"Kapal-kapal nelayan yang beroperasi itu seharusnya punya pas kecil atau kelaikan kapal, surat ukur. Pengecekan dokumen seperti ini bisa menjadi dasar untuk mengetahui kapal mereka bodong jika tak mempunyai dokumen dimaksud," ungkap Zulkifli. Terkait perizinan, dia menyebut bahwa Pemerintah Provinsi sudah ada aturan dan tidak dipungut biaya, utama di bawah 10 GT, apalagi sejak berlakunya UU No. 23/2014 terkait pelimpahan wewenang ke Pemerintahb Provinsi di ruang laut dan perikanan tangkap.
"Mereka ini kan kapal dari Sulawesi Selatan, harapan saya, kita bikin MoU antara kedua Pemerintah Provinsi. Silakan datang, antara Pemprov Sulsel dan Papua Barat. Terutama dikaitkan ke WPP 715, jadi ini memang harus bersama," usul Zulkifli.
WPP yang dimaksudnya adalah wilayah pengelolaan perikanan 715 yang dirilis Pemerintah Pusat yang melingkupi beberapa wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua Barat bahkan Sulawesi Tengah termasuk wilayah Fak Fak. Menurut Zulkifli yang juga diiyakan oleh Semuel Konjol dan Bastian Wanma, yang harus dilakukan adalah duduk bersama antara Pemerintah Sulsel dan Papua atau secara umum yang wilayahnya masuk di WPP 715.
"Masih ada ketidaktahuan nelayan atas penerapan UU baru 23/2014 yang berdampak pada pengelolaan ruang laut kabupaten dan provinsi. Para nelayan di Kabupaten/kota perlu diberikan informasi," katanya lagi. Dia mengatakan bahwa MoU antarprovinsi ini bisa melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebab telah lintas provinsi. Bukan hanya urusan perizinan lintas provinsi tetapi bagaimana memastikan bahwa izin yang diberikan itu satu pintu dan bisa dilacak wilayah operasinya, mengecek kesesuaian alat tangkap boleh dan tidak boleh hingga pemantauan bersama.
Selama ini pemberian izin eksploitasi diberikan oleh Pemerintah Daerah hanya mempertimbangkan aspek ekonomi atau pendapatan asli daerah saja sementara kepentingan pelestarian, pencadangan, dan keseimbangan ekologi diabaikan. Oleh sebab itu, apa yang ditempuh oleh Kapolres Fak Fak terkait dilema nelayan pencari telur ikan terbang ini diapreasiasi oleh tim DKP Papua Barat sebagai hal baik untuk solusi bersama.
Kepada Kapolres disampaikan bahwa sejauh ini telah ada upaya untuk mengikuti amanah UU 23/2014 di mana akan ada transfer kewenangan dari kabupaten/kota ke Provinsi termasuk pengelolaan ruang laut dan perikanan tangkap. Bastian Wanma, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut DKP Papua mengatakan kelemahan selama ini adalah penegakan hukum sehingga perlu kerja sama antar pihak termasuk kabupaten/kota dan Pemerintah Provinsi untuk menjalankan UU 23/2014 sebagai amanat Pemerintah Pusat.
Ditambahkan Zulkifli, telah ada pemikiran untuk menata perizinan kapal-kapal yang datang dari luar provinsi Papua Barat melalui draft surat edaran Gubernur. Isinya meminta para bupati dan walikota untuk tidak lagi mengeluarkan izin bagi 10 GT ke bawah. Persoalan selama ini menjadi rumit karena adanya motif menambah pendapatan asli daerah dengan mengeluarkan izin penangkapan. Lahirnya UU 23/2014 seharusnya bisa mengerem longgarnya perizinan ini.
"Harapannya, surat edaran itu diharapkan memberi informasi ke SKPD teknis seperti DKP untuk menghentikan izin bagi kapal ukuran 10 GT atau di atasnya, termasuk di bawah 5 GT, karena kabupaten sudah tidak punya izin apa pun terkait perikanan tangkap kecuali budi daya. Itu ada di UU 23/2014. Kalau izin penangkapan dan konservasi wilayah laut semua ke provinsi," kata Zulkifli.
"Pemerintah Papua Barat sangat welcome, mari duduk bersama," ujarnya.
"Saya sampaikan ke teman nelayan, bukan melarang tetapi pembatasan. Kalau diekspolitasi terus bisa habis semua, induknya juga. Aturan ini tidak melarang saklek tetapi memikirkan masa depan. Jangan sampai mereka ribut-ribut, wilayah Fak Fak aman saja," timpal Gazali. Dia juga mengusulkan bahwa banyaknya armada dari Sulawesi Selatan yang masuk ke Fak Fak ini adalah kesempatan untuk membikin festival nelayan---yang bisa mendatangkan manfaat bagi daerah.