Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antara Susi dan Luhut Binsar, Dua Nakhoda di Poros Maritim

2 Maret 2017   17:00 Diperbarui: 4 April 2019   08:56 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luhut Binsar Pandjaitan adalah maestro di percaturan politik Indonesia kontemporer. Dia sosok yang lihai merekatkan anasir-anasir, aktor dan kepentingan politik aktual. Jokowi menganggap sosok berlatar tentara, pengusaha hingga ‘akademisi’ ini mampu mengoordinasikan perencanaan, penyusunan kebijakan serta mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang kemaritiman. 

Jika di kemaritiman ada Luhut (sebelumnya telah ada dua kali penggantian Menko), ada Susi Pudjiastuti di Kelautan (dan Perikanan).

Apa beda kemaritiman dan kelautan

ecara sederhana, kemaritiman berkaitan dimensi dan fungsi laut sebagai wahana wisata, kebudayaan, eksplorasi energi dan sumberdaya mineral, hingga perhubungan. Kalau kelautan, berkaitan dengan aspek ruang laut, eksosistem hayati serta eksploitasinya, pada ikan dan segala kandungan hayati lainnya. 

Nah, pada dua sosok yang disebutkan di atas, yang menjadi nakhoda di dua Kementerian ini kita bisa berkaca tentang dinamika perencanaan, kebijakan dan seperti apa Poros Maritim kontemporer itu diejawantahkan. Setidaknya pada ragam jejak dan bagaimana sikap dan pernyataan mereka.

***

“Upaya Indonesia memerangi illegal fishing di tingkat global sudah selayaknya terintegrasi pada suatu sistem sehingga tidak hanya berlaku pada kepemimpinan politik tertentu saja,” sebut Susi Pudjiastuti. 

Pernyataan tersebut menggelegar, terdengar heroik, di depan rapat senat terbuka penganugerahan doktor honoris causa di Kampus Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, 3 November tahun lalu. Susi mengingatkan pentingnya reformasi sistem pengelolaan kelautan dan perikanan nasional. Sebuah sistem di naung rezim pengelolaan yang langgeng sedang diimpikan oleh salah satu Menteri kesayangan Jokowi tersebut.

Susi menegaskan komitmennya untuk menjaga dan menegakkan kedaulatan negara sebelum bicara pemanfaatan berkelanjutan dan agenda kesejahteraan. 

Dia mencangkokkan ketiga hal tersebut sebagai platform sekaligus muara dari kebijakan-kebijakannyaa. Ekspektasi yang sangat progressif di tengah situasi Indonesia yang serba tergantung pada lembaga-lembaga keuangan Internasional, serba tanggung pada penegakan hukum dan serba keder pada dominasi asing. 

Fakta impor garam, ikan, beras, bawang hingga sapi adalah bukti ketidakberdayaan dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan logistik domestik.

Ekspektasi mulia tersebut harusnya didukung sepenuh hati, dari hulu ke hilir, dari puncak ke akar. Khusus untuk Kementerian Kelautan dan 

Perikanan sendiri, meski mengakhiri tahun 2016 dengan realisasi pengadaan perahu nelayan yang jauh dari rencana, dari target 4 ribuan dan hanya 900-an yang terealisasi, pernyataan Susi terkait ‘sistem’ dan ‘kepemimpinan politik’ dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan terdengar progressif, ‘baru’ dan menantang. 

Bukan hanya untuk organisasi yang dipimpinnya tetapi bagi seluruh elemen Pemerintah, termasuk kementerian lainnya seperti Kementerian Koordinator Maritim yang saat ini dipimpin Luhut.

Sumberdaya ikan, modal menuju Poros Maritim (foto: Kamaruddin Azis)
Sumberdaya ikan, modal menuju Poros Maritim (foto: Kamaruddin Azis)
Bagi Susi, ‘doctoral speech’ tersebut seperti ingin menegaskan bahwa apapun yang dilakukannya untuk mengubah organisasi seperti KKP menjadi pelopor pembangunan di pesisir dan laut (atau maritim) sangat dipengaruhi oleh sehat tidaknya payung besar kebijakan pembangunan nasional. 

Implisit di dalamnya seperti pentingnya komitmen kementerian atau lembaga negara dalam memandang hakikat kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan itu.

Disebut demikian sebab selama ini, saat bicara kelautan dan perikanan kita acap dicekoki program-program yang itu-itu saja; seminar-seminar, workshop-workshop tanpa rencana aksi, sail-sail mahal, parade-parade simbolik tanpa kerja nyata, pengadaan sarana prasarana budidaya atau perikanan tangkap, pengadaan pakan, pengadaan alat tangkap, riset-riset ‘tempurung’ hingga program-program pemberdayaan sekadarnya. 

Lain Menteri, lain pulau programnya, di tepian, masyarakat pesisir tak beranjak dari belitan persoalan akut, nirdaya dan dikecewakan.

Membaca Haluan


Ibarat nakhoda di samudera Poros Maritim. Keduanya merupakan representasi negara yang diharapkan dapat memberesi persoalan, isu dan mengarahkan program-program pembangunan kelautan dan perikanan termasuk pada ranah dan pengertian fungsional: maritim. 

Mereka bersinggungan di pusaran Poros Maritim. Sikap dan pemihakan mereka bisa diraba dari visi dan pemaknaannya pada hakikat pembangunan di pesisir dan laut.

Pada pemanfaatan sumberdaya perikanan dan reklamasi misalnya, keduanya terlihat berbeda dan terbaca tak sependapat. Coba, Luhut tak melihat reklamasi sebagai persoalan dan akan mengajak Pemerintah DKI untuk membereskan agenda reklamasi, Susi melihatnya sebagai pelanggaran atas regulasi dan zonasi di pesisir laut. 

Yang lain, Luhut ingin asing ikut mengelola potensi perikanan, Susi berhasrat penuh mengusir asing di kolom lautan NKRI. “No way,” begitu Susi pada beberapa kesempatan.

Untuk ihwal ini, Susi di atas angin. Oleh banyak kalangan, Susi disebut berprestasi dan berhasil menegakkan marwah negara atas tata kelola sumber daya alam laut. Bersama Satgas 115, Susi, menteri Kelautan dan Perikanan itu menangkap nelayan asing lalu menenggelamkan kapalnya hingga tidak kurang 176 (data Juli 2016).

Bukan hanya itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Susi Pudjiastuti berhasil menyelamatkan sumber daya ikan Indonesia senilai Rp. 306,8 miliar dalam hal penanganan pelanggaran dan penegakkan hukum. 

Angka tersebut meningkat dari 2015 yang hanya Rp37,2 miliar. Sumber daya ikan tersebut terdiri dari benih lobster, kepiting/lobster/rajungan bertelur, kepiting dan lobster berukuran di bawah 200 gram, mutiara, koral serta produk hasil perikanan seperti kuda laut, penyu, dan sirip hiu.

Poros Maritim untuk nelayan kecil (foto: Kamaruddin Azis)
Poros Maritim untuk nelayan kecil (foto: Kamaruddin Azis)
Pada kutub lain, penulis mendengar langsung ketika Luhut mengajak warga asing (terutama keturunan Indonesia) termasuk perusahaan dari Amerika hingga Eropa untuk datang ke Indonesia, seperti diutarakannya di rongga kampus Institut Teknologi Del, di Agustus 2016 lalu. 

“Jika selama ini negara fokus pada pengeloaan sumber daya hayati maka ke depan, Poros Maritim bisa melirik tambang dasar laut (marine sea bed),” kurang lebih begitu pidatonya di Toba Samosir, di Agustus itu.

Saat mengutarakan ini, Luhut tak lupa menyebut Jokowi sebagai ‘wah ternyata Presiden tahu kalau kita punya banyak sumber daya di dasar lautan’. Apa yang dikehendaki Luhut ini secara teknis memang tak ada salahnya namun teras janggal sebab mengindikasikan kutub-kutub berlawanan dengan kebijakan utama di pesisir dan lautan. 

Pada konteks tertentu hal yang disampaikan Luhut tersebut merupakan niscaya di tengah relasi ‘one world’ kebijakan, program dan tatanan dunia baru yang serba terhubung. Namun demikian, hal ini bisa juga menjadi kekhawatiran saat negara harus memutuskan mana yang prioritas. Mana yang lebih relevan ketika ada kebijakan seperti yang diterapkan Kementerian Kelautan dan Kelautan dan berdampak pada masyarakat luas, pada nelayan dan pada pengusaha. 

Adakah cara untuk bisa mengisi ruang-ruang atau aktor yang terpapar oleh kebijakan tegas demi sistem yang baik itu?

Pada tingkat programmatik Kementerian misalnya, apa yang menjadi pernyataan Luhut sejatinya merupakan manifestasi kementeriannya dalam memandang maritim secara utuh tetapi sekali lagi, bagaimana hal-hal tersebut dikontekskan pada aspek teknis program, pada penjabaran pada penyesuaian-penyesuaian operasional proyek atau program tingkat Kementerian.

Singkat kata, program-program apakah yang bisa dijalankan oleh Kementerian Koordinatif seperti Kemenkomaritim dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang domainnya pada penyesuaian sumber daya, kebijakan dan fokus dari masing-masing. Ini penting dikemukakan di tengah tarik menarik kebijakan di pesisir dan laut seperti saat ini. 

Salah satunya pada kebijakan reklamasi seperti yang terjadi di Jakarta, Makassar, Bali dan lain sebagainya.

Saat Susi berhasrat memberi mandat pengelolaan pesisir dan laut pada masyarakat luas dan mengembalikan kendali regulasi dan kebijakan pada Pemerintah dapat dimaknai sebagai meretas hakikat pembangunan nasional yang selama ini jadi bulan-bulanan pengusaha, investor atau oknum aparat negara. Di seberang, posisi dan misi Luhut terlihat kian jelas ketika dia berencana mengubah Perpres No 44/2016 yang merupakan dasar hukum pelarangan investor asing masuk ke usaha perikanan tangkap. 

Dia ingin memberi kelonggaran. Rencana yang mengail perlawanan Susi, hingga perempuan flamboyan ini mengancam untuk mengundurkan diri jika hasrat Luhut diteruskan.

Pada aspek dan dimensi perbaikan sistem itu, Susi mengatakan sikapnya itu demi demi pertimbangan kedaulatan, akal sehat pelestarian sumber daya alam dan kesejahteraan untuk anak cucu bangsa. 

Susi yang berpengalaman dalam merencanakan, menjalankan dan mengembangkan sistem pengelolaan perikanan hingga mengelola usaha transportasi udara tahu persis bahwa di balik ihwal perizinan kapal asing beroperasi di Indonesia adalah godaan gelontoran dana besar pengusaha sehingga harus dientaskan. Aliran dana besar tapi lebih deras masuk ke lorong-lorong gelap birokrasi dan jawaban atas aksi pasang badan otoritas tertentu adalah persoalan.

Hal-hal tersebut di atas menjadi sangat kontradiktif, nyaris tanpa update ke publik hingga kini, tentang sikap final Pemerintah pada isu reklamasi. Apakah yang baru dan progressif terkait penuntasan isu reklamasi dari perspektif Kemenkomaritim dan KKP? 

Apakah yang telah diperankan negara di dua tahun mengurus ragam isu di Poros Maritim? 

Ada dimensi yang lebih kompleks selain urusan boleh tidaknya reklamasi atau kapal asing beroperasi. Dimensi itu adalah penegakan hukum, mentalitas dan kapasitas birokrasi, koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga, relasi swasta dan negara hingga membuka selubung yang menutupi mata dan pedang hukum. 

Ada aspek yang harus disikapi dan ditangani dengan sungguh-sungguh oleh negara, oleh kepala negara.

Jika ada friksi semisal dua menteri memandang reklamasi, Jokowi-JK harusnya memberi solusi tegas. Atau jika Presiden meminta mengikuti kaidah hukum, maka hukum manakah yang dipenuhi? 

Itu penting biar ada kejelasan pada segala yang berpotensi sengkarut di masa depan. Jokowi secara eksplisit sangat ingin hukum atau prosedur sebagai induk perencanaan atau manifestasi pembangunan nasional terutama di pesisir dan laut. Jokowi taat pada Perpres No 44/2016 tentang kapal asing, tentang investasi asing yang tidak boleh beroperasi di Indonesia. Tapi mengapa masih ada silang sengketa?

Wisata, dimensi Kemaritiman (foto: Kamaruddin Azis)
Wisata, dimensi Kemaritiman (foto: Kamaruddin Azis)
Kembali ke Hakikat


Penulis termasuk yang skeptis ketika Jokowi mendapuk Susi sebagai menteri. Alasannya, Susi akan menjadikan lautan sebagai ‘wahana profit oriented’, sebagai ideologinya. Ternyata tidak, setidaknya jika melihat dua tahun kiprahnya mengelola isu kelautan dan perikanan. Setidaknya jika melihat upayanya menegakkan supremasi hukum dalam memberantas illegal atau unreported fishing itu. 

Dua tahun mengabdi, Susi menunjukkan kegigihannya untuk tak melulu bicara ekonomi semata, cantrang atau dogol yang sebangun daya rusak trawl dilarangnya beroperasi. Kepiting atau rajungan yang selama ini dieksploitasi tanpa batas, dilarangnya agar ditangkap sesuai ukurannya. Yang bertelur janganlah ditangkap biar bisa kembali ke alam dengan jumlah yang lebih besar.

Jika kemudian ada yang mengganjal kepada Susi maka itu adalah respons pada praksis pemberdayaan masyarakat. Sebagian orang menganggapnya sebagai anti pemberdayaan. Yang kemudian dibantahnya bahwa poinnya adalah bagaimana negara memberi manfaat nyata kepada masyarakat pesisir dengan metode dan luaran program yang ril. Susi tahu terlalu banyak proyek pemberdayaan masyarakat yang tidak berhasil baik yang bersumber dana APBN maupun loan. 

Ada indikasi pemihakan pada efektifitas dan dampak atas segala investasi anggaran di pesisir dan laut.

Di seberang, Luhut melihat peluang-peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan secara instan atau dalam jangka pendek ketimbang memberikan ‘moratorium’ atas eksploitasi itu. Susi menawarkan moratorium perikanan di Laut Nusantara adalah pintu masuk bagi gagasan Luhut untuk membawa perusahaan asing. 

Ada pragmatisme di situ. Pragmatisme yang kontradiktif dengan pengalaman Susi mengelola bisnis dari bawah, dari jual beli ikan hingga menjadi pengusaha mumpuni.

Jika mereka tetap begitu, jika mereka tetap membuat pernyataan yang kontradiktif dan tak segera dibereskan, maka gagasan Nawa Cita, membangun Poros Maritim pasti akan mandek. 

Saat ini, isu-isu reklamasi, isu pembangunan pulau-pulau kecil terluar, kebijakan pemanfaatan maritim dari sisi teknologi pertambangan atau ekstensifikasi perikanan tangkap dan lain sebagianya masih butuh sentuhan kolaboratif lintas sektor. Jika ini tidak ditangani dengan efektif maka akan jadi batu sandungan rezim Jokowi-JK

Saya kira, ke depan, agar agenda Poros Maritim itu benar-benar terwujud, kedua pucuk itu harus kembali ke hakikat visi misi Pemerintah, menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat dalam pengertian yang luas. Segeralah duduk bersama, heart to heart, berkomunikasi, bermufakat tentang isu dan solusi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun