Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Urus Hutan Jangan Zakelijk

8 Juni 2016   14:48 Diperbarui: 8 Juni 2016   14:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Herbimo Utoyo (foto: Kamaruddin Azis)

“Kami ada sejak tahun 1934. Tidak betul jika kami disebut perambah atau illegal,” Syarif Ibrahim, Kades Sungai Nibung

***

Sejarah permukiman komunitas di areal hutan atau pesisir bisa dilacak dari terhentinya tradisi nomad. Kelompok-kelompok masyarakat (komunal) memilih bermukim di pesisir, pedalaman atau ke gunung menguak rimbun hutan. Mereka membangun komunitas, beregenerasi dan menata kehidupan beralas norma pengelolaan sumberdaya alam. Pada ruang dan waktu komunitas bertahan dan berkembang dengan memanfaatkan tiga pilar bangunan; hutan, tanah dan air. Itu pula yang ingin disampaikan Kepala Desa Sungai Nibung, Syarif Ibrahim. Dia mengklaim bahwa leluhurnya telah ada di Sungai Nibung, Kecamatan Teluk Pakedai, Kubu Raya, Kalimantan Barat sejak tahun 1934.

“Kami ada sejak tahun 1934, tidak betul jika kami disebut illegal,” begitu klaimnya. Syarif menyatakan ini di depan Sekda Kubu Raya, Kapolres, perwakilan DPRD dan warga setempat saat peresmian pusat ekowisata bahari Sungai Nibung, persis di tepi hutan lindung.  Syarif melanjutkan,  “Kami bisa menjadi mitra Pemerintah, menanam mangrove hingga menjaga lumbung kepiting untuk masa depan.” Warga bisa menjadi mitra, dia ingin menegaskan bahwa sumber persoalan justeru datang dari pihak luar yang abai, nyaris tak berbuat apa-apa.

Hutan dan kemiskinan

Apa yang diutarakan Syarif mengantar kita pada bentang sejarah suram perubahan hutan kita. Bukan hanya di Kubu Raya tetapi seluruh Indonesia yang berubah drastis dan memiriskan. Tahun 1950, luas hutan nasional mencapai 84 persen luas daratan Indonesia atau 162.290.000 hektar. Kalimantan memiliki areal hutan 51.400.000 hektar. Hasil survei tahun 1999 Bank Dunia menunjukkan laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Tanpa langkah antisipasi atau pengelolaan ketat, hutan akan lenyap dalam wkatu dekat.

Mari kembali ke hutan Kalimantan. Secara berurutan luas hutan lindung terbesar adalah Kalimantan Timur, Barat, Tengah dan Selatan yaitu, 2.867 ribu hektar, 2.306 ribu hektar, 1.346 ribu hektar dan 526 ribu hektar. Luas kawasan hutan dan perairan di Kalimantan Barat menurut data terbarukan BPS tanggal 29 Juni 2015 disebutkan bahwa di Kalimantan Barat, terdapat 1.629 ribu hektar suaka alam dan pelestarian alam, 2.117ribu hektar hutan produksi terbatas, 2.097 hektar hutan produksi terbatas, dan 206 ribu hektar yang hutan produksi yang dapat dikonversi. Jumlah luas daratan kawasan hutan 8.356 ribu hektar dan 9.797 ribu hektar luas hutan dan perairan.

Luas hutan sedemikian besar rupanya tak berkorelasi pada kualitas kehidupan masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar). Kalbar memiiki penduduk miskin atau penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan per September 2015 mencapai sekitar 405.510 orang atau sekitar 8,44 persen (BPS). Indeks pembangunan manusia pun relatif rendah atau hanya 64,89 pada tahun 2014.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kubu Raya menyatakan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011, jumlah penduduk miskin yang ada di kabupaten itu sekitar 53.868 jiwa. Padahal di Kubu Raya, terdapat areal penggunaan lain 461.677 hektar, hutan lindung 143.124 hektar dan hutan produksi 134.136 hektar. Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam seluas 13.054 atau di bawah kabupaten Kapuas Hulu dan Kab. Sanggau.

Di Kubu Raya, atau Kalimantan Barat secara umum, hutan hanyalah sejarah luas dan rekam jejak kesewenang-wenangan pengusaha yang memperoleh izin HPH, yang meraup untung karena mendapat mandat eksploitasi lalu meninggalkan warga pemukim dalam belitan persoalan sosial dan ekonomi. Lahan tradisional warga diterabas, seperti ekosistem mangrove, sumber kayu bakar, sumber madu alam dan lain sebagainya. Warga disalahkan, warga dicampakkan. Di satu sisi, ketika negara menemukan jalan ‘insaf’ lahan-lahan koservasi diperluas dan diproteksi dengan senjata lalu memandang sebelah mata eksistensi warga setempat, yang ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Hutan dan sungai Kapuas (foto: Kamaruddin Azis)
Hutan dan sungai Kapuas (foto: Kamaruddin Azis)
Jalan kolaborasi

Membaca realitas hutan dan isu-isu sosial ekonomi yang mengusik performa pembangunan di Kubu Raya, penulis bertandang ke kantor Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan (PKP) Kubu Raya, (02/06/2016). Penulis menemui Herbimo Utoyo, Plt Dinas PKP. Herbimo menyadari betul bahwa regulasi dan gagasan konservasi hutan di Kubu Raya termasuk di provinsi Kalimantan Barat harus dicermati dengan arif sebab ini berkorelasi dengan kualitas masyarakat di dalam di sekitar lahan hutan. Beberapa pokok-pokok pikirannya mengalir deras saat penulis mewawancarainya.

Menurutnya, pengalaman di Sungai Nibung—usaha Ekowisata Bahari yang diresmikan Sekda Kubu Raya, itu bisa menjadi hal menarik dan penting dalam melihat relasi manusia dan hutan, warga desa dan ekosistem mangrove.

“Hampir 99% wilayah Desa Sungai Nibung masuk dalam wilayah hutan lindung namun banyak orang tak tahu bahwa dalam kawasan itu terdapat sejarah dan tradisi bercocok tanam padi. Yang kita lihat hanya peta berwarna hijau ini,” katanya sesaat penulis bersama Abdur Rani dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kubu Raya menemuinya.

Di mata Bimo, begitu panggilannya, urusan kehutanan ini menjadi relatif sangat kaku dan kerap mengabaikan warga yang bermukim di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu dia sangat mengapresiasi ketika ada pihak yang memberi ruang bagi warga untuk ikut membantu pengembangan kapasitas warga di wilayah hutan, membangun kemitraan dan kegiatan dalam mengelola potensi hutan secara bijaksana.  Hal lain yang dirasakannya adalah untuk membangun desa-desa seperti Sungai Nibung ini mengalami banyak kendala.

Bimo melanjutkan. “Peta-peta yang kita lihat ini terlihat hijau semua, tetapi kita lupa kalau dalam areal warna hijau ini ada lahan sawah, ada permukiman, ada kegiatan warga di dalamnya,” katanya. Bagi Bimo, upaya mendekati masyarakat seperti di desa Sungai Nibung melalui pengembangan ekowisata bahari merupakan upaya menjawab isu-isu kantong kemiskinan di hutan.

Syarif Ibrahim saat diwawancarai KompasTV (foto: Kamarudidn Azis)
Syarif Ibrahim saat diwawancarai KompasTV (foto: Kamarudidn Azis)
***

Ada beberapa pokok pikiran yang dipantik Herbimo yaitu pentingnya memberi warna produktif di hutan lindung yang dikolaborasikan dengan warga setempat. Dia menceritakan tentang upaya mendudukkan peraturan dan ruang bagi partisipasi warga yang sudah ada di dalam kawasan sejak dulu, jauh sebelum undang-undang atau regulasi itu ada.

“Diperlukan semacam upaya pemutihan untuk budidaya, seperti reformasi agraria (yang saat ini sedang di-review itu). Maksudnya, ada penguasaan lahan yang perlu diberikan ke masyarakat, supaya pembangunan bisa jalan. Ini menarik untuk mempromosikan skema kolaboratif ini tanpa mengurangi kapasitas hutan lindung,” ujarnya.

Apa yang disampaikan oleh Bimo ini bukan isapan jempol belaka. Beberapa gagasannya telah disampaikan ke Bappeda untuk mengusulkan program pembangunan secara kolaboratif di beberapa lokasi strategis seperti hutan lindung itu. Konkretnya semacam kolaborasi antar pihak.

“Jika Kementerian Kehutanan bisa menyiapkan dana alokasi khusus (DAK) untuk menyiapkan pos jaga, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa menyiapkan jetty atau dermaga di Sungai Nibung (seperti yang diceritakan sebelumnya). Ini penting demi menjawab fungsi jasa lingkungan dan peluang ekowisata bahari,” tanggapnya.

“Intinya, kami mendukung pengelolaan mangrove dengan basis pembangunan masyarakat (comdev),” ujar lelaki kelahiran Pontianak dan merupakan alumni Kehutanan Universitas Tanjung Pura tahun 1998 ini. Bimo menegaskan lagi bahwa isu penting yang harus diangkat adalah isu kemiskinan dalam kawasan hutan. Apa yang bisa dilakukan untuk mengangkat status sosial masyarakat yang bermukim di dalamnya.

“Kita perlu mendorong program comdev untuk mendongrak pedapatan, memberikan alternatif penghasilan. Persoalan kita adalah kalau soal hutan, terutama hutan lindung lebih banyak tidak bolehnya,” imbuhnya.

Basis pandangan Herbimo ini adalah inisiatif memberikan masukan untuk Kementerian terkait tentang perlunya kerjasama atau kolaborasi di dalam hutan, di wilayah pesisir yang mempunyai mangrove atau warga yang bermukim di dalamnya, tentang adanya isu tumpang tindih kawasan sehingga tidak banyak inisiatif pembangunan yang dipilih.

Intinya masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan terkait isu hutan ini di Kubu Raya atau Kalimantan Barat secara umum yang berdampak pada kualitas hidup masyarakat. Ujung-ujungnya pada status sosial, pada derajat kemiskinan, daya beli, kondisi kesehatan, pendidikan yang dapat mengurangi kualitas indeks pembangunan manusia di Kubu Raya.

Inisiatif di Sungai Nibung, seperti yang dilakukan oleh Kades Syarif Ibrahim bagi Herbimo harus mendapat apresiasi dari Pemerintah. Di sana ada inisiatif penanaman mangrove dan perlindungan ekosistem oleh warga, ada sawah, ada lumbung kepiting.

“Yang belum disiapkan adalah jalan poros. Nyaris tidak ada inisiatif karena masing-masing pihak takut disalahkan,” kata Herbimo. “Di Sungai Nibung warga menyatu dengan alam, Pemerintah harus memberi perhatian,” katanya. Menurut Herbimo, dia telah menyampaikan ke SKPD lain termasuk Bappeda untuk mengawal pembangunan di Sungai Nibung ini melalui anggaran APBD.

Apa yang disampaikan oleh Herbimo ini, bagi kita, bagi siapapun yang ingin melihat rakyat bahagia, negara memang harus hadir di manapun, meskipun itu di hutan-hutan lindung. Tema menarik dalam memandang eksistensi masyarakat di areal hutan lindung adalah isu ketertinggalan, kantong kemiskinan.  Meski demikian, Herbimo juga menyadari bahwa ada beberapa isu yang mengganjal seperti masih adanya warga yang masih usaha arang, ada isu kontradiktif antara lahan pemanfaatan perusahaan dan lahan usaha tradisional warga. Warga pencari kepiting dan lain sebagainya terdampak oleh klaim lahan perusahaan.

“Itu yang harus dibicarakan terkait hutan lindung, warga yang sudah bermukim lama di sana, seperti di Desa Nibung itu, harus didekati dengan baik, diajak bekerjasama, kolaborasi. Tidak boleh saklek,” tutupnya.  Saklek yang disebutkan Herbimo bermakna sesuatu yang hanya terbatas pada urusannya sendiri, zakelijk serapan dari bahasa Belanda.

Tebet, 08/06/2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun