Sementara itu, Syahril A. Raup, pejabat Kasubdit Pangkalan Pendaratan Ikan KKP saat dihubungi di Jakarta mengatakan bahwa jika membaca kasus nelayan andon di atas, maka ke depan, seharusnya ada MoU antara Pemerintah Provinsi Sulsel dan Papua Barat. Jadi yang menerbitkan izinnya adalah Pemprov Papua Barat. Hal yang sama harus ditempuh oleh Pemprov Sulsel untuk membereskan perizinan kapal andon ini termasuk penerbitan SPB dari salah satu pelabuhan yang ada syahbandar perikanannya.
Menurut Syahril, ancaman pidana bila kapal tanpa SPB adaah maksimal 1 tahun penjara dan atau denda maksimal 200 juta. Terkait kasus di Fak Fak, Syahril mengatakan bahwa berdasarkan laporan stafnya, 5 kapal diproses pidana perikanan. Ada 3 tanpa SPB, pakai surat keterangan Kades. Ada 2 tanpa SIPI. Syahril juga mengatakan bahwa hingga saat ini ada 200-an kapal lagi mengantri dokumen di Polair Papua Barat.
Kisruh nelayan Patorani di Fak Fak dapat dijadikan pelajaran untuk dicarikan solusi, mengajak pihak terkait seperti Pemerintah kabupaten/kota, provinsi, KKP maupun pelaku usaha untuk duduk bersama termasuk di dalamnya menindaklanjuti konsekuensi UU 23 berkaitan transfer personalia, sarana prasarana dan dokumen (P3D) dari kabupaten/kota ke provinsi. Pada silaturahmi itu, peserta sepakat untuk mendorong sosialisasi terkait UU 23/2014 dan menghimbau adanya jembatan komunikasi antar Pemerintah Provinsi terutama antara Sulawesi Selatan dan Papua Barat terkait keberadaan nelayan pencari telur ikan terbang di Fak Fak yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir.
Mari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H