“Pekerjaan pertama saya di Tanjung Priuk sebagai pabagang (lift net). Orang Bugis banyak di sana. Di Tanjung Pasir juga usaha bagang. Awalnya ada bos orang Cina. “Dia malah ngejek, bikin bagang aja jelek. Noh ada ada bambu, bikin saja,” kenang Sule' saat pertama kali dibantu sama pengusaha ikan Cina.
“Operasi bagang-nya di sekitar pulau Rambut,” tambah lelaki yang sempat hijrah ke Binuangin, berusaha bagang bersama orang-orang Bugis. “Kalau orang Bugis mah, di sini banyak banget. Ratusan, emang ratusan dan mereka galak-galak jadi rebut sama orang sini,” katanya.
“Ribut dulu, beberapa dari mereka pernah masuk penjara, saya mah nggak sebab mengaku orang sini. Jadi pulanglah mereka, Nggak tahu pada ke mana. Ada yang ke Labuhan, Tanjung Batu, Tarakan, saya pernah naik kapal dari sini ke Tarakan, naik kapal terbang saya,” katanya terllihat bangga. “Anak paling tua saya usianya 40an tahun, rumahnya itu yang bertingkat,” kata sembari mengarahkan telunjuknya. Sule’ menambahkan,
“Tadinya mah saya punya tempat, ada tambak udang namun di kiri-kanan, jalannya nggak ada, jadi saya jual, sekarang mah ini aja,” sebut lelaki yang mengaku menikah dengan istrinya Ari di Tanjung Pasir. Kini, Sule ada perahu namun disewakan ke orang lain namun yang operasikan anak menantunya. “Ada rencana ke Tanah Bugis,” saya menggodanya. “Nggak ada, saudara saya nggak ada sih, mereka ke Malaysia semua,” katanya terkekeh.
***
Di depan rumah Puang Sule' terdapat bambu-bambu dan bubu-bubu ikan. Benda ini mengingatkan tradisi serupa di pesisir Sulawesi. Tradisi menangkap ikan dengan bubu adalah warisan sejarah Bugis Makassar yang masih bertahan di Sulawesi kini, ini pula yang membuat beberapa nelayan bertahan di pesisir Tangerang dan Jakarta.
"Ini kan pekerjaan kita sejak dulu," pungkas Puang Sule'.
Tebet, 11 April 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H