Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Curahan Kata Setelah Menonton Istirahatlah Kata-kata

22 Januari 2017   11:26 Diperbarui: 26 Januari 2017   16:50 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wido, Widya, Irsan, Uya dan penulis (foto: Kamaruddin Azis)

Ini cerita tentang sepak terjang Wiji Thukul yang dihidupkan kembali melalui film. Wiji, kenal? Jujur saja, saya belum mendengar atau membaca ihwal Wiji Thukul di rentang 80an hingga 90an. Meski bagian dari generasi yang lahir di awal tahun 70an dan mengenyam pendidikan di universitas di ujung 80an di Makassar, saya sungguh tak pernah mendengar kiprah politiknya, tak pernah membaca karya sastranya kala itu. Poor me!

Wiji Thukul yang lahir tanggal 26 Agustus 1963 itu adalah pencipta puisi perlawanan rakyat tahun 80an. Namanya acap diperbincangkan publik di tahun 90an karena ranting kering dan api perlawanan yang disulutnya. Puncak kehebohan ketika dia dikabarkan hilang beberapa saat sebelum Soeharto jatuh di tahun 98. Namanya dikaitkan dengan hasutan sosial ala PRD Partai Rakyat Demokratik hingga puisi yang disebarnya sebagai bentuk perlawanan pada rezim Soeharto kala itu.

Nah, kalau soal puncak ‘karir’ Thukul ini, saya mulai membaca beberapa artikel tentangnya di tahun 2000an. Thukul bernama asli Wiji Widodo. Dia datang dari Surakarta-Solo. Beberapa informasi yang saya baca menyebutkan Thukul adalah satu dari 13 korban penculikan di rentang 1996-1998. Keberadaan mereka belum diketahui hingga kini.

Tentang puisi, banyak orang menyebutkan bahwa puisi-puisi Wiji Tukhul adalah peluru tajam dari aktivis gerakan pro-demokrasi. Puisi itu sekaligus sumbu penggerak dan mengobarkan semangat dan mengibarkan aksi para demonstran. Lawan! Hanya ada satu kata, lawan! Wajar jika kemudian puisi-puisinya diberi judul: Aku Ingin Jadi Peluru. Buku yang diterbitkan Penerbit TERA di Magelang. Isiya sebanyak 136 puisi yang kemudian dipecah menjadi Lingkungan Kita Si Mulut Besar, Ketika Rakyat Pergi, Darman dan Lain-lain, Puisi Pelo dan Baju Loak Sobek Pundaknya. Menilik judulnya kita bisa menarik simpulan tentang motif dan muara isinya, perlawanan.

Lantaran ingin mengetahui lebih dekat, saya mengiyakan ketika ditawari sepucuk tiket pemberian organisasi masyarakat sipil INFID (sila browsing ya). Adalah Widya, perempuan Aceh yang bekerja untuk DFW Indonesia yang mendapat rezeki nonton film berjudul Istirahatlah Kata-kata itu. Widya dan beberapa teman kuliahnya mendapat akses untuk memborong beberapa tiket.

Sabtu, limabelas menit sebelum pukul 12 siang, dari bilangan jalan Tebet Utara II, di kantor DFW, saya, Subhan Uya, Wido Cepaka Warih, Irsan serta Widya bergerak menuju Blok M Square dan diantar oleh supir yang tak berhenti memegang hapenya. Kami ke sana untuk menonton film dimaksud, (19/01).

Uya yang saya tahu adalah pembaca buku pergerakan sosial, aktivis LSM dan pemuja penyulut perlawanan kelas. Irsyan adalah mahasiswa yang rumit, humble dan mencinta kebebasan ekspresi. Widya Savitri adalah aktivis kelautan di ISKINDO sementara Wido adalah pejalan dan pembelajar sosial, aktivis Indonesia Mengajar. Klop sudah, dengan latar itu, saya merasa menemukan para peminat jejak Wiji Thukul dengan menonton film besutan sineas Yosep Anggi Noen. Yosep, pria kelahiran 15 Maret 1983 ini fokus pada film-film yang sarat kritik sosial. Anggi telah memproduksi dua film panjang Istirahatlah Kata-Kata dan Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya. Untuk film pendek, beberapa judul yang telah dibikin adalah Rumah (2015), Kisah Cinta yang Asu (2015), Genre Sub Genre dan Laddy Caddy Who Never Saw a Hole in One di tahun 2014. Sangar ya, judul-judulnya?

***

Setelah menonton kurang lebih 1 jam 20 menit seperti hitungan saya, rasanya penting untuk mencurahkan kata-kata, pandangan dan suasan kebatinan atas suguhan film itu, tentu sebagai penonton biasa. Bukan kritikus apalagi pengadil.

Pertama, meski terlihat datar, tanpa alun mendebarkan, film tersebut sukses menggambarkan peta nasib para pejuang demokrasi. Penonton diboyong ke suasana Kalimantan Barat, Pontianak, jalan kota, kawasan Pecinan, rawa-rawa, sawit, perkampungan sebagai titik yang dipilih Wiji untuk bersembunyi.  Peta nasib Thukul adalah gambar jalan sempit, kendaraan roda dua khas tahun 90an yang lamban namun berbunyi keras dan deras. Juga nama-nama khas demonstran yang santer terbaca saat itu. 

Ada Paul, Paul adalah Thukul itu itu sendiri, ada Martin, Thomas, hingga Ida yang diperankan Melanie Subono.  Thomas digambarkan terlihat tenang dan baik hati, lalu dari Martin, saya mendengar kata-kata bir, berak, hingga kimak.

Kedua, sosok istri Thukul memberi kesan melankoli dan menghidupkan film itu. Ditampilkan, dia menjadi incaran lelaki yang tak jelas dirinci di film itu. Pria yang meminta odol, sikat gigi dan meminta perhatian untuk dijawab, ke mana Thukul.  Sipon begitu namanya di film tersebut diperankan oleh Marissa Anita. Presenter cantik ini sukses memerankan sang istri yang ditinggalkan oleh aktivis pro-demokrasi tersebut. 

Tentang penampilan Sipon alias Marissa ini, Uya sempat berdecak kagum. “Cakep ya?” kataku pelan ke Uya yang duduk di samping Wido.

Ketiga, film ini mampu menggambarkan suasana kebatinan Thukul saat lari ke Pontianak. Thukul adalah manusia biasa yang juga takut pada tentara, pada polisi. Bukankah karena itu dia lari? Di film itu, Thukul terlihat ‘manusia’ ketika hendak pangkas rambut lalu ada tentara berambut panjang yang ternyata lebih diprioritaskan oleh pencukur asal Madura. Melihat Thukul duduk mematung dengan topi setengah menutup wajahnya, saya merasa kasihan. 

Tidak ada konflik di adegan itu kecuali ‘pembelaan’ Martin yang asal Medan pada sorot pertanyaan sang tentara. Jujur saja saya menunggu percikan konflik di sini.

Keempat, penggambaran sosok tak waras yang berkostum campuran polisi dan bercelana tentara yang mandi di ruas rawa, bercelana dalam dan lekuk organ perut ke bawah terlihat ‘terlalu berani’. Sebagai lelaki, saya ada di posisi antara mau tertawa atau sedih.  Jujur saja. Hal lainnya, film yang ingin menceritakan suasana saat Thukul lari ke Pontianak ini sukses menciptakan konflik sungguhan layaknya film meski tak mengambil ruang maksimum, yaitu saat si sosok tak waras tersebut mencegat Thukul dan Thomas sepulang beli arak. Ada tanya jawab yang terdengar logis sekaligus faktual. Si tak waras menginterogasi kedua pengendara malam, dan Thukul menawari tuak. Si tak waras pergi tanpa menyentuh tuak, hilang di balik gang.

Kelima, film ini terlalu panjang untuk menjelaskan suasana kebatinan dan kreativitas Thukul sebab hanya ada beberapa penggal gambar yang berdiri sendiri. Tentang jembatan, ruas sungai, gang di Kota Pontianak, dan lain sebagainya. Maksud saya, kenapa tak ada detail tentang anak Thukul, si Fajar? Atau siapa sesungguhnya Sipon, mengapa dia begitu mencintai suaminya? Sosok ini menurutku perlu elaborasi lebih jauh, halah!  Respon Sipon saat berak di dalam rumah dan istri yang menyiapkan nampan merupakan salah satu adegan terbaik di film itu. Bau tai! Thukul mengiyakan, Sipon pun.

Kemudian, saya tidak melihat peran Thukul saat menjadi penjaga karcis bioskop seperti diwartakan sebelumnya. Yang ada hanya spanduk lomba poco-poco (ini juga menghentak memori sadar). Tidak ada paparan yang menunjukkan bagaimana Thukul memilih berpihak ke demonstran atau melawan. Tidak ada ‘proses kreatif’ bagaimana Thukul menjadi patriot bagi kaum tertindas. Tak banyak pengungkapan latar sosok Martin, Thomas, Sipon, pria peminta odol, sehingga penonton baru atau kaum muda bisa memahami sekaligus konteks dan profil sosok-sosok di balik keseharian Thukul.

Bisa jadi ini disengaja sebab menilik judul film, Istiratlah Kata-Kata, kita, penonton memang diminta untuk mengistiratkan nalar selama satu jam lebih, penonton diminta untuk merasakan bagaimana lari dari persoalan ternyata lebih menyiksa. Jika diminta memberi kalimat pamungkas saya akan menyimpulkan, film ini sukses meneguhkan perlawanan Wiji Thukul, proses kreatif perlawanan itu sendiri masih perlu dielaborasi. 

Saya kira juga, penonton, sedang bertanya-tanya bagaimana Thukul mengagitasi demonstran di medan jalanan, atau penonton ingin melihat bagaimana perlawanan rakyat diorganisasir dan dioperasionalkan oleh aktivis pro-demokrasi tersebut.

***

Di antara kami berlima, tak ada bahasan setelah menonton film itu. Setelah berterima kasih ke Widya dan INFID-nya, Uya melipir mencari sepatu di lantai dasar Blok M Square (yang kemudian tersesat ke buku-buku lawas namun bertenaga sosial). Widya pamit pulang. Wido, karena belum makan siang memilih mencari makan.  Irsyan  memilih bersama Uya.  Saya kembali ke Tebet menemui teman di sebuah kedai kopi di jalan Abdullah Syafei sembari mengingat-ingat pengakuan Sipon ke Thukul yang diperankan GUnawan Maryanto.

“Saya tidak ingin kamu pergi, tidak ingin kamu tinggal, saya ingin kamu tetap ada,” kurang lebih begitu ucapan Sipon saat suaminya kembali dari pelariannya. Tetap ada, ada untuk mengobarkan perlawanan ya Pon?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun