Kawasan pesisir dan laut amat kompleks dan rentan. Beragamnya latar belakang dan kapasitas pemangku usaha berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara warga yang bermukim di sekitar lokasi eksploitasi dengan nelayan pendatang bahkan terhadap regulator. UU 23/2014 sejatinya adalah jawaban atas isu ini di mana wewenang bidang kelautan dari kabupaten/kota telah dilimpahkan ke Pemerintah Provinsi untuk menjamin sinergi dan kepastian pengelolaan.
Meski telah diundangkan sejak 2014, penerapannya tak semudah membalik telapak tangan. Masih terjadi multiftafsir penerapan dan ketidakpastian bagi pelaku usaha di berbagai level. Dua minggu lalu, dari Kepala Burung Papua, lima perahu nelayan pencari telur ikan terbang (patorani) asal Sulawesi Selatan ditahan satuan Polda Papua Barat di Perairan Fak Fak. Rombongan nelayan dari kaki Pulau Sulawesi itu mengaku telah memperoleh izin operasi namun oleh otoritas penegak hukum di Papua Barat dianggap melanggar. Siapa benar?
***
Penahanan 5 kapal nelayan dari ratusan yang beroperasi asal Sulawesi Selatan tersebut diperoleh saat penulis mengikuti kunjungan silaturahmi Kapolres Fak Fak, AKBP Gazali Ahmad, S.Ik, MH di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papau Barat di Manokwari, (Rabu, 14/06).
Suasana akrab, cair, penuh tawa terjadi saat perwira bermawar dua itu diterima Kabid Perikanan Tangkap, Semuel Kondjol, S.Ik serta Bastian Wanma A. Md.Pi, Kabid Pengelolaan Ruang Laut, Pengawasan SD Kelautan dan Perikanan. Hadir pula Roy Salinding dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang juga koordinator Satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Hadir pula Zulkifli Henan, Kepala Seksi Pengendalian Penangkapan dan Sumber Daya Ikan dan merupakan PPNS Perikanan berpengalaman di Papua Barat.
Telur ikan terbang adalah primadona ekspor. Telurnya merupakan bahan untuk cavyar Eropa dan sushi Jepang sehingga diminati pasar internasional. Harganya mencapai Rp. 400 ribu/kg kering di Fak Fak saat ini, bahkan jutaan saat diekspor. Inilah pemicu mengapa nelayan-nelayan tersebut nekat menempuh perjalanan jauh ke perairan Papua Barat. Satu armada nelayan ditaksir membutuhkan modal usaha antara 50-100 juta permusim (April-Juni). Sayangnya, mereka dianggap melanggar batas kewajaran eksploitasi. Di satu sisi, mereka mengaku mendapat izin dari kabupaten namun di level yang lebih tinggi dianggap menyalahi prosedur sebagaimana mestinya. Dilema!
Data DKP Papua Barat menunjukkan bahwa saat ini ada 446 perahu nelayan pencari ikan terbang asal Sulawesi Selatan (sekitar wilayah Galesong, selatan Makassar) di Kabupaten Fak Fak. Adapun kapal yang ditahan tersebut menurut penuturan Kapolres pada saat pemeriksaan hanya ditemui surat izin berlayar.
"Karena yang menangkap Polda, pasti ada dasar hukumnya. Dari lima yang ditangkap itu ada dua yang membawa telur ikan 20 kilogram dan tiga yang lainnya hanya sandar saja," terang Gazali. Bagi Gazali, jikapun ada yang perlu diklarifikasi itu adalah tentang ketepatan dasar penangkapan, apakah berkaitan dengan jalur operasi penangkapan yang tidak sesuai, perizinan atau hal lain. Apalagi nelayan-nelayan tersebut telah mempunyai pengalaman berusaha bertahun-tahun di Fak Fak dan merasa paham prosedur.
"Saya ke sini supaya punya gambaran, ini lho langkah-langkah yang sudah diambil," katanya. Kapolres menyatakan bahwa perwakilan nelayan pencari ikan terbang telah menemuinya di Fak Fak, mengeluh dan meminta keringanan mengingat kondisi ekonomi dan beban ekonomi yang ditanggung. Keberadaan nelayan asal Sulawesi Selatan ini telah berlangsung lama dan mereka mendirikan perkampungan di beberapa pulau dan kampung-kampung pesisir.
"Kasihan juga nelayannya, mereka harus mengambil kredit di bank, menggadai rumah hingga meminjam uang untuk kebutuhan operasi," ucap Gazali. Berkaitan dengan itu, Zulkifli Henan menyatakan bahwa penerapan dasar tuntutan sebaiknya tidak menggunakan jalur penangkapan, tetapi ke perizinan seperti merujuk ke Pasal 98 junto pasal 2 atau ayat 7 tentang perikanan.
"Kapal-kapal nelayan yang beroperasi itu seharusnya punya pas kecil atau kelaikan kapal, surat ukur. Pengecekan dokumen seperti ini bisa menjadi dasar untuk mengetahui kapal mereka bodong jika tak mempunyai dokumen dimaksud," ungkap Zulkifli. Terkait perizinan, dia menyebut bahwa Pemerintah Provinsi sudah ada aturan dan tidak dipungut biaya, utama di bawah 10 GT, apalagi sejak berlakunya UU No. 23/2014 terkait pelimpahan wewenang ke Pemerintahb Provinsi di ruang laut dan perikanan tangkap.
"Mereka ini kan kapal dari Sulawesi Selatan, harapan saya, kita bikin MoU antara kedua Pemerintah Provinsi. Silakan datang, antara Pemprov Sulsel dan Papua Barat. Terutama dikaitkan ke WPP 715, jadi ini memang harus bersama," usul Zulkifli.
WPP yang dimaksudnya adalah wilayah pengelolaan perikanan 715 yang dirilis Pemerintah Pusat yang melingkupi beberapa wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua Barat bahkan Sulawesi Tengah termasuk wilayah Fak Fak. Menurut Zulkifli yang juga diiyakan oleh Semuel Konjol dan Bastian Wanma, yang harus dilakukan adalah duduk bersama antara Pemerintah Sulsel dan Papua atau secara umum yang wilayahnya masuk di WPP 715.
"Masih ada ketidaktahuan nelayan atas penerapan UU baru 23/2014 yang berdampak pada pengelolaan ruang laut kabupaten dan provinsi. Para nelayan di Kabupaten/kota perlu diberikan informasi," katanya lagi. Dia mengatakan bahwa MoU antarprovinsi ini bisa melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebab telah lintas provinsi. Bukan hanya urusan perizinan lintas provinsi tetapi bagaimana memastikan bahwa izin yang diberikan itu satu pintu dan bisa dilacak wilayah operasinya, mengecek kesesuaian alat tangkap boleh dan tidak boleh hingga pemantauan bersama.
Selama ini pemberian izin eksploitasi diberikan oleh Pemerintah Daerah hanya mempertimbangkan aspek ekonomi atau pendapatan asli daerah saja sementara kepentingan pelestarian, pencadangan, dan keseimbangan ekologi diabaikan. Oleh sebab itu, apa yang ditempuh oleh Kapolres Fak Fak terkait dilema nelayan pencari telur ikan terbang ini diapreasiasi oleh tim DKP Papua Barat sebagai hal baik untuk solusi bersama.
Kepada Kapolres disampaikan bahwa sejauh ini telah ada upaya untuk mengikuti amanah UU 23/2014 di mana akan ada transfer kewenangan dari kabupaten/kota ke Provinsi termasuk pengelolaan ruang laut dan perikanan tangkap. Bastian Wanma, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut DKP Papua mengatakan kelemahan selama ini adalah penegakan hukum sehingga perlu kerja sama antar pihak termasuk kabupaten/kota dan Pemerintah Provinsi untuk menjalankan UU 23/2014 sebagai amanat Pemerintah Pusat.
Ditambahkan Zulkifli, telah ada pemikiran untuk menata perizinan kapal-kapal yang datang dari luar provinsi Papua Barat melalui draft surat edaran Gubernur. Isinya meminta para bupati dan walikota untuk tidak lagi mengeluarkan izin bagi 10 GT ke bawah. Persoalan selama ini menjadi rumit karena adanya motif menambah pendapatan asli daerah dengan mengeluarkan izin penangkapan. Lahirnya UU 23/2014 seharusnya bisa mengerem longgarnya perizinan ini.
"Harapannya, surat edaran itu diharapkan memberi informasi ke SKPD teknis seperti DKP untuk menghentikan izin bagi kapal ukuran 10 GT atau di atasnya, termasuk di bawah 5 GT, karena kabupaten sudah tidak punya izin apa pun terkait perikanan tangkap kecuali budi daya. Itu ada di UU 23/2014. Kalau izin penangkapan dan konservasi wilayah laut semua ke provinsi," kata Zulkifli.
"Pemerintah Papua Barat sangat welcome, mari duduk bersama," ujarnya.
"Saya sampaikan ke teman nelayan, bukan melarang tetapi pembatasan. Kalau diekspolitasi terus bisa habis semua, induknya juga. Aturan ini tidak melarang saklek tetapi memikirkan masa depan. Jangan sampai mereka ribut-ribut, wilayah Fak Fak aman saja," timpal Gazali. Dia juga mengusulkan bahwa banyaknya armada dari Sulawesi Selatan yang masuk ke Fak Fak ini adalah kesempatan untuk membikin festival nelayan---yang bisa mendatangkan manfaat bagi daerah.
Sementara itu, Syahril A. Raup, pejabat Kasubdit Pangkalan Pendaratan Ikan KKP saat dihubungi di Jakarta mengatakan bahwa jika membaca kasus nelayan andon di atas, maka ke depan, seharusnya ada MoU antara Pemerintah Provinsi Sulsel dan Papua Barat. Jadi yang menerbitkan izinnya adalah Pemprov Papua Barat. Hal yang sama harus ditempuh oleh Pemprov Sulsel untuk membereskan perizinan kapal andon ini termasuk penerbitan SPB dari salah satu pelabuhan yang ada syahbandar perikanannya.
Menurut Syahril, ancaman pidana bila kapal tanpa SPB adaah maksimal 1 tahun penjara dan atau denda maksimal 200 juta. Terkait kasus di Fak Fak, Syahril mengatakan bahwa berdasarkan laporan stafnya, 5 kapal diproses pidana perikanan. Ada 3 tanpa SPB, pakai surat keterangan Kades. Ada 2 tanpa SIPI. Syahril juga mengatakan bahwa hingga saat ini ada 200-an kapal lagi mengantri dokumen di Polair Papua Barat.
Kisruh nelayan Patorani di Fak Fak dapat dijadikan pelajaran untuk dicarikan solusi, mengajak pihak terkait seperti Pemerintah kabupaten/kota, provinsi, KKP maupun pelaku usaha untuk duduk bersama termasuk di dalamnya menindaklanjuti konsekuensi UU 23 berkaitan transfer personalia, sarana prasarana dan dokumen (P3D) dari kabupaten/kota ke provinsi. Pada silaturahmi itu, peserta sepakat untuk mendorong sosialisasi terkait UU 23/2014 dan menghimbau adanya jembatan komunikasi antar Pemerintah Provinsi terutama antara Sulawesi Selatan dan Papua Barat terkait keberadaan nelayan pencari telur ikan terbang di Fak Fak yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir.
Mari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H