Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Curahan Kata Setelah Menonton Istirahatlah Kata-kata

22 Januari 2017   11:26 Diperbarui: 26 Januari 2017   16:50 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wido, Widya, Irsan, Uya dan penulis (foto: Kamaruddin Azis)

Kedua, sosok istri Thukul memberi kesan melankoli dan menghidupkan film itu. Ditampilkan, dia menjadi incaran lelaki yang tak jelas dirinci di film itu. Pria yang meminta odol, sikat gigi dan meminta perhatian untuk dijawab, ke mana Thukul.  Sipon begitu namanya di film tersebut diperankan oleh Marissa Anita. Presenter cantik ini sukses memerankan sang istri yang ditinggalkan oleh aktivis pro-demokrasi tersebut. 

Tentang penampilan Sipon alias Marissa ini, Uya sempat berdecak kagum. “Cakep ya?” kataku pelan ke Uya yang duduk di samping Wido.

Ketiga, film ini mampu menggambarkan suasana kebatinan Thukul saat lari ke Pontianak. Thukul adalah manusia biasa yang juga takut pada tentara, pada polisi. Bukankah karena itu dia lari? Di film itu, Thukul terlihat ‘manusia’ ketika hendak pangkas rambut lalu ada tentara berambut panjang yang ternyata lebih diprioritaskan oleh pencukur asal Madura. Melihat Thukul duduk mematung dengan topi setengah menutup wajahnya, saya merasa kasihan. 

Tidak ada konflik di adegan itu kecuali ‘pembelaan’ Martin yang asal Medan pada sorot pertanyaan sang tentara. Jujur saja saya menunggu percikan konflik di sini.

Keempat, penggambaran sosok tak waras yang berkostum campuran polisi dan bercelana tentara yang mandi di ruas rawa, bercelana dalam dan lekuk organ perut ke bawah terlihat ‘terlalu berani’. Sebagai lelaki, saya ada di posisi antara mau tertawa atau sedih.  Jujur saja. Hal lainnya, film yang ingin menceritakan suasana saat Thukul lari ke Pontianak ini sukses menciptakan konflik sungguhan layaknya film meski tak mengambil ruang maksimum, yaitu saat si sosok tak waras tersebut mencegat Thukul dan Thomas sepulang beli arak. Ada tanya jawab yang terdengar logis sekaligus faktual. Si tak waras menginterogasi kedua pengendara malam, dan Thukul menawari tuak. Si tak waras pergi tanpa menyentuh tuak, hilang di balik gang.

Kelima, film ini terlalu panjang untuk menjelaskan suasana kebatinan dan kreativitas Thukul sebab hanya ada beberapa penggal gambar yang berdiri sendiri. Tentang jembatan, ruas sungai, gang di Kota Pontianak, dan lain sebagainya. Maksud saya, kenapa tak ada detail tentang anak Thukul, si Fajar? Atau siapa sesungguhnya Sipon, mengapa dia begitu mencintai suaminya? Sosok ini menurutku perlu elaborasi lebih jauh, halah!  Respon Sipon saat berak di dalam rumah dan istri yang menyiapkan nampan merupakan salah satu adegan terbaik di film itu. Bau tai! Thukul mengiyakan, Sipon pun.

Kemudian, saya tidak melihat peran Thukul saat menjadi penjaga karcis bioskop seperti diwartakan sebelumnya. Yang ada hanya spanduk lomba poco-poco (ini juga menghentak memori sadar). Tidak ada paparan yang menunjukkan bagaimana Thukul memilih berpihak ke demonstran atau melawan. Tidak ada ‘proses kreatif’ bagaimana Thukul menjadi patriot bagi kaum tertindas. Tak banyak pengungkapan latar sosok Martin, Thomas, Sipon, pria peminta odol, sehingga penonton baru atau kaum muda bisa memahami sekaligus konteks dan profil sosok-sosok di balik keseharian Thukul.

Bisa jadi ini disengaja sebab menilik judul film, Istiratlah Kata-Kata, kita, penonton memang diminta untuk mengistiratkan nalar selama satu jam lebih, penonton diminta untuk merasakan bagaimana lari dari persoalan ternyata lebih menyiksa. Jika diminta memberi kalimat pamungkas saya akan menyimpulkan, film ini sukses meneguhkan perlawanan Wiji Thukul, proses kreatif perlawanan itu sendiri masih perlu dielaborasi. 

Saya kira juga, penonton, sedang bertanya-tanya bagaimana Thukul mengagitasi demonstran di medan jalanan, atau penonton ingin melihat bagaimana perlawanan rakyat diorganisasir dan dioperasionalkan oleh aktivis pro-demokrasi tersebut.

***

Di antara kami berlima, tak ada bahasan setelah menonton film itu. Setelah berterima kasih ke Widya dan INFID-nya, Uya melipir mencari sepatu di lantai dasar Blok M Square (yang kemudian tersesat ke buku-buku lawas namun bertenaga sosial). Widya pamit pulang. Wido, karena belum makan siang memilih mencari makan.  Irsyan  memilih bersama Uya.  Saya kembali ke Tebet menemui teman di sebuah kedai kopi di jalan Abdullah Syafei sembari mengingat-ingat pengakuan Sipon ke Thukul yang diperankan GUnawan Maryanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun