“Kami berangkat dari pengalaman dari beberapa daerah lain ada yag tergerus pantainya. Juga nelayan yang menurun pendapatannya hingga 30- 40 persen. Kemudian juga, penghasilan nelayan yang hidup di pinggir pantai berkurang karena pohon kelapa bertumbangan. Di Galesong, data kami, kurang lebih sepertiga penduduk Takalar berada di Galesong (3 kecamatan). Dari situ sepertiganya adalah warga pesisir,” papar Jamaluddin.
“Ketika melihat permohonan sebanyak 1.000 ha, artinya seribu lapangan sepakbola untuk 2 kecamatan. Di Galesong terdapat destinasi wisata, 5 menit menyeberang terdapat Pulau Sanrobengi yang sedang digalakkan sebagai destinasi wisata yang sangat indah. Beberapa event malah dipusatkan di sana. Maka ketika izin ini diberikan pastinya Sanrobengi akan tergerus. Saat ini tanggul penahan ombak tidak pernah ada yang bertahan,” tambahnya. Menurut Ago, setiap terjadi musim ombak besar, warga mengeluh terjadi abrasi, garis pantai semakin mendekati pemukiman. Jika izin diberikan maka warga akan terancam dan mungkin direlokasi. Apa yang disampaikan Ago ini dapat dilihat di sekitar pantai Bontoloe, Boddia, Galesong Baru, Kalongkong hingga Batu-Batu.
“Kami menghimbau jangan kita mengorbankan kepentingan anak cucu demi kepentingan sesaat. Maka ratapan anak cucu yang akan muncul. Allah mengingatkan kita, karena keserakahan kita sendiri, maka kerusakan di muka bumi, lautan dan dimana-mana,” serunya.
“Kami menghimbau Pemprov dan siapapun yang terkait untuk tidak coba-coba menerbitkan izin di Takalar. Kami meminta teman-teman pemerhati lingkungan untuk bahu membahu untuk menolak penambangan pasir. Tegas kami menyatakan bahwa apaun bentuk izin itu kami menyatakan menolak dengan tanpa syarat,” kuncinya.
Peneliti Kelautan Unhas, Dr Mahatma ikut memberikan pendapatnya. “Galesong di peta terlihat daerah rawan erosi karena pantainya tidak terlindungi pulau-pulau di depannya. Tidak seperti Makassar yang punya pulau di depan, vegetasi pantai sudah kurang bagus sehingga pantai tak terlindungi, pantai kurang landai, kurang curam. Akibatnya gelombang pecah lebih besar di pantai. Secara alami memang rawan di pesisir Galesong,” paparnya. Menurut Mahatma, tentang penambangan pasir ini, di Kepmen diatur bahwa beberapa wilayah tidak boleh penambangan, tidak boleh kurang 2 mil dari garis pantai, atau tambang harus 3,6 km dari pantai, tidak boleh di perairan dangkal di atas 10 meter. Tidak boleh pada yang ada infrastruktur laut seperti kenavigasian
“Fungsi pasir itu untuk meredam. Jadi ketika pasir berkurang gelombang semakin besar yang berarti abrasi akan semakin besar. Pengerukan akan menimbulkan lubang yang mempengaruhi transportasi sedimen. Suplai sedimen akan terganggu karena jatuh ke dalam lubang. Ini secara teori. Oleh sebab itu, harus dilakukan Amdal secara betul-betul yang dilengkapi dengan pemodelan yang menampilkan bagaima pola arus sebelum dan setelah kegiatan,” sebutnya.
“Rencana zonasi Sulsel masih dalam tahap penyusunan, makanya tidak ada yang berani mengeluarkan izin karena dokumen rencana zonasi belum selesai. Harus bersesuaian dengan dokumen lain seperti RTRW,” kata Dr. Mahatma yang merupakan jebolan salah satu universitas di Jerman ini.
Dr. Syafyudin Yusuf, ahli karang dari Unhas menyatakan bahwa Galesong berada di sudut kaki Sulawesi yang merupakan pertemuan arus Selat Makassar dengan Laut Flores sehingga sepanjang masa terjadi pergolakan arus di sana. “Penggalian pasir menyebabkan habitat laut pasti terganggu. Ada penurunan jumlah dan jenis organisme. Akan mengakibatkan kekeruhan air laut, penyebaran sedimen dan partikel akibatnya plankton tidak bisa lagi berfotosintesis dan menjadi makanan bagi ikan. Sehingga rantai makanan terputus. Produktifitas akan berkurang, ikan besar juga berkurang. Pada musim arus yang kencang, sedimen akan terikut dan dapat mengendap ke terumbu karang (dampak sekunder),” paparnya.
Pakar hukum Unhas, Prof. Aminuddin Salle yang merupakan tokoh asal Galesong ikut bagi opini. “Saya terbayang akan abad ke 17. saat perjanjian Bungaya ditandatangani. Karaeng Galesong tidak mau tanda tangan tetapi Sultan Hasanuddin membujuk. Karaeng Galesong ke Jawa meneruskan perlawanan ke Kompeni. Ini serupa. Tentang penambangan pasir kami sepakat untuk menolak karena tidak arif dan dampak ekologinya juga sudah jelas,” katanya. Menurut Aminuddin, sebetulnya untuk produk hukum tidak boleh karena cantolan hukumnya belum ada.
“Alasan apapun juga kajian apapun juga ini tidak masuk akal. Sekarang saja di Galesong sudah tergerus. Ada pohon ramba (beringin) itu tumbang. Kemudian pohon yang menjadi pedoman pelaut untuk melihat galesong dari laut itu sudah tidak ada. Kalau tambang dilakukan maka Galesong hanya akan menjadi sejarah,” serunya.