Ini tentang informasi yang dibagikan seorang pemuda yang bertugas sebagai fasilitator pendampingan masyarakat di pulau-pulau terluar Indonesia. Persis antara Indonesia dan Filipina. Darinya, terkuak dimensi Pulau Marore dan perjuangan seorang perempuan pencari timun laut atau teripang. Teripang yang dapat dihargai hingga US$ 250-300 perkilogram seperti dilihat di laman pasar Alibaba.
***
Ada 1.844 pelamar muda saat Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuka lowongan fasilitator untuk pulau di beranda Indonesia di awal Maret 2016. Ada antusiasme berlipat untuk mengabdi di pulau-pulau kecil terluar kita. Pulau yang selama ini dianggap rentan disusupi maling ikan dan perompak. Kaum muda itu nampaknya tahu bahwa ada 92 pulau kecil terluar kita, zamrud yang membingkai Nusantara. Terhubung dari Bepondi di Papua, Langkuru di batas Timor Leste, Sebatik di Kalimantan hingga Marore di batas Filipina.
Surya Asri Simbolon salah satunya yang diterima. Surya, penikmat olahraga selam dan traveler jebolan Ilmu Kelautan Universitas Riau ini mendapat tugas di Pulau Kawaluso dan Marore, dua pulau terluar Indonesia di Sulawesi Utara, tepatnya di Kabupaten Sangihe. Marore terletak di lintang 4°35’17” - 4°43’45” LU dan 125°26’11”-125°37’45” BT berbatasan Pulau Mindanao Filipina; di selatan dengan gugusan pulau-pulau kecil seperti Pulau Ehise, Kawio, Memanuk dan Matutang yang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Sangihe; sebelah barat berbatasan dengan perairan lepas Laut Sulawesi; dan sebelah timur dengan wilayah Kabupaten Talaud.
Surya, pria kelahiran tahun 1991 di Sarimatondang, Sumatera Utara ini membagi sepercik pengalaman dan inspirasinya kepada saya selama bertugas di Marore.
Dia memulai. Pagi ini, Kamis, 12 Mei 2016, jarum jam menunjuk 08:29 waktu Marore. Saya membaca laut yang tetap setia berbagi keindahan. Seperti biasanya, sehabis sarapan pagi, saya ke pantai sembari menikmati angin pagi pembangkit semangat. Jarak dari tempat tinggal ke pantai hanya sekitar 50 meter. Ya, pantai yang berada di bagian barat Pulau Marore menjadi tempat yang istimewa setiap paginya.
Di Marore, pulau dengan luas 240 hektar penuh dengan sumber daya alam, laut yang membentang, ikan-ikan yang melimpah, dengan menjadi seorang pengail cakalang hingga tuna adalah pilihan bagi nelayan di Marore. Jumlah penduduknya 680 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 188.
“Ada tiga dusun atau orang Marore bilang lindongan,”tulis Surya. Pulau Marore merupakan pusat ibukota kecamatan, namanya Kecamatan Kepulauan Marore dan terdiri atas 3 kampung (atau desa kalau di tempat lain) yaitu, Kampung Marore di Pulau Marore, Kampung Kawio di Pulau Kawio dan Kampung Matutuang di Pulau Matutuang.
Di Marore selain rumah penduduk ada pula sarana prasarana seperti sekolah SD, SMP, dan SMA. Ada pula Puskesmas dengan dokternya. Sebagai pulau terluar, di sini ditempatkan pulau pasukan penjaga perbatasan lengkap dengan senjata. Meski ada pasar namun geliatnya tak seperti pasar-pasar di pulau lainnya yang ramai.
Pagi ini, saat asik menikmati suasana pantai, mata menoleh ke kiri tepat di bawah sebuah pohon kelapa, terlihat seorang ibu yang sedang asik melakukan pekerjaan. Dengan rasa ingin tahu, kaki melangkah menuju ke arahnya.
Saya memulai perbincangan ringan dengannya.
***
“Saya Surya. Ibu?” Surya memulai obrolan. “Mardiana,” perempuan itu membalas. Mardiana adalah perempuan yang duduk di bawah pohon kelapa tersebut. Dia tampak asik membersihkan beberapa ekor teripang yang telah dikumpulkan beberapa hari ini. Mardiana lahir di Marore sekitar 52 tahun yang lalu, tepatnya 06 April 1964. Mardiana punya 5 orang anak.
“Nama lengkapku Mardiana Takarenguang-Mandome,” balasnya saat Surya bertanya nama lengkapnya. Mardiana adalah nama yang diberikan orang tuanya, sedangkan Takarenguang– Mandome merupakan nama keluarga atau marga. Takarenguang adalah nama marga yang diwariskan ayahnya sedang Mandome adalah marga dari ibunya.
Surya terperangah saat mendengar ceritanya. Mardiana ternyata pernah tinggal di Filipina. Sejarahnya bermula ketika tahun 1972, Mardiana bersama keluarga dan 4 orang saudaranya hengkang ke Pulau Balud.
“Saat itu masih usia 8 tahun. Duduk kelas 3 SD,” kata Mardiana yang kini tinggal di Kampung Lindangan 2, Pulau Marore. Di Balud, Mardiana melanjutkan sekolah sampai kelas 5 SD. Karena tak punya dana cukup sekolah Mardiana tak tuntas. Mardiana dan keluarganya tinggal di Balud selama 33 tahun yang merupakan milik Filipina.
Dari cerita Mardiana terungkap pula kalau suaminya adalah warga Filipina. Dari suaminya ini Mardiana memiliki 4 orang anak. Tahun 2003 sang suami meninggal dunia dimakamkan di Balud. Mardiana merasakan beban kehidupan ekonomi pasca ditinggal suami. Anak-anaknya dengan terpaksa putus sekolah dan mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tahun berganti. Waktu berjalan terus, kehidupan di negeri tetangga kian sulit. Selain susahnya mencari pekerjaan, faktor keamanan juga menjadi suatu hal yang mengakibatkan terhambatnya perekonomian keluarga.
“Banyak premannya,” ungkap Mardiana. Para preman itu kerap meminta uang secara paksa. Kehidupan Ibu Mardiana semakin terjepit di Filipina.
Setelah menimbang, Mardiana memutuskan meninggalkan Pulau Balud dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kembali ke Marore. Tanpa ekstradisi, tanpa campur tangan Pemerintah. Mardiana kembali ke Marore bersama 2 orang anaknya, Dua orang lainnya memutuskan menetap di Filipina dan berkeluarga di sana. Mardiana diterima tinggal bersama adik laki-lakinya di Marore.
Belum setahun tinggal di Marore, Ibu Mardiana menikah kembali dengan seorang laki-laki Sangihe dan mendapatkan satu orang anak namun kemudian pisah. Dengan kondisi seperti itu, Ibu Mardiana kembali harus berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya.
“Mencarinya saat surut jadi tak terlalu sulit,” kata Mardiana. Karena pilihan hidup ini Mardiana kerap berpindah pulau, dari pulau ke pulau. Jika banyak pencari teripang menggunakan selang kompresor untuk mencari teripang laut dalam maka Mardiana hanya menanti saat air laut surut. Menyisir terumbu dan padang lamun.
Kalau ke pulau lain, Mardiana menumpang ke kapal orang lain. Apabila nelayan tiada yang berkunjung ke pulau, itu berarti tiada yang menjemputnya, dia harus tinggal di pulau tersebut dengan perbekalan yang seadanya sampai ada nelayan yang menuju Pulau Marore selanjutnya.
Teripang yang dikumpulkan Mardiana akan dibersihkan serta dijemur terlebuh dahulu sebelum dijual. Dia menjual hasil kumpulannya ke salah satu pengumpul yang berada di Kota Manado. Menurut Mardiana, harga setiap teripang berbeda-beda, tergantung ukuran, jenis dan tingkat kebersihannya.
“Untuk teripang susu yang berukuran besar biasanya dihargai sekitar Rp. 500-600 ribu/kilonya. Sedangkan untuk teripang nenas hanya berkisar Rp. 300-450 ribu/kilonya,” kata Mardiana. Menurutnya, jika ukuran dan kebersihan teripang tidak sesuai seperti yang diharapkan pembeli harganya bisa turuh sampai setengahnya. Jika dibawa ke Hongkong, teripang Mardiana setiap kilonya bisa dihargai di atas satu juta rupiah. Harga yang pantas untuk kualitas teripang dari perairan Marore.
Selain kedua jenis teripang tersebut, masih ada jenis lainnya yang biasa dijualnya seperti teripang hitam. Warga Marore menyebutnya demikian. Ukurannya lebih kecil dan harganya hanya Rp. 50-80 ribu/kilo. Untuk menjual teripanya, Mardiana menjual sendiri ke Tahuna atau ke Manado jika teripangnya banyak.
Untuk ke Tahuna, Mardiana harus menunggu kapal perintis. Lama perjalanan hingga 12 jam dan harus membayar 35ribu. Jika ada hasrat ke Manado, Mardiana harus melakukan perjalanan lagi via Bitung dengan menumpang kapal perintis. Marore – Tahun 12 jam. Tahuna – Bitung hingga 24 jam.
Begitulah aktivitas orang tua tunggal bernama Mardiana Takarenguang–Mandome. Dengan menjual teripang, Mardiana menggunakan uang hasil penjualan teripang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak bungsunya. Di Marore ada 6 orang warga yang memanfaatkan waktu luang untuk mencari teripang, relatif tak banyak yang tertarik mengolahnya, selain karena butuh kerja keras, juga karena jauhnya bentang pemasaran.
***
Kita juga jadi paham seberapa dinamis interaksi di pulau-pulau perbatasan Indonesia dan Filipina. Tentang lintasan sejarah manusia dalam memandang eksistensi pulau-pulau di perbatasan. Jika membaca cerita Mardiana, kehidupan itu menjadi lebih cair dan tanpa kerumitan sosial saat melakukan migrasi antar negara, sebagai warga pulau dan sebagai warga negara.
Kepada Surya, Mardiana mengaku kerap berdoa kepada Tuhan semoga diberikan kesehatan dan kebahagiaan bersama anak-anaknya. Semoga diberi keselamatan dalam mencari dan mengumpulkan teripang karena tak jarang dia sering mengalami kecelakaan kecil. Seperti menginjak biota laut yang melukai kakinya. Selain itu, Mardiana juga berupaya supaya mendapat bantuan agar dapat rumah bantuan untuk warga tak berdaya seperti dia. Meski harapan itu pupus karena ada banyak syaratnya.
“Saya selalu menyemangati anak agar bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan berharap tidak mengulangi apa yang dialami oleh beliau,” begitu harapannya pada anak bungsunya yang kini duduk di kelas 3 SD yang ada di Pulau Marore. Anak dari suami yang telah meninggalkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H