“Mencarinya saat surut jadi tak terlalu sulit,” kata Mardiana. Karena pilihan hidup ini Mardiana kerap berpindah pulau, dari pulau ke pulau. Jika banyak pencari teripang menggunakan selang kompresor untuk mencari teripang laut dalam maka Mardiana hanya menanti saat air laut surut. Menyisir terumbu dan padang lamun.
Kalau ke pulau lain, Mardiana menumpang ke kapal orang lain. Apabila nelayan tiada yang berkunjung ke pulau, itu berarti tiada yang menjemputnya, dia harus tinggal di pulau tersebut dengan perbekalan yang seadanya sampai ada nelayan yang menuju Pulau Marore selanjutnya.
Teripang yang dikumpulkan Mardiana akan dibersihkan serta dijemur terlebuh dahulu sebelum dijual. Dia menjual hasil kumpulannya ke salah satu pengumpul yang berada di Kota Manado. Menurut Mardiana, harga setiap teripang berbeda-beda, tergantung ukuran, jenis dan tingkat kebersihannya.
“Untuk teripang susu yang berukuran besar biasanya dihargai sekitar Rp. 500-600 ribu/kilonya. Sedangkan untuk teripang nenas hanya berkisar Rp. 300-450 ribu/kilonya,” kata Mardiana. Menurutnya, jika ukuran dan kebersihan teripang tidak sesuai seperti yang diharapkan pembeli harganya bisa turuh sampai setengahnya. Jika dibawa ke Hongkong, teripang Mardiana setiap kilonya bisa dihargai di atas satu juta rupiah. Harga yang pantas untuk kualitas teripang dari perairan Marore.
Selain kedua jenis teripang tersebut, masih ada jenis lainnya yang biasa dijualnya seperti teripang hitam. Warga Marore menyebutnya demikian. Ukurannya lebih kecil dan harganya hanya Rp. 50-80 ribu/kilo. Untuk menjual teripanya, Mardiana menjual sendiri ke Tahuna atau ke Manado jika teripangnya banyak.
Untuk ke Tahuna, Mardiana harus menunggu kapal perintis. Lama perjalanan hingga 12 jam dan harus membayar 35ribu. Jika ada hasrat ke Manado, Mardiana harus melakukan perjalanan lagi via Bitung dengan menumpang kapal perintis. Marore – Tahun 12 jam. Tahuna – Bitung hingga 24 jam.
Begitulah aktivitas orang tua tunggal bernama Mardiana Takarenguang–Mandome. Dengan menjual teripang, Mardiana menggunakan uang hasil penjualan teripang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak bungsunya. Di Marore ada 6 orang warga yang memanfaatkan waktu luang untuk mencari teripang, relatif tak banyak yang tertarik mengolahnya, selain karena butuh kerja keras, juga karena jauhnya bentang pemasaran.
***
Kita juga jadi paham seberapa dinamis interaksi di pulau-pulau perbatasan Indonesia dan Filipina. Tentang lintasan sejarah manusia dalam memandang eksistensi pulau-pulau di perbatasan. Jika membaca cerita Mardiana, kehidupan itu menjadi lebih cair dan tanpa kerumitan sosial saat melakukan migrasi antar negara, sebagai warga pulau dan sebagai warga negara.