indonesia terhadap negara investor besar yang terlihat kemaruk menggelontorkan dana dan iming pembangunan infrastruktur. Ada beberapa fakta yang disebutkan, terkait efektivitas pembangunan skala gigantic, seperti jalan raya beribu kilometer, jalan tol, jembatan raksasa, terutama oleh negara-negara yang defisit sumber daya alam tetapi berpopulasi besar. Tentang kebijakan luar negeri mereka dan aksesnya ke teritori Indonesia.

Ada skema besar yang ingin menguasai pasar Indonesia. Modusnya, mereka membangun infrastruktur besar, memberi jalan produk-produk mereka untuk keluar dari negaranya, memberi job untuk kontraktor mereka, dan dengan itu ekonomi negaranya berjalan. Susi mengingatkan pentingnya alas keadilan ketika publik bicara globalisasi. Pentingnya organisasi masyarakat sipil (LSM) untuk bagaimana mendorong warga, masyarakat, rakyat untuk melindungi sumber dayanya.

Sudah banyak pengalaman bahwa dengan mengelola sumber daya seperti kelautan, perikanan dan pariwisata yang ada, Indonesia bisa membangun daerah, daerah membangun Indonesia. 

Ke Susi saya kabarkan bagaimana Pemerintah Kabupaten Raja Ampat di Papua Barat yang berhasil meraup hingga 16 miliar pertahun dari retribusi entrance feeyang dikelola oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ini angka yang besar dan perlu jadi rujukan nasional dalam membangun kelautan dan perikanan.

"Tugas LSM, tidak hanya pada mendorong adanya livelihood (belaka), but how to protect, mendorong, orang untuk aware. Karena ketidakadilan itu, maka gobalisasi menjadi persoalan, problem into the weak system, mengambi ruang. Teknologi akan datang, teknologi akan mengambil ruang kita,  so what we do, seharusnya menstimulasi warga untuk mampu berubah," paparnya. Hal dilematis ini dapat ditemui di bidang perikanan tangkap misalnya teknologi alat tangkap yang mematikan usaha tradisional, atau pada bidang pengelolaan ruang laut yang berkaitan agenda reklamasi pantai dan laut yang massif di Indonesia demi menangguk keuntungan berlipat ganda.

 "Tugas Pak Azis untuk membantu warga mempertahankan hak-haknya," katanya saat saya sampaikan bahwa di kampung halaman saya di Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan sedang terjadi aksi pertambangan pasir yang ramai-ramai ditolak warga.

Terkait isu pelik tersebut, Susi menyadari bahwa urusan pengelolaan ruang laut memang sangat berkaitan dengan sistem Pemerintahan kita, pada relasi antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah terpolarisasi semakin kompleks dan jauh, antara kepentingan politik, sosial ekonomi, budaya serta ambisi perubahan pembangunan daerah. 

Hal yang juga tidak mudah bagi KKP ketika di daerah, orientasi pembangunannya masih samar antara mengutamakan kedaulatan rakyat atau kekuasaan pemilik modal. Antara menyiapkan fondasi untuk masa depan yang lebih baik atau demi kepentingan kekuasaan temporer.

Hari semakin tua. Belum ada tanda-tanda wanita flamboyan dari Pangandaran ini berhenti bicara padahal waktu telah menunjuk pukul 6 petang. Dua orang tamunya yang lebih dulu datang ketimbang saya sepertinya tak bisa menunggu lama, mereka pamit sebelum disambangi sang Menteri.

Saya pamit, di luar adzan magrib berkumandang. Pada seorang anggota Brimob asal Bulukumba, Sulawesi Selatan bernama Jafar, saya minta izin untuk shalat di mushala posko. Sekarang, saatnya bertemu Tuhan dan berdoa untuk Indonesia yang lebih hebat, yang lebih mengayomi, berkeadlian, berkelanjutan, everything!

Tebet, 16/07

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun